Bab 1 ~ Dunia Mangkuk

581 76 4
                                    

"Dunia ini seperti sebuah mangkuk yang biasa kalian pakai untuk makan dan minum. Kalian yang tinggal di lembah seperti hidup di dasarnya, dan pegunungan batu yang mengelilingi lembah ini adalah dindingnya."

Itulah pelajaran dari Kakek hari ini. Pelajaran yang langsung membuat anak-anak terpana dan berebutan bertanya.

Dunia seperti mangkuk? Mangkuk apa? Kenapa seperti mangkuk?

Bukannya menjawab semua itu, Kakek malah tertawa.

Ia membiarkan mereka terus berteriak-teriak, sebelum berkata, "Akan Kakek jelaskan, setelah itu kalian boleh bertanya."

Maka keseluruh penghuni lembah, yang terdiri dari tiga puluh tiga anak, duduk rapi di rerumputan, memandangi wajah Kakek tanpa berkedip.

Kakek adalah sosok yang biasa muncul di tepi sungai tak lama setelah sinar pagi datang, di atas batu datar di samping pohon karamunt.

Dari pohon rindang itu setiap paginya siulan lembut mengalun. Sebenarnya itu hanyalah suara ranting dan dedaunan yang saling bergesek, tetapi bagi anak-anak itu artinya panggilan dari Kakek.

Mereka cepat-cepat bangun, meraih sulur-sulur yang menggantung di samping rumah pohon masing-masing dan bergegas turun. Mereka berlarian ke tepi sungai dan menunggu.

Permukaan batu datar itu lalu memendarkan cahaya putih. Serbuk-serbuk halus beterbangan, berputar-putar di atasnya.

Kemudian, setelah putaran terhenti wajah Kakek muncul di tengah-tengah kabut. Kabut itu bergumpal-gumpal seperti awan di tepiannya, tetapi terang di tengahnya.

Bagi anak-anak, wajah Kakek tampak seperti mereka. Punya sepasang mata untuk melihat, satu hidung untuk bernapas dan satu mulut untuk berbicara. Tetapi sekaligus juga berbeda. Rambut putih tebal melintang di atas mata dan bibir Kakek.

Rambut tebal serupa menempel di dagunya, panjang dan lebat hingga menutupi leher, bahkan mungkin lebih panjang lagi, jika saja anak-anak bisa melihat seluruh bagian tubuhnya hingga ke mata kaki.

Dulu, saat pertama kali melihat wajah Kakek, anak-anak ketakutan. Tidak ada makhluk lain yang tinggal di lembah itu selain ketiga puluh tiga anak, jadi tentu saja mereka terkejut.

Selain itu, bagi mereka wajah Kakek terlihat sangat mengerikan, sehingga saat pertama kali muncul tak ada yang berani melihatnya.

Selama berpuluh-puluh hari mereka juga tak pernah bertanya kenapa dia bisa punya rambut putih sepanjang itu.

Namun suatu ketika, ketika anak-anak semakin besar, mereka akhirnya memberanikan diri bertanya.

Mendengar pertanyaan mereka Kakek tertawa.

"Itulah kenapa aku dipanggil dengan sebutan 'Kakek'," katanya.

Anak-anak bertatapan bingung, belum paham maksudnya.

Kakek melanjutkan sambil terkekeh, "Suatu hari nanti anak laki-laki juga akan berwajah seperti ini."

Sebagian anak langsung tertawa sekeras-kerasnya, terutama yang perempuan. Sementara yang lainnya menjerit ketakutan.

Seorang anak berseru, "Aku lebih suka rambutku yang berwarna hitam, bukan putih!"

Mereka yang tadi tertawa berkata, "Tapi dagu berambut itu lucu juga!"

Lalu yang lain membalas, "Tidak mauuu!"

Begitulah, mereka tetap lebih suka wajah mereka saat ini, yang bersih tanpa rambut. Walau demikian, setelah beberapa lama, mereka senang juga memandangi Kakek saat ia membelai-belai rambut panjangnya.

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWo Geschichten leben. Entdecke jetzt