Bab 45 ~ Suara Api

38 22 0
                                    

Sayangnya, keinginan anak-anak untuk tertidur lelap tak terkabul.

Sekali lagi sesuatu terjadi. Ketika anak-anak masih setengah terlelap, angin berdesir seolah memanggil.

Piri tersadar, berpikir, mana mungkin angin bisa memanggil? Dan seharusnya angin ada di luar sana, bukan dekat di dalam ruangan.

Perlahan ia bangun, lalu melihat ke kiri dan ke kanan, mencari-cari apa yang membuat suara angin itu. Pendengarannya tidak salah, karena Yara dan Tero juga terbangun, dan tampaknya terganggu pula.

Anak-anak kembali merapat dengan gugup.

Nyala api muncul di perapian, mendadak, membakar kayu-kayu hitam lalu menari-nari. Napas ketiga anak tertahan.

Suara itu muncul lagi, kali ini lebih jelas.

Sudah lebih jelas pula asalnya. Dari nyala api tersebut.

"Jangan takut, anak-anak." Tawa kecil menyusul terdengar.

Kemudian kata-kata lagi. "Ya, kalian melihat ke arah yang tepat. Aku di sini, dalam api ini. Kehadiran kalian membuat ruangan ini hangat, dan itu membuatku muncul, jika kalian ingin tahu."

Suara itu berat, namun bersahabat.

Rasa takut di hati anak-anak memudar.

"Kamu ... kamu ini apa?" tanya Piri.

"Aku dulu manusia. Namaku Ardin. Dulu biasa dipanggil Sang Pelindung."

"Pelindung? Siapa yang kamu lindungi?" tanya Tero.

"Orang-orang. Termasuk kalian."

"Kami?" Piri bertanya, bingung.

"Oh, maksudmu melindungi kami dari orang-orang jahat itu?" kata Yara. "Pak Jenasin, Tuan Rodik dan lain-lain? Kamu menyelamatkan dan membawa kami ke sini?"

"Kalau begitu terima kasih!" kata Piri.

"Iya." Yara dan Tero ikut mengangguk.

Suara berwujud api itu kembali tertawa.

"Bagaimana kamu melakukannya?" Yara bertanya.

Ketiga anak kini mendekat ke perapian, dan berbicara dengan api yang meliuk-liuk tertiup angin tipis seolah makhluk itu adalah teman dekat mereka.

"Kamu yang menyuruh burung-burung itu?" tanya Yara lagi.

"Kalian dalam bahaya, maka aku meminta tolong pada burung-burung itu. Aku tidak menyuruh mereka. Mereka bukan milikku. Mereka makhluk suci milik Dewi Angin."

"Dewi Angin? Memangnya itu burung apa? Kamu bisa melihat jauh dari sini?"

Anak-anak berebutan bertanya. Ada begitu banyak pertanyaan yang muncul di benak mereka. Tiba-tiba Piri teringat pada Kakek yang dulu selalu menjawab pertanyaan mereka dengan sabar di tepi sungai di Dunia Mangkuk.

"Aku mendengarnya dari duniaku, dengan cara tertentu."

Jawaban yang tidak jelas. Anak-anak tidak puas, dan menunggu.

Setelah beberapa saat ternyata Ardin malah mengatakan hal lain. "Anak-anak, kalian tidak bertanya kenapa aku dan burung-burung itu menolong kalian?"

"Memangnya kami siapa?" tanya Yara.

"Kalian anak-anak dari negeri Frauli."

Anak-anak bengong, saling menatap.

"Berarti omongan mereka benar?" tanya Piri.

"Mereka siapa?" si makhluk dari api balik bertanya.

"Orang-orang jahat itu!"

"Hmm. Aku bisa ceritakan semuanya, dari awal, kalau kalian mau. Kalian suka mendengarkan dongeng?"

"Tentu saja!" seru Tero. "Kakek juga sering mendongeng tentang tumbuh-tumbuhan atau burung kamio."

"Aku akan bercerita tentang sesuatu yang lebih menarik. Tentang siapa kalian, yang sepertinya, aku yakin, belum pernah diceritakan oleh Kakek kalian."

Piri dan kedua anak lainnya saling memandang, dan tersenyum lebar.

Sudah pasti, ini akan jadi cerita yang menarik! Mereka akhirnya akan tahu siapa sebenarnya mereka!

Ardin membuka cerita. "Dahulu kala, di utara negeri Mallava, terdapat sebuah negeri bernama Frauli. Negeri yang makmur dan indah. Di antara negeri-negeri lain seperti Kalani dan Suidon, Frauli adalah yang paling kuat juga."

"Apakah Maderut ada di dekat mereka juga?" tanya Piri tak sabar.

"Maderut? Maderut sangat jauh. Kenapa?"

"Tuan Dulum dan Bibi Molen bilang kami berasal dari sana."

"Tidak. Kalian bukan dari sana."

"Oh." Ketiga anak manggut-manggut.

"Nah, sejak lama negeri-negeri ini bermusuhan dengan Kerajaan Mallava. Mereka selalu berperang, namun tak pernah ada yang menang. Hingga akhirnya beberapa tahun yang lalu Penyihir Merah mengambil alih kekuasaan di Mallava, lalu ia mengumpulkan kekuatan untuk menyerbu negeri lain di sekitarnya."

"Dia orang yang jahat, kan?" tanya Yara.

"Sebagian besar orang bilang begitu, tetapi tentu saja, dia tak merasa begitu. Pasukan Mallava menyerang. Awalnya negeri-negeri lain mampu bertahan dengan pasukan Frauli di garis depan. Namun pada akhirnya Frauli menyerah. Negeri itu diserbu pasukan Mallava, dan dihancurkan. Setelah hari yang menyedihkan itu, satu per satu negeri-negeri lain pun takluk, hingga akhirnya di tanah ini kini hanya ada satu penguasa, Penyihir Merah.

"Namun sebelum itu terjadi, para ksatria Frauli, sebelum mereka dihancurkan, sempat meminta tolong padaku. Aku dekat dengan raja Mallava yang lama. Setelah beliau sakit keras, lalu wafat, Penyihir Merah berkuasa. Aku menolak tunduk pada penyihir itu, dan pergi sejauh mungkin dari Maruvat, hingga akhirnya tiba di pegunungan ini. Aku membangun rumah, dibantu adikku Obain dan pelayan setiaku Haim.

"Aku berniat tinggal di sini hingga akhir hayat. Namun seorang ksatria Frauli mengetahui keberadaanku. Dia datang dan memohon agar putra putrinya, juga anak-anak ksatria lainnya, bisa mendapat perlindungan dariku. Ia tidak ingin anak-anak itu mati bersama mereka di Frauli. Ia ingin mereka hidup, agar nanti bisa membalaskan kematian orangtua mereka.

"Aku menghormati keinginannya, tetapi aku tidak mungkin melawan Penyihir Merah beserta pasukannya dan melindungi anak-anak itu sendirian. Tetapi kubilang, mungkin Dewi Angin bisa menolongku. Dewi adalah kekasihku, karenanya mungkin ia mau mendengar permintaanku. Aku bicara padanya, dengan perantara angin dan api. Awalnya ia enggan membantu, tetapi kukatakan padanya, ini bukan soal perang, ini soal kemanusiaan.

"Maka ia setuju. Ia bersedia menampung seluruh anak di negerinya. Suatu negeri di mana hanya kami berdua yang tahu, tempat kami biasa bertemu dan menghabiskan waktu. Dengan satu syarat, aku tak boleh mengajarkan dendam pada anak-anak itu. Apa yang sudah terjadi dalam perang biarlah berlalu, dan tak boleh ada lagi pembalasan di masa datang.

"Dewi Angin memanggil kedua grayhayr miliknya, sepasang burung rajawali raksasa yang tadi membawa kalian kemari. Dengan kedua hewan itu aku, sang ksatria dan Haim pergi ke Frauli. Namun sebelumnya adikku Obain memberiku sebuah batu bulat berwarna biru dan berkata bahwa batu itu diberikan seorang penyihir dari Kalani, dan bisa melindungiku di saat genting.

"Ia menunjukkan, bagaimana batu itu mengeluarkan cahaya menyilaukan berwarna biru yang jika diarahkan ke sasaran tertentu bisa membuat sasaran itu hangus terbakar. Itu senjata yang luar biasa. Pasti bisa membantuku nanti, pikirku saat itu.

"Setelah perjalanan panjang aku, sang ksatria dan Haim sampai di Frauli. Negeri itu sudah hampir hancur oleh serangan pasukan Mallava yang dipimpin oleh Penyihir Merah. Aku mengumpulkan seluruh anak para ksatria. Jumlahnya seratus. Semua masih kecil-kecil, bahkan sebagian besar masih bayi. Usianya tak ada yang lebih dari tujuh tahun, karena di Frauli, anak tujuh tahun sudah bertempur di samping orangtua mereka."

"Bertempur?" Alis Yara terangkat.

"Dengan senjata tajam?" tanya Piri.

"Wah! Itu menarik," kata Tero sambil tersenyum lebar.

"Tidak! Itu mengerikan!" tukas Yara. "Kamu berkelahi melawan orang dewasa, dengan senjata-senjata itu, Tero! Apa kamu tidak takut?"

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldDove le storie prendono vita. Scoprilo ora