Bab 21 ~ Si Jangkung

58 30 1
                                    

Piri tiba-tiba bergidik saat tatapannya beradu dengan orang bertubuh jangkung di depannya.

Orang ini ... siapa dia? Apa yang akan dia lakukan?

"Tidak." Tuan Rodik membalas ucapan Pak Jenasin sambil menggeleng. "Kami pergi malam ini."

"Ha? Kenapa?" tanya Pak Jenasin heran.

"Ada perubahan rencana! Bukan urusanmu." Tangan kanan Tuan Rodik keluar sambil memegang sebuah kantong yang penuh berisi sesuatu. Ia menyerahkannya pada Pak Jenasin.

"Jangan lupa, kau tidak tahu apa pun soal pertemuan ini," kata Tuan Rodik. "Jika kau tidak bisa menjaga mulutmu, aku akan datang, dan kau bisa percaya itu tidak akan lama, lalu mengambil ini lagi, dan juga lidahmu, dan ... mungkin juga yang lainnya."

"Te—tentu saja, aku tidak akan bicara," kata Pak Jenasin gugup.

Ia tersenyum dan menepuk-nepuk bahu Tuan Rodik. "Hei, santailah, Tuan, tidak usah bicara seperti itu. Ada anak-anak di sini."

"Aku tidak peduli," jawab Tuan Rodik dingin. Ia memperhatikan Piri, Yara dan Tero, seolah mempelajari isi kepala ketiga anak, lalu mengangguk. "Ya, aku tidak peduli. Kita berangkat."

Apa yang diucapkan oleh Tuan Rodik pada Pak Jenasin adalah sebuah ancaman, Piri yakin, walaupun ia belum mengerti sepenuhnya.

Hendak mengambil lidah jika Pak Jenasin bicara tentang sesuatu? Apakah tentang mereka bertiga? Itu benar-benar mengerikan! Bagaimana Piri bisa percaya pada orang yang mengerikan seperti Tuan Rodik?

Tuan Rodik mengambil benda aneh lainnya dari samping bangunan.

Benda itu sangat besar, terbuat dari papan-papan kayu yang dibentuk menjadi kotak memanjang seperti mangkuk dibalik, tetapi tidak seperti bulatnya mangkuk. Ukuran kotak itu besarnya mungkin separuh dari ruangan tempat mereka tidur tadi pagi, dan bisa berjalan karena punya empat kaki berbentuk lingkaran yang terbuat dari kayu.

Benda besar itu mencengangkan, tapi bukan itu yang membuat anak-anak takut. Mereka gemetar karena melihat sosok binatang raksasa yang digunakan untuk menariknya.

Dia berkaki empat dan berkulit coklat. Panjang tubuhnya lebih dari sepuluh langkah, dan lehernya panjang dan besar dengan rambut-rambut tebal terjurai di belakang leher. Bentuk kepalanya seperti burung kamio, namun lebih panjang. Bukan paruh, karena tidak runcing.

Piri berpikir, paruh digunakan burung kamio untuk mematuk dan menghancurkan buah-buahan sebelum dimakan. Jika ini bukan paruh, lalu bagaimana binatang besar ini memakan buah? Apakah langsung dimasukkan ke dalam mulut dan dikunyah, seperti yang biasa dilakukan anak-anak?

Atau jangan-jangan makanannya bukan buah?

Piri tiba-tiba teringat pada anjing hutan yang disebutkan Pak Jenasin. Inikah binatang buas berbahaya itu?

Tuan Rodik menyeringai melihat reaksi anak-anak.

"Hei, kenapa kalian ketakutan begitu? Belum pernah melihat kuda? Jangan bercanda! Kuda tidak akan memakan kalian, dia hanya akan menendang. Itu pun hanya jika kalian mengganggunya, atau jika kalian tidak menuruti kata-kataku. Kalian mau tidak menurutiku?"

Anak-anak terlalu takut untuk menjawab, dan diamnya mereka dianggap sebagai jawaban.

"Bagus," kata Tuan Rodik. "Diam saja. Sekarang, naik ke gerobak!"

Jadi itulah nama kotak besar itu. Gerobak.

Tuan Rodik mengangkat tubuh anak-anak satu per satu dan meletakkannya di dalam gerobak. Di samping bangunan kayu tampak Pak Jenasin sedang menghitung sesuatu di tangannya, yang sepertinya adalah isi kantong yang tadi diberikan oleh Tuan Rodik.

Laki-laki gemuk itu belum pergi, tetapi anak-anak tak peduli lagi padanya. Mareka punya masalah yang lebih besar sekarang.

Tuan Rodik naik dan duduk di depan gerobak. Ia menarik tali yang tersambung sampai ke leher sang kuda, kemudian menengok ke belakang, memandangi ketiga anak yang gelisah.

"Aku tahu pikiran buruk di kepala kalian. Tetapi selama pikiran itu tak sampai menggangguku dan membuatku kesal, aku tidak peduli. Kalian mengerti?"

Ketiga anak diam saja, tidak pula mengangguk.

Namun Piri lalu memberanikan diri. Mungkin satu atau dua pertanyaan tak akan membuat Tuan Rodik kesal, asal diucapkan dengan baik.

"Tuan, kamu mau membawa kami ke mana?" ia bertanya.

"Pak Jenasin belum mengatakannya padamu?"

"Pulang, katanya. Tapi ... dia mungkin tidak tahu tempatnya."

Tuan Rodik melirik ke arah Pak Jenasin, lalu mendengus. "Si bodoh itu memang tidak tahu apa-apa. Ya, di tidak perlu tahu."

"Kamu tahu, ke mana arah pulang?" tanya Piri lagi.

Tuan Rodik balik bertanya, "Memangnya di mana rumahmu?"

Tero yang menjawab sambil menunjuk jauh ke kiri, "Rumah kami ada di balik pegunungan! Seharusnya kita ke sana."

"Benar." Yara mengangguk, mulai berani pula. "Mestinya ada jalan di sana, kan? Yang bisa dilewati gerobak ini?"

Tuan Rodik membalas dengan senyuman masam, lalu mendengus. "Anak-anak. Tukang berkhayal! Selalu menyusahkan!"

"Berkhayal?" Yara dan Tero terperangah.

"Kamu ... tidak percaya kami?" tanya Piri.

"Sudah, diam saja!" Tuan Rodik berbalik menghadap ke depan, dan menyabetkan tongkat kayu ke pantat si kuda. Kaki-kaki bundar gerobak itu berputar. "Kita pulang sekarang, kalian sudah ditunggu. Tak usah mengarang-ngarang cerita."

Ia menoleh. "Dan pakai selimut itu untuk menutupi tubuh kalian. Ya, kain tebal bau di bawah kursi itu. Dasar, kalian kemanakan baju kalian, hah? Berkeliaran telanjang seperti itu, rambut gondrong berantakan, bau! Entah dari mana kalian. Macam-macam saja."

"Tetapi, Tuan, kami tidak berkhayal!" seru Tero. "Kami memang datang lewat sungai, yang mengalir di bawah pegunungan. Mungkin lebih baik kita kembali ke sungai itu, dan—"

"Diam!" Tuan Rodik membentak. "Seperti kubilang tadi, aku tidak mau pikiran buruk kalian membuatku kesal. Jadi diamlah, atau tidur saja sekalian, atau aku harus memaksa kalian untuk tidur! Juga, jangan pernah berpikir untuk melompat turun saat gerobak sedang berjalan, kecuali jika ingin leher kalian patah."

Piri terhenyak. Tero ternganga, matanya mengerjap-ngerjap dan napasnya berembus-embus tidak karuan. Yara meringkuk gemetar di pojok gerobak dengan air mata berlinang. Ia menahan tangis saat Piri memeluknya.

Ketiganya merapat, diam seribu bahasa.

Saling memeluk, anak-anak akhirnya terlelap selama perjalanan.

Ketika mereka terbangun malam telah berlalu dan langit sudah kembali terang. Gerobak terguncang-guncang melewati jalanan tanah yang basah dan berbatu. Dengusan kuda terdengar mengiringi setiap ketukan langkahnya.

Piri menurunkan selimut tebalnya dan melongok melewati dinding gerobak, memperhatikan baris pepohonan, satu-satunya pemandangan yang bisa ia lihat. Mereka sudah jauh melewati dataran berumput dan kini masuk menembus hutan.

Di depan, Tuan Rodik mengendalikan kudanya dengan tubuh sedikit membungkuk. Kepalanya menunduk, tersembunyi di balik bahu, hanya penutup kepala melingkarnya yang tampak.

Si jangkung itu masih tetap diam, tetapi dia pasti tahu anak-anak sudah terbangun, hanya saja tidak peduli.

Tero berbisik, sepelan mungkin, "Piri, apakah tidak sebaiknya kita coba meloncat keluar dan lari? Atau bersembunyi? Mungkin kita bisa bersembunyi di hutan ini."

"Tuan Rodik tadi benar," kata Yara tanpa semangat. "Kalau kita meloncat saat gerobak berjalan, kita bisa terluka."

"Dan kita belum mengenal hutanini," ujar Piri. "Seperti kata Pak Jenasin, mungkin ada binatang buas. Kita lihat saja Tuan Rodik akan membawa kita ke mana. Mungkin tidak akan terlalu buruk. Mungkin ... nanti memang ada yang bisa membantu kita pulang."

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang