Bab 62 ~ Teman Lama

46 22 0
                                    

Melihat Piri dan Yara yang tampak ragu, Rufio mendengus kesal. "Sudah, nanti saja penjelasannya. Sedikit banyak aku sudah tahu kenapa kalian kemari. Kita pergi dulu dari tempat ini, sebelum teman-teman orang jelek ini datang dan menangkap kalian."

"Apa tidak sebaiknya kita bilang dulu pada Taris?" kata Yara. "Nanti dia bingung kalau melihat kita menghilang begitu saja."

"Tidak perlu," jawab Rufio. "Lebih sedikit orang yang tahu tentang kalian, lebih baik."

"Tapi Taris anak yang baik ..."

"Tidak perlu!" Kata-kata Rufio tegas, setengah memaksa.

Saat itulah Piri berpikir, betapa tidak menyenangkannya menjadi orang yang terus dikejar atau dicari-cari banyak orang. Tidak bisa bebas pergi ke mana pun, atau bertemu dan berteman dengan siapa pun.

Tetapi ia lalu memandangi pergelangan tangan Rufio yang berjalan di depannya. Di sana sudah tidak ada lagi gelang jahat pemberian Kapten Morat!

Apakah itu berarti Rufio sudah tidak lagi bekerja pada kapten pasukan Mallava itu?

Rufio membawa Piri dan Yara ke sebuah rumah lain di daerah yang lebih sepi dan jauh dari keramaian. Rufio mengetuk pintu depannya beberapa kali.

Seseorang muncul membuka pintu. Ia anak laki-laki yang kurang lebih sebaya dengan Rufio, lebih kurus tapi beralis tebal dengan tatapan mata yang tak kalah tajam.

"Rufio," katanya. "Kau masih di Buirine?"

"Aku ketemu dua anak ini." Rufio menoleh ke arah Piri dan Yara. "Dengar, ini sangat penting, kalau tidak aku juga tak akan memaksa diri datang kemari. Boleh kami masuk?"

Anak laki-laki di depannya melirik ke kiri dan ke kanan, seolah takut ada orang lain yang melihat dari jalanan yang sepi. Ia tampak ragu, kemudian mengangguk. "Masuklah."

Rufio, Piri dan Yara segera masuk, lalu sang tuan rumah cepat-cepat menutup pintu. Anak laki-laki itu duduk di kursi dekat jendela, tanpa mempersilakan tamunya untuk ikut duduk, dan mengamati Piri dan Yara selama beberapa saat.

"Siapa mereka?" ia bertanya pada Rufio.

"Piri dan Yara. Kenalkan, ini Kalai. Keduanya dari Frauli."

Rufio diam sejenak, menunggu reaksi anak bernama Kalai itu.

Tapi karena si tuan rumah hanya menatap tajam, Rufio melanjutkan, "Aku tahu Karili dan orang-orangnya sedang mencari anak-anak dari negeri mereka yang telah lama hilang. Inilah anak-anak itu."

"Bukan anak-anak biasa yang mereka cari," tukas Kalai.

"Aku tahu," sahut Rufio. "Tapi aku percaya, mereka inilah anak-anak yang dimaksud. Dulu saat mereka hendak dibawa ke Penyihir Merah, mereka diselamatkan oleh sepasang grayhayr milik Dewi Angin. Tahu apa artinya? Mereka bukan anak-anak biasa! Merekalah anak-anak itu."

"Belum tentu ...." Kalai tetap belum yakin.

"Panggil ayahmu," kata Rufio tak sabar. "Dia pasti percaya padaku. Dia yang akan memutuskan."

"Ayahku baru pulang nanti sore."

"Boleh kami menunggu di sini?" tanya Rufio.

"Tidak masalah." Kalai mengangkat bahu. "Daripada kalian berkeliaran di luar. Tidak hanya akan membahayakan kalian, tapi juga kami. Silakan. Duduklah."

Rufio mengangguk, dan mengajak Piri dan Yara duduk juga.

"Jadi, kalian ..." Kalai kembali menatap keduanya. "... benar-benar berasal dari Frauli?"

Piri dan Yara diam beberapa lama.

Piri lalu balik bertanya, "Mengapa kalian menginginkan kami?"

"Bukan kami. Yang menginginkan kalian, kalau memang benar kalian anak-anak yang dicari, adalah Karili dan para pejuang Frauli lainnya. Kami orang Suidon, kami hanya membantu mereka."

"Ya, tapi ... mengapa?"

"Hanya orang-orang Frauli yang tahu kenapa," jawab Kalai. "Mungkin ayahku tahu, tapi ... entahlah."

"Apa yang akan mereka lakukan pada kami?" tanya Piri.

"Jangan khawatir," Rufio yang menjawab. "Mereka tidak akan melakukan hal-hal buruk pada kalian."

"Dari mana kamu tahu?" tanya Yara. "Tadi kamu bilang kamu tidak tahu kenapa mereka menginginkan kami."

"Karena mereka orang Frauli, seperti kalian. Mereka pasti senang melihat kalian, dan kalian seharusnya senang juga."

"Tapi kami tidak kenal mereka," kata Piri lirih.

Ia dan Yara saling memandang. Keduanya gelisah. Mereka beberapa kali mengalami kejadian buruk dengan orang asing di perjalanan yang pertama dulu, maka wajar jika sekarang mereka tidak mudah percaya.

Lebih dari itu, seingat Piri, Rufio dulu diminta menyusup ke kelompok pemberontak oleh Kapten Morat, untuk menjadi mata-mata. Mungkin ke kelompok pemberontak seperti Kalai dan ayahnya di Suidon, atau kelompok yang dipimpin Karili di Frauli, atau pemberontak lainnya di Kalani.

Jadi Piri belum yakin, apakah yang dilakukan Rufio sekarang adalah untuk kepentingan pemberontak, atau justru untuk kepentingan Kerajaan Mallava. Bagaimana Piri bisa percaya pada omongan Rufio?

Rufio memandangi Piri dan Yara, sepertinya paham apa yang ada di dalam pikiran mereka.

Ia lalu berkata dengan hati-hati, "Percayalah, aku tidak akan berbuat buruk pada kalian. Sebagai buktinya, aku akan ikut dengan kalian. Aku berjanji akan menjaga kalian. Kalau ada apa-apa, aku yang bertanggung jawab."

"Bertanggung jawab pada siapa?" Kalai menyindir.

"Pada mereka berdua, dan juga pada setiap Dewa dan Dewi!" seru Rufio kesal. "Atau pada siapa pun!"

"Hei, bukan kau yang memutuskan apakah kau boleh ikut atau tidak ke Frauli!" Kalai membalas sama kerasnya.

"Memang tidak. Makanya aku akan bicara pada ayahmu."

Kalai mengangkat bahu. "Coba saja."

Lalu ia menoleh dan bertanya lagi, "Kalian benar-benar berasal dari Frauli? Aku mau mendengar langsung dari kalian, bukan dari Rufio."

"Mereka hanya akan menjelaskannya pada ayahmu, kalau kau tidak keberatan," kata Rufio.

"Huh! Kau beruntung karena ayahku berutang budi padamu!" kata Kalai geram. "Kalau tidak—"

"Kalai," Rufio memotong. "Aku selalu ingin berteman denganmu, bukan bermusuhan. Apa aku pernah merugikanmu atau teman-teman lainnya di Suidon? Tidak. Dan aku juga tidak pernah berbuat buruk pada para pejuang Kalani atau Frauli. Ya, aku pernah berbuat salah pada Bartok di Mallava, tapi sudah kubilang aku melakukan itu karena terpaksa. Sekarang, kenapa aku terus dijelek-jelekkan dan dikejar-kejar? Ayahmu percaya padaku, kenapa kalian tidak?"

"Karena menurut mereka, sebaiknya kau tetap saja jadi antek Mallava!" jawab Kalai. "Kau pernah mengkhianati Bartok, wajar kalau mereka marah begitu kedokmu terbuka, dan juga takut kalau kau nanti mencelakai mereka semua. Itu wajar, kan?"

"Aku justru telah menyelamatkan kalian dari sergapan pasukan Mallava! Seharusnya kalian berterima kasih! Kenapa hanya ayahmu yang memaafkan aku? Kenapa kau tidak?"

"Aku tidak perlu memaafkanmu, Rufio. Karena ... menurutku kau memang tidak bersalah. Aku temanmu, seperti kau bilang."

Rufio terdiam sesaat, sebelum mengangguk. "Terima kasih."

"Aku ... hanya belum mengerti, kenapa Morat akhirnya melepas gelang jahat itu dari tanganmu, dan membebaskanmu."

"Sudah jelas, kan?" Rufio menjawab ketus. "Dia melepaskan aku karena sudah tidak berguna lagi untuknya. Aku sudah ketahuan oleh para pejuang, tidak mungkin lagi jadi mata-mata!"

Oh, berarti benar Kapten Morat sudah melepaskan Rufio.

Piri dan Yara saling memandang lagi. Dengan ini keduanya mungkin bisa lebih mempercayai kata-kata Rufio.

Jika memang dia berkata benar.

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now