Bab 57

17K 942 50
                                    

Happy Reading!

"Mama!"

Baru saja Raina membuka pintu utama, teriakan si bungsu Stephan sudah menyambutnya. Kaki kecil itu berlari, berusaha secepat mungkin agar lekas berada di depan sang mama, takut-takut jika wanita itu hanyalah bayang-bayang yang kemungkinan akan lenyap secepat angin berkelana.

"Mama!" Alvarez kembali berseru. Ia segera memeluk erat kaki Raina dan menangis sejadi-jadinya di sana.

Raina mengulum bibirnya, perempuan itu berjongkok dan membawa tubuh Alvarez ke gendongannya. Dibiarkannya sang anak menumpahkan air mata di pundaknya, tak lupa tangannya yang senantiasa mengusap punggung anak itu, berusaha menenangkannya.

"Mama kemalin ke mana?" tanya Alvarez di sela-sela isakannya.

"Mama jenguk Opa, Sayang. Opa sakit."

Alvarez menghapus air matanya. Tatapannya mengarah lucu pada sang mama.
"Sakit yang ditusuk tangannya pakai jalum, Ma?"

Raina mengangguk. Dikecupnya puncak kepala sang anak. Ia begitu merindukan anak-anaknya. Padahal tak sampai seharian. Raina tak dapat membayangkan jika nantinya ia harus berpisah dengan mereka. Sungguh, Raina tak ingin itu terjadi. Bahkan jika boleh meminta, Raina ingin hidup seribu tahun lagi, atau minimal sampai ia dapat melihat anak-anaknya hidup bahagia.

"Abang sekolah, Al?" tanya Raina, setelah membawa Alvarez menuju ruang keluarga dan duduk di sana.

Alvarez mengangguk. "Iya, kata Abang tadi, Al di lumah sama Bi Ani, telus nggak boleh nakal."

Raina tersenyum mendengarnya. Tak tahu harus melakukan apa, akhirnya Raina pun membawa Alvarez menuju dapur. Di sana, dapat ditemuinya Ani yang tengah membereskan tempat itu.

"Ani," panggilnya.

Yang disebut namanya segera menoleh.
"Ibu sudah pulang? Kapan?" tanyanya.

"Baru aja, An," sahut Raina, "makasih banyak, ya, udah jagain anak-anak selama saya pergi."

Ani mengangguk. "Ibu tidak perlu sungkan dengan saya, itu sudah menjadi tugas saya, Bu."

Raina tersenyum. "Kalo sudah selesai, kamu boleh istirahat. Saya mau buat camilan sama Al."

"Ini sudah selesai, Bu. Kalau begitu, saya pamit, ya, Bu."

Raina mengangguk. Sejenak matanya mengikuti punggung wanita yang baru saja diajaknya bicara itu pergi. Beberapa saat setelahnya, pandangan Raina beralih pada Alvarez yang anteng di gendongannya.

"Bikin makanan, yuk, Al," ajaknya.

"Ayo, Ma," sahut Alvarez, riang. Apa pun itu, jika tentang makanan, maka Alvarez akan selalu bersemangat.

❄️❄️❄️

Ruangan yang menjadi tempat presiden utama di sebuah perusahaan itu tampak senyap, seolah tak ada kehidupan, hanya ada bunyi jarum jam yang berdetak. Sementara sang pemilik ruangan hanya bergeming sembari berdiri dengan pandangan yang menatap kosong ke arah pemandangan kota yang terlihat indah jika ditatap dari atas sini.

Raganya memang di sini, tetapi pikirannya berkelana, dan hanya tertuju pada satu hal; keluarganya, atau lebih tepatnya kepada sang istri. Farrell, pria itu memang sudah menemukan dan mengetahui ke mana istrinya pergi. Namun, hingga kini, Farrell tak dapat membawa atau memaksa sang istri untuk pulang. Farrell hanya takut kemarahan Raina makin menjadi apabila ia melakukan hal itu.

Farrell tak dapat membiarkan rumah tangga tetap begini. Perubahan yang ia lihat dari Raina sejak beberapa saat lalu telah mengubah cara pandangnya. Dengan kejujuran hati, Farrell mengaku bahwa kini ia sudah benar-benar jatuh sedalam-dalamnya pada pesona sang istri. Farrell menyayangi dan mencintai Raina. Farrell ingin melindungi dan menjadi tameng wanita itu. Dan, Farrell membutuhkan wanita itu untuk menemani hari-hari panjangnya. Bahkan, jika boleh meminta, Farrell ingin dapat bersama dengan Raina, selamanya.

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang