Bab 60 ~ Negeri Suidon

31 26 0
                                    

Piri dan Yara kembali menunggu dengan gelisah. Tak lama, pintu rumah tabib terbuka. Dari dalam keluar Tuan Rolin dan Erin. Mereka adalah tamu terakhir, jadi tak lama setelah mereka keluar pintu rumah sang tabib ditutup.

Langkah Erin masih terpincang-pincang, tapi anak perempuan itu tersenyum pada Piri dan Yara seolah baru saja mendapatkan pengalaman menyenangkan.

Tuan Rolin memanggil keduanya dan bercerita, "Biayanya satu keping untuk setiap kali kunjungan ke tabib. Tuan Boriskot bilang Erin harus mengunjunginya sampai sepuluh hari. Berarti aku harus siapkan sepuluh keping. Uangku masih ada, hanya saja aku tak bisa lagi membeli barang macam-macam," katanya pada Erin.

"Tidak apa-apa, Ayah," sahut Erin dengan wajah cerah.

"Kalian berdua masih akan ikut kami? Ya, pasti," Tuan Rolin menjawab sendiri. "Cuma aku belum tahu kita akan tidur di mana selama sepuluh hari. Kalian tidak keberatan tidur di kuil? Uangku tidak akan cukup untuk membayar penginapan."

"Tidak apa-apa," jawab Yara.

"Kami tidak akan lama-lama di sini," sahut Piri. "Besok kami ke Suidon."

"Kenapa buru-buru?" Tuan Rolin tampak heran. "Tapi, ya sudah, kalian tahu arahnya? Besok akan kutunjukkan, jangan khawatir. Untuk malam ini kita istirahat saja dulu."

Ia mengajak anak-anak pergi ke tempat bernama kuil. Letaknya di pinggir kota. Kata Tuan Rolin itu tempat untuk berdoa pada Sang Pencipta. Hal yang sempat membuat Piri bingung, apakah berarti orang-orang diperbolehkan berdoa pada Sang Pencipta, atau pada Dewi Angin, hanya di tempat itu? Atau hanya di situ doa orang-orang bisa terkabul?

Saat malam tempat itu sepi, apalagi di halaman sampingnya yang luas dan dipagari pohon-pohon rimbun. Di satu tempat yang cukup lapang dan terlindung dari hawa dingin Tuan Rolin mengajak ketiga anak beristirahat.

Malam itu Piri dan Yara kembali tidur beratapkan langit, dan sekali lagi dalam keadaan gelisah. Piri hanya bisa berharap semua akan aman-aman saja sehingga ia bisa tidur dengan nyenyak. Ia menganggapnya sebagai doa, dan karena sekarang ia berada di kuil ia berharap doa itu terkabul.

Keinginan, atau doa Piri sepertinya terkabul.

Ia berhasil lepas dari kegelisahannya dan terlelap, kemudian terbangun saat fajar dengan tubuh segar, serta lapar.

Setelah semua anak makan Tuan Rolin berkata, "Akan kuantar kalian sampai keluar kota. Untuk ke Suidon kalian tinggal lurus, jangan ambil jalan yang kiri atau kanan. Karena kalau ke kiri kalian akan menuju negeri Frauli, sedangkan ke kanan menuju Kalani."

"Kami mengerti," jawab Piri dan Yara.

"Aku sudah siapkan makanan dan minuman. Jika nanti semuanya lancar kalian akan sampai di sungai besar saat petang, yang dulu jadi batas negeri Suidon dan Mallava, sebelum Suidon kalah perang. Kalian bisa istirahat di sana, dan berjalan lagi keesokan paginya."

"Terima kasih." Piri mengangguk sambil menerima kantong makanan dan minuman itu. "Kamu orang baik, Tuan Rolin."

"Itu karena aku menyukai kalian."

"Kamu dan Erin akan tinggal di Oberta?" tanya Yara.

"Ya, mudah-mudahan Erin bisa sembuh dalam sepuluh hari. Untuk mengumpulkan uang, aku akan bekerja membersihkan kuil ini, dengan upah harian. Untuk berjaga-jaga. Atau bekerja yang lainnya juga bisa."

"Aku harap kami bisa bertemu dengan kalian lagi nanti."

"Kalau begitu kembalilah sebelum sepuluh hari."

Mereka pun berangkat pagi-pagi saat kota masih sepi, bersama beberapa orang yang hendak pergi ke ladang untuk menggarap lahan. Supaya lebih cepat Tuan Rolin menggendong Erin.

Mereka berjalan hingga ke ujung jalan yang bercabang tiga. Seperti kata Tuan Rolin, Piri dan Yara harus mengambil jalan yang tengah.

"Sampai di sini, anak-anak." Tuan Rolin melambaikan tangannya, diikuti oleh Erin. "Selamat jalan."

Piri dan Yara membalas lambaian mereka, lalu bergegas menyusuri jalan menuju negeri Suidon. Mereka melewati perbukitan yang sepi sepanjang pagi, dan akhirnya sampai di tepi sungai kecil yang lain.

Setelah itu keduanya memilih tidak lagi berjalan di tengah jalanan berbatu, melainkan menyusurinya dari balik belukar dan deretan pepohonan. Lebih aman seperti itu, daripada nanti bertemu orang-orang asing yang bisa memberitahu keberadaan mereka pada Tuan Rodik atau teman-temannya.

Mereka berjalan tanpa henti, hanya berhenti sejenak untuk makan saat tengah hari, kemudian lanjut melewati perbukitan dan lembah. Menjelang matahari terbenam mereka sampai di sungai besar beraliran deras yang tadi diceritakan Tuan Rolin.

Keduanya beristirahat, berbaur dengan rombongan penangkap ikan yang Piri yakin, dengan wajah-wajah sederhananya sepertinya orang-orang ini baik, tidak seperti Tuan Rodik dan teman-temannya yang licik. Mereka bermalam di tepi sungai.

Keesokan paginya Piri dan Yara menyeberangi sungai besar itu, naik rakit bersama seorang penangkap ikan. Keduanya lalu menyusuri jalan setapak, dan jika melihat sekelompok orang yang tampak jahat, mereka menyingkir dan bersembunyi di balik pohon.

Saat tengah hari mereka sampai di Buirine.

Kota itu cukup ramai, walau tak sebesar Oberta. Piri dan Yara menjauh dari kerumunan, dan mengamati dari sudut jalan yang sepi. Mereka harus tetap berhati-hati meskipun telah berada di kota dan negeri yang berbeda.

Namun Yara tampak tidak sabar.

"Kita sudah berada di Suidon. Kita bisa mulai mencari Kaia."

Piri menukas, "Tenanglah. Kita belum tahu harus mulai mencari dari mana. Kita juga tidak tahu apakah mereka ada di kota ini atau di kota-kota lain yang lebih jauh. Sebaiknya kita temukan dulu orang baik yang bisa kita percaya."

Mereka menghabiskan waktu dengan mengamati orang-orang di sekitar mereka. Laki-laki dan perempuan, tua muda, prajurit Mallava, pedagang, pengemis, orang-orang kaya, orang-orang miskin.

Dulu saat pertama kali keluar dari Dunia Mangkuk dan tiba di negeri asing Piri akan dengan mudah mempercayai setiap orang yang ia kenal. Tapi pengalaman sudah membuktikan, banyak dari mereka yang lalu bertindak licik dan jahat padanya. Orang-orang yang tampak sopan bisa jadi memiliki pikiran buruk di kepala mereka. Piri teringat, orang-orang baik, jujur dan berhati tulus, kebanyakan anak-anak.

Bukannya ia tidak bisa lagi percaya, tetapi Piri tahu kini ia harus lebih berhati-hati jika bertemu dengan orang asing, bagaimanapun baiknya mereka.

Setelah lama melihat-lihat akhirnya Piri memutuskan akan coba berteman dengan anak-anak saja. Baginya itu terasa lebih aman. Di sudut kota ia menemukan sekelompok anak berbaju kumal yang sedang bermain menendang bola di tanah lapang.

Ia mengajak Yara mendekati mereka.

"Hai," Piri menyapa anak-anak itu.

Mereka menoleh dan memandangi Piri dan Yara beberapa lama.

Seorang anak laki-laki yang paling besar membalas, "Hai."

"Boleh aku ikut bermain?" tanya Piri.

"Kalian siapa?"

"Kami ... datang dari pegunungan."

Anak laki-laki lainnya mengangguk. "Cara bicara kalian aneh. Kenapa kalian datang kemari?"

"Kami ... kami dengar ini kota yang bagus, orangnya baik, anak-anaknya juga baik, jadi kami kemari, dan ..." Piri memperlihatkan cengirannya, "kami ingin berteman."

Orang-orang dewasa pastinya tidak akan menerima begitu saja jawaban seperti itu, dan akan terus bertanya yang aneh-aneh. Tapi anak-anak selalu berbeda. Mereka akan langsung senang jika disebut sebagai anak yang baik, dan mereka senang pula berteman.

Si anak laki-laki bertubuh besar tersenyum lebar.

"Aku Taris." Ia memperkenalkan diri, disusul anak-anak lainnya. "Kalian ingin bermain bola?"

"Hanya dia," jawab Yara sambil menunjuk Piri di sampingnya.

"Kamu tahu cara mainnya?"

"Belum." Piri meringis.

"Akan kuajarkan," kata Taris.

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now