Bab 84 ~ Rencana

30 23 0
                                    

Menjelang sore mereka sampai di pemukiman yang tersembunyi di balik tebing. Orang-orang datang menyambut, bertanya-tanya apakah mereka berhasil mendapatkan sesuatu dari Kastil Frauli. Ada pula yang bertanya apakah mereka berhasil menemukan Grayhayr Emas.

Tuan Karili belum menjawab dan hanya membawa Piri dan Yara ke tendanya. Tetapi ia membiarkan keempat pejuangnya menceritakan pengalaman mereka.

Piri dan Yara tak mendengar karena sudah masuk bersama Tuan Karili dan Rufio. Kalai dan beberapa orang tua sudah menunggu di dalam tenda.

Saat itulah baru Tuan Karili bercerita tentang semuanya, dan sebaliknya menanyakan kabar terbaru apa yang muncul selama mereka pergi.

"Pemburu kita melihat seekor burung merpati terbang ke selatan," kata seorang tua bernama Kadao. "Sepertinya bukan burung biasa. Dia mungkin membawa pesan untuk komandan Mallava, tentang apa yang terjadi di Kastil Frauli."

Tuan Karili mengangguk. "Sebentar lagi semua komandan, dan bahkan Penyihir Merah, akan tahu kalau keturunan Guiras dan para kesatria lainnya sudah muncul di Frauli. Itu akan jadi kekhawatiran mereka."

"Asalkan bukan Gagak Hitam yang muncul, kita masih bisa tenang," kata Rufio. "Kalau dia yang muncul, berarti Kapten Morat sudah tahu kalian punya persembunyian di sini. Baru itu berbahaya."

"Bukankah ada serigala yang bisa menolong kita?" kata Piri.

"Tidak. Serigala tak akan bisa membantu jika pasukan Mallava datang dalam jumlah besar," ujar Tuan Karili, yang lalu diam termenung beberapa lama. "Akan kutempatkan lebih banyak penjaga dan pengawas di luar sana. Tapi ..." ia memandangi Kalai, "sebelum itu, mari kita dengar kabar tentang Tuan Boromai dan para pejuang Suidon. Bagaimana kabar mereka?"

"Dia ditawan di Benteng Krufix, di sebelah timur perbatasan Frauli, tak jauh di seberang Sungai Brunira," kata Pak Kadao.

Tuan Karili mengangguk. "Paling tidak kita tahu ayahmu selamat," katanya pada Kalai. Kalai mengangguk dengan murung. "Jangan khawatir, kita akan mencari cara untuk membebaskannya."

"Akan sangat sulit," kata Pak Kadao.

"Kita tak punya pilihan," balas Tuan Karili. "Kita harus membebaskan Tuan Boromai sebelum pasukan Mallava memaksa dia menunjukkan arah ke pemukiman kita. Kalau itu terjadi, akan jadi bencana."

"Dia belum pernah kemari," kata Pak Kadao. "Dia tidak tahu."

"Tapi dia bisa menunjukkan arahnya."

"Ayahku tak akan memberitahu mereka!" seru Kalai.

"Semoga begitu, Nak." Tuan Karili menatap anak itu. "Aku percaya pada ayahmu. Tapi hal buruk bisa terjadi. Tenanglah, kita akan membebaskannya."

"Kau punya rencana?" tanya Pak Kadao.

"Punya. Kita akan ke sana." Tuan Karili menoleh pada Piri dan Yara. "Ke Benteng Krufix. Dan mungkin kalian berdua bisa membantu kami."

Piri dan Yara memperhatikan laki-laki itu dengan tegang.

"Apa maksudmu?" Rufio langsung bertanya dengan sorot mata waspada. "Kau ingin mereka ikut dalam perjalanan berbahaya ke benteng musuh, dan terlibat pertempuran di sana?"

"Kita coba bebaskan Tuan Boromai tanpa harus bertempur."

"Kau tahu itu tidak mungkin!"

"Kita akan menyusup," balas Tuan Karili.

"Tapi mereka berdua masih anak-anak!" seru Rufio. "Kau tidak boleh membahayakan mereka!"

"Mereka bukan anak-anak biasa, kau tahu apa yang bisa mereka lakukan. Ya, aku pun tak ingin membahayakan jiwa mereka. Tapi ini sangat penting. Jika kita terlambat membebaskan Tuan Boromai, percuma kita semua, termasuk Piri dan Yara, berlindung di sini. Kita akan hancur dan binasa."

"Nanti dulu. Ingat, kau pernah bilang di tepi sungai, bahwa Yara adalah junjungan kalian sekarang, pemimpin kalian yang sesungguhnya, dan bahwa kalian akan patuh kepadanya," sahut Rufio. "Kalau dia tidak mau pergi, kau tidak boleh memaksa!"

"Aku tahu," Tuan Karili menjawab, lalu menoleh pada kedua anak. "Karenanya di sini aku memang hanya meminta, bukan memaksa, apakah Yara dan Piri bersedia membantu kami."

Suasana di dalam tenda berubah hening.

"Kami harus melakukan apa di sana?" tanya Yara.

Tuan Karili menarik napas perlahan. "Jika situasinya mendesak, mungkin melakukan seperti yang kalian lakukan di sungai kemarin."

"Menyakiti orang-orang?" tanya Piri.

"Melindungi kami," jawab Tuan Karili.

"Ya, tapi dengan cara menyakiti orang lain."

"Kalian tidak akan menyakiti musuh lebih daripada seharusnya. Jika semuanya berjalan lancer, begitu kita berhasil mendapatkan Tuan Boromai, kita cepat-cepat pergi. Bagaimana, kalian bersedia?"

Yara termenung lagi, kemudian mengangguk. "Asal kalian mau mengikuti kata-kataku. Kalau aku bilang kalian tak boleh menyakiti orang-orang Mallava, kalian harus patuh."

"Tidak masalah," jawab Tuan Karili.

Piri menggeleng pelan, masih belum percaya Yara mau pergi. "Kamu yakin? Kamu bilang kamu tidak suka perang ..."

"Aku memang tidak suka!" Yara menukas dengan nada tinggi. "Aku hanya akan membantu sekali ini saja, untuk menyelamatkan Tuan Boromai, yang telah menolong kita sebelum ini!"

"Baiklah." Piri masih ragu, tapi akhirnya mengangguk pula pada Tuan Karili. "Kami akan pergi bersama kalian."

Rufio menatap keduanya dalam-dalam. "Kalian tak akan bisa berhenti sampai sekali ini saja, kalau kalian mau tahu."

Piri balik menatapnya, dalam hati berharap semoga kata-kata Rufio tidak benar. Tapi ia tahu Rufio selalu punya niat baik, maka ia pun tersenyum.

"Kamu akan ikut juga, Rufio?"

"Tentu saja! Aku akan melindungi kalian!"

"Aku juga," kata Kalai. "Ini soal ayahku. Aku harus ikut."

Tuan Karili mengangguk. "Baik, kalian semua ikut. Asal kalian semua paham resikonya. Kita istirahat malam ini, dan berangkat besok pagi."

Ia benar-benar tidak mau membuang waktu!

Piri setuju saja, karena lebih cepat mereka membebaskan Tuan Boromai akan lebih baik. Selesai makan ia dan Yara tidur di tenda Tuan Karili. Karena cukup lelah, mereka bisa langsung terlelap.

Esoknya, Tuan Karili membangunkan mereka pagi-pagi sekali sambil membawakan sarapan. Tanpa membuang waktu anak-anak makan secukupnya untuk memulihkan tenaga, kemudian keluar mengikuti Tuan Karili.

Di tengah pemukiman semua orang sudah berkumpul. Bersama anak-anak ada dua puluh pejuang yang akan pergi, termasuk Duran, Morav, Parid dan Koram. Semuanya membawa pedang, busur dan anak panah.

Semua orang itu memberi salam dan menunduk memberi hormat ketika melihat Piri dan Yara. Piri merinding. Belum pernah seumur hidupnya ia diperlakukan seperti ini, dan itu malah membuatnya semakin gugup.

Ia yakin, Yara pasti merasakan hal yang sama.

"Tadi aku sempat dengar, sebelum kalian bangun," bisik Rufio dari belakang. "Masih ada perdebatan tadi. Sebagian orang setuju kalian ikut, tapi sebagian lagi tidak, karena ini terlalu berbahaya untuk kalian."

"Menurutmu nanti akan benar-benar berbahaya?" tanya Piri.

"Mencoba menyerang benteng musuh, dengan jumlah orang yang lebih sedikit?" tukas Rufio. "Kalian bisa bayangkan sendiri."

"Tuan Karili bilang kita akan menyusup, bukan menyerang," Piri membantah, yang lalu dibalas Rufio dengan tawa kecil.

"Yara, Piri." Tuan Karili yang berdiri di tengah tanah lapang memanggil.

Kedua anak maju, lalu menghadap semua orang.

Pak Kadao, si tetua desa, maju pula dan mengikatkan seutas tali tipis di pergelangan tangan kanan Piri maupun Yara.

"Apa ini?" tanya Piri.

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now