Bab 42

19K 1.1K 39
                                    

Happy Reading!

Suasana meja makan kali ini tampak tenang. Empat orang yang duduk di kursi meja makan terlihat fokus menyantap makanan yang telah tersaji di hadapan mereka. Tak ada yang berbicara, sebelum akhirnya sang kepala keluarga memilih untuk membuka suara.

“Besok siang Papa akan pergi keluar kota,” ucap Farrell, usai meletakkan sendok dan garpu—yang telah digunakannya untuk makan—di atas piring dengan posisi menyilang. Makannya memang sudah habis tak tersisa.

Ketiga orang yang sebelumnya masih fokus menikmati makanannya pun segera mendongak, menatap tepat pada lelaki yang sebelumnya membuka topik pembicaraan.

“Papa mau ke mana?” Itu pertanyaan dari si kecil, Alvarez. Raut tanya terlihat jelas di wajahnya. Kerutan samar-samar pun muncul di kening mulusnya.

“Mas ada kerjaan?” lanjut Raina bertanya, sedangkan si sulung hanya diam, memilih untuk menjadi pendengar setia.

Yang ditanya pun memberikan jawaban sebuah anggukan. Pria dengan pakaian santainya itu meletakkan kedua tangannya di atas meja makan dengan posisi tangan kiri di bawah tangan kanan.

“Papa ada kerjaan darurat yang membuat Papa mau tak mau harus terjun langsung ke lokasi,” jelas Farrell, kemudian tatapannya beralih pada kedua anaknya. “Kalian tidak apa-apa, ‘kan jika tinggal di rumah hanya bertiga dengan Mama?”

Si sulung mengangguk saja, menurut. Sementara si bungsu, anggukannya pelan sekali, dengan wajah yang terlihat tak bersemangat.

“Papa berusaha untuk menyelesaikan pekerjaan sesegera mungkin, biar bisa cepat pulang,” ucap Farrell, berusaha memberikan pengertian pada Alvarez yang duduk tak jauh darinya sembari mengusap lembut kepala anak itu.

“Lumah sepi kalo nggak ada Papa,” jawab Alvarez dengan nada lesu.

“Kan masih ada Mama,” jawab Raina. Wanita itu tersenyum menenangkan. “Terus ada Abang juga. Alva, kan bisa main sama Abang.”

Farrell mengangguk, menyetujui apa yang diucapkan oleh sang istri.
“Iya, benar kata Mama,” ujarnya, “Abang sama Adek pengin minta apa? Nanti kalo Papa sempat, Papa bakalan belikan.”

Kedua anak yang ditanya diam dengan otak yang mulai diajak berdiskusi. Sebelum akhirnya si bungsu menjawab duluan.

“Alva mau mobil-mobilan, Pa.”

Mendengar itu, Raina segera menoleh, menatap Alvarez dengan tatapan heran.
“Mainan Alva, kan sudah banyak. Enggak mau yang lain aja?”

Alvarez menggeleng. “Alva nggak tahu mau apa, Ma. Jadi, Alva minta mobil-mobilan aja.”

Raina tersenyum tipis. Wanita itu mengangkat tubuh kecil Alvarez ke atas pangkuannya. Diusapnya kepala Alvarez dengan penuh kelembutan.

“Kalo Adek lagi nggak pengin apa-apa, mending uangnya dipakai buat beli yang lain. Kasihan uangnya kalo dipakai buat hal-hal yang kurang berguna.”

Alvarez diam sejenak, beberapa saat kemudian anak itu mengangguk setuju. Ia menoleh, menatap sang Papa yang juga tengah menatapnya.
“Ya udah, telselah Papa mau beliin apa buat Alva.”

Farrell tersenyum, kini tatapannya beralih pada si sulung yang masih setia dengan bungkamnya.
“Kalo Abang mau apa?”

Yang ditanya justru menggeleng.
“Sekarang lagi nggak pengin apa-apa.”

“Oh, ya udah. Nanti kalo tiba-tiba pengin sesuatu, kabari Papa aja, ya?” tawar Farrell, walau sebenarnya ia tak yakin bahwa nantinya Algha akan meminta sesuatu padanya. Namun, apa salahnya memberikan tawaran? Isi otak manusia tak ada yang bisa menebaknya, kecuali Sang Pencipta, itulah yang dipikirkan oleh Farrell.

Algha hanya mengangguk saja, dan topik kali itu menutup pembicaraan malam ini. Setelah mereka menyelesaikan makan malam mereka, sang ibu pun pergi membereskan peralatan makan yang telah digunakan, lalu mencucinya. Sementara ketiga laki-laki yang tersisa memilih berada di ruang keluarga.

Farrell memilih menonton televisi untuk melihat ada berita apa hari ini dengan Alvarez yang berada di pangkuannya yang tengah melihat-lihat buku anak bergambar. Sedangkan Algha menjatuhkan pilihannya untuk mengisi waktu luang dengan membaca series buku komik yang belum diselesaikannya.

❄️❄️❄️

Hari ini, tepat pada pukul satu siang, Raina dan Farrell yang tengah menggendong Alvarez berdiri di depan pintu rumah, mereka berniat mengantarkan sang kepala keluarga yang akan pergi keluar kota dalam beberapa hari ke depan, meskipun hanya bisa sampai depan pintu.

“Papa cepat pulang, ya,” ucap Alvarez.

Farrell yang semula tengah memperhatikan sopirnya memasukkan barang-barang yang akan dibawanya keluar kota pun menoleh ke arah anak yang saat ini berada di gendongannya.

“Papa nggak bisa janji, tapi Papa bakalan usahain.”

Meski dengan wajah lesunya, Alvarez memilih untuk tetap mengangguk. Ia makin mengeratkan pelukannya di leher sang papa tatkala melihat sopir Farrell mulai mendekat ke arah mereka. Anak itu terlihat tak rela jika papanya pergi.

“Sini, Sayang, sama Mama. Papa udah mau berangkat, tuh.” Raina yang sejak tadi hanya jadi penonton pun akhirnya membuka suara sambil merentangkan kedua tangannya, bersiap untuk menyambut si bungsu ke dalam gendongannya.

Alvarez menggeleng sambil menyembunyikan wajahnya di ceruk leher sang papa. “Mau sama Papa.”

“Papa mau kerja, Sayang,” tutur Raina lembut, berusaha memberikan pengertian. Hingga akhirnya, dengan raut tak relanya, Alvarez pun mau berpindah gendongan ke Raina. “Nanti kita sering video call sama Papa, ya?”

“Ya udah, Papa berangkat, ya?” pamit Farrell, diacaknya pelan kepala Alvarez. “Alva baik-baik di rumah, ajak Abang main kalo Abang lagi nggak sibuk.”

Alvarez mengangguk saja tanpa mau menjawab.

“Nanti kalo udah sampai, langsung kabari,” ucap Raina.

“Iya, Sayang,” sahut Farrell. Ia mendekat ke arah Raina, dan mengecup kening wanita itu. Lantas, pria itu juga mencium kening Alvarez.

“Hati-hati, Mas.” Raina kembali bersuara setelah mencium punggung tangan sang suami.

“Alva nggak mau salim sama Papa?” tanya Farrell tatkala sang anak justru membuang muka. “Ya udah, kalo Alva marah. Papa berangkat dulu, ya?”

Baru saja Farrell berjalan sebanyak dua langkah, terdengar suara Alvarez yang memanggilnya.

“Papa, Alva mau salim,” ucap Alvarez dengan suara seperti menahan tangis, terlihat dari mata anak itu yang sudah berkaca-kaca. Jelas saja, ini adalah kali pertamanya ia ditinggalkan pergi keluar kota oleh sang papa.

Farrell dan Raina tersenyum kecil melihatnya, lalu Farrell pun berbalik dan kembali menghampiri mereka.

Alvarez menggerakkan tubuhnya, ingin turun. Raina yang memahami kode tersebut pun menurunkan Alvarez. Lantas, anak berusia tiga tahun itu meraih tangan papanya, lalu menciumnya.

“Alvarez baik-baik di rumah, ya,” pesan Farrell sekali lagi. Setelah merasa tak ada yang tertinggal, Farrell pun memilih untuk memasuki mobil.

Mobil itu mulai bergerak, meninggalkan pekarangan rumah. Tepat saat itu, Farrell meraih ponselnya yang berada di saku jas yang dikenakannya. Pria itu mengirimkan sebuah pesan singkat untuk putranya yang saat ini masih berada di sekolahnya karena ada ekstrakurikuler basket yang akan diikutinya setelah selesai jam sekolah.

Si Sulung
Jaga diri baik-baik. Ajak adek main kalo lagi gk sibuk. Sesekali bantuin mama kalo mama perlu bantuan. Papa pamit berangkat Gha. Kalo mau apa-apa, bilang aja.

Tanpa menunggu jawaban dari Algha, Farrell pun menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku jas.

To be continued ....

Our Dream House (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang