Bab 20 ~ Bukan Lembah Kita

56 31 2
                                    

"Tetapi, bisa jadi ini bukan rumah," Piri berkata dengan hati-hati saat memperhatikan kedua bangunan berdinding tinggi di kiri dan kanannya.

Tero meringis. Jalannya tak lagi terpincang-pincang, tetapi sakit di pergelangan kakinya sepertinya masih ada. "Kita tadi tidur di sana, berarti ini rumah. Kalau ini bukan rumah untuk tidur, lalu apa?"

"Sama seperti Menara Hitam. Apa itu juga rumah untuk tidur?" kata Piri.

Yara dan Tero tidak membalas, karena saat itu Pak Jenasin menoleh ke belakang, sepertinya terganggu dengan suara bisikan mereka.

Mereka terus berjalan sampai akhirnya tiba di ujung lorong, di samping tanah berumput yang permukaannya menurun, sepertinya karena berada di lereng pegunungan. Barisan pepohonan dan semak belukar menghadang di depan, tetapi ada jalan setapak di tengah-tengahnya.

Piri menoleh ke belakang, untuk mengenali dua bangunan yang tadi dilewatinya, dan juga untuk meyakinkan diri bahwa puncak pegunungan memang berada di belakangnya.

"Cepat," Pak Jenasin berkata. "Jangan sampai tertinggal, atau anjing-anjing hutan akan datang dan memakan kalian."

Bagi Piri dan kedua anak lainnya ancaman itu benar-benar mengerikan. Bergegas mereka mengikuti Pak Jenasin, berusaha untuk tidak tertinggal jauh dari langkah-langkah lebar makhluk besar itu.

Jalan yang mereka lewati berkelok-kelok, naik, turun, naik lagi, lalu turun lagi. Napas anak-anak memburu, tubuh mereka letih.

Piri teringat, mereka memang belum beristirahat sehabis menggali.

Setelah beberapa lama jalan kembali datar. Barisan pepohonan dan belukar yang sebelumnya lebat mulai menipis. Mereka sampai di kaki pegunungan. Setelah berbelok beberapa kali kini terbentang dataran luas berumput sejauh mata memandang.

Mendongak, mereka bisa menikmati langit malam yang terbuka tanpa halangan.

Piri menahan napas, tertegun. Ia belum sadar apa yang paling membuatnya gelisah, tetapi rasanya ada sesuatu yang aneh di sini.

Ia melirik Yara dan Tero, tetapi tampaknya kedua anak itu masih telalu lelah untuk berpikir.

Untungnya, langkah Pak Jenasin saat menyeberangi dataran melambat sehingga anak-anak bisa mengikutinya tanpa harus setengah berlari.

Piri menggunakan kesempatan itu untuk bertanya, "Pak Jenasin, kamu bilang tadi hendak membawa kami pulang?"

"Begitulah."

"Tetapi ini bukan jalan pulang."

"Kalian akan pulang! Jangan khawatir."

"Kamu tahu kami mau pulang ke mana?"

"Tentu saja. Ke tempat anak-anak berada."

"Tetapi di mana itu?" tanya Piri keras.

"Orang yang akan mengantar kalian nanti tahu!"

"Orang?" Tero bertanya. "Apa itu?"

"Hah? Orang ya orang! Dia orang, aku orang, kalian juga orang. Sudah! Kita hampir sampai ke tempat dia menunggu."

Piri membiarkan Pak Jenasin berjalan lebih jauh.

Yara dan Tero terheran-heran.

"Piri, ada apa?" bisik Yara gelisah.

"Apa kalian tidak melihat?" tanya Piri.

"Melihat apa?" balas Tero.

"Lembah ini! Kalian tidak merasa aneh?"

"Apa? Apa?" Yara dan Tero memandang panik ke segala arah.

"Kita tidak melihat Menara Hitam! Tidak ada, di mana pun!"

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now