Bab 25 ~ Saling Bercerita

44 30 1
                                    

Piri, Yara dan Tero melongo mendengar penjelasan Kasen.

Mereka tidak tahu di mana itu Frauli atau Mallava. Mereka juga tidak tahu apa yang dimaksud dengan perang, mati atau prajurit.

"Aku dari Terata, masih di Kerajaan Mallava ini," kata Rhulan. "Aku tidak punya rumah dan selalu tidur di pinggir jalan. Aku tidak pernah mengganggu orang, tetapi mereka tetap tak suka padaku. Aku dibuang ke kota Andara. Tuan Rodik lalu mengambilku, kemudian membawaku kemari, sebulan yang lalu."

Piri, Yara dan Tero masih belum mengerti. Mereka masih tetap diam ketika beberapa anak yang lain kemudian bercerita pula.

Sampai ketika Kaia, anak perempuan berambut panjang yang tadi menyapa Piri di ruang makan berkata lirih, "Kalau aku ... dari negeri Suidon, dan aku tidak tahu kenapa aku bisa sampai di sini."

"Kamu tidak tahu?" tanya Piri.

"Sampai malam itu aku masih tinggal di rumah majikanku, bersama bibiku yang menjadi pelayan di sana."

"Bibi? Seperti Bibi Molen?"

"Bukan. Dia bibiku yang sebenarnya. Pagi-pagi tiba-tiba aku dibawa pergi beberapa orang. Setelah tiga hari aku dibawa kemari."

"Bibimu tahu kamu pergi?" tanya Yara.

"Sepertinya tahu. Dia melihatku." Kaia termangu sedih, kemudian menggeleng. "Dia selalu baik, jadi aku tak tahu kenapa ..." Ia tak melanjutkan kata-katanya, dan semua anak memandanginya.

"Kamu ingin tahu nanti?" Piri lalu bertanya.

Kaia menoleh. "Ya. Tetapi ..."

"Kalau sudah ada di sini, kita tak bisa pulang atau pergi ke mana pun," kata Kasen. "Kecuali diizinkan oleh Nyonya Kulip."

"Tidak bisa pulang?" Piri tercengang.

"Kamu tadi lihat, kan?" Kasen menoleh ke arah Geza, Pofel dan Horun yang berdiri di dekat jendela. "Yang mencoba pergi tanpa ijin langsung mendapat hukuman begitu mereka tertangkap."

"Kenapa kalian pergi diam-diam?" tanya Tero pada ketiga anak itu.

"Mau aku pulang ke Darkur! Di rumah ibu menunggu aku!" seru Horun.

Ia seorang anak berkulit cokelat gelap dan berambut hitam, cukup berbeda dibanding anak-anak lainnya yang berkulit lebih cerah. Bahasa yang ia ucapkan terdengar sedikit aneh.

"Aku juga mau pulang," kata Geza, yang berambut kuning dan tubuhnya hampir sebesar Tero. "Aku memang tidak punya keluarga di desa, tetapi aku punya kebun. Siapa yang akan merawat wortel-wortelku, atau kentang-kentangku setelah aku pergi?"

"Huh, kalau aku tidak mau pulang," sahut Pofel, yang rambutnya cokelat, suaranya serak dan punya bekas luka memanjang di pipi sebelah kiri.

"Aku tidak suka kota asalku," lanjutnya. "Mereka menganggapku pengemis, pencuri, padahal bukan. Tetapi aku juga tidak suka di sini. Aku mau pergi ke tempat lain yang lebih menyenangkan." Ia melirik ke arah Kaia. "Ke Suidon, mungkin."

Kaia tersenyum sambil mengangguk-angguk. "Kita bisa pergi bersama."

"Ya, tetapi tidak mungkin lagi, kan?" tukas Pofel. Ia meringis, tampaknya sakit di pantatnya kembali terasa. "Tidak usah bermimpi lagi. Lebih baik terima saja nasib kita."

Kaia menunduk. Matanya berair.

Piri menggeleng tak mengerti. "Kita tidak bisa pulang?"

"Kalau Yara sih memang tidak mau pulang," sindir Tero.

Yara melotot. "Itu kan tadi!"

"Sebenarnya tidak pulang bukan berarti buruk," jawab Kasen. "Jika kita beruntung, kita bisa mendapat tempat yang lebih baik."

"Beruntung?" Kening Piri berkerut.

"Kamu bisa lihat sendiri nanti." Kasen menyeringai. "Tapi biar adil, kalian dulu yang cerita, bagaimana bisa sampai kemari."

"Aku yang cerita!" seru Tero.

Ia menjelaskan bahwa ia, Piri dan Yara berasal dari Dunia Mangkuk di sisi lain pegunungan. Mereka berangkat mencari kupu-kupu bintang, jatuh ke gua, menyusuri sungai, lalu keluar di dunia yang tak mereka kenal.

Kemudian mereka memakan buah teropiriyaraint, bertemu Pak Jenasin dan akhirnya dibawa oleh Tuan Rodik ke Rumah Merah. Semua anak, kecuali Piri dan Yara tentu saja, ternganga mendengar cerita tersebut.

Kasen berkata, "Tidak pernah sebelumnya ada cerita tentang orang yang datang dari balik pegunungan, dan muncul melalui gua di sungai! Kalian benar-benar berasal dari sana?"

"Ceritaku benar!" seru Tero. "Aku tidak mengada-ada."

"Aku tidak bilang ceritamu tidak benar," kata Kasen. "Justru menurutku itu sangat menarik!"

"Ya, betul!" kata yang lain.

"Apakah ada di antara kalian yang berasal dari Maderut?" tanya Piri.

"Maderut?" Anak-anak menggeleng.

"Aku yang paling lama di sini," kata Kasen. "Banyak anak yang datang sesudahku, kemudian pergi, dan seingatku tak satu pun yang berasal dari Maderut. Kenapa kamu menanyakan itu?"

"Tuan Dulum berkata mungkin kami berasal dari Maderut."

"Dan kamu percaya?"

"Aku tidak tahu. Kamu tahu letak negeri itu?" tanya Piri lagi.

"Setahuku jauh sekali di barat, lebih jauh dibanding Darkur."

"Kalian hendak ke Maderut?" tanya Pofel. "Kalian sudah dengar tadi, begitu sampai di sini kalian tidak akan bisa pergi lagi ke mana pun tempat yang kalian suka, atau kalian mau!"

"Kecuali jika kita beruntung," sahut Kasen.

Pofel mendengus. "Sebelum ini kupikir kita harus berusaha sendiri, makanya aku mengajak Geza dan Horun kabur ketika ada kesempatan. Tetapi ... sepertinya kamu benar, Kasen, lebih baik kita diam saja, dan menunggu nasib."

"Aku lebih suka semangatmu yang dulu," kata Kaia lirih.

"Itu sebelum pantatku dipukul Tuan Dulum!" seru Pofel. "Kalau kamu sudah merasakan sakitnya, pikiranmu pasti berubah, dan semangatmu pasti menghilang. Lagipula, aku tak akan meninggalkanmu lagi di sini."

Kali ini Kaia tersenyum, walaupun masih tampak sedih.

"Tetapi mengapa Nyonya Kulip menahan kita di sini?" Yara akhirnya ikut bertanya. "Jika kita semua tidak suka dan bakalan membuat dia marah terus, kenapa dia tidak membiarkan kita pergi saja?"

"Kamu masih belum mengerti?" Pofel berkata. "Nyonya Kulip sudah mengeluarkan uang untuk mendapatkan kita. Sebagai balasannya, tentu saja ia harus mendapat uang juga, dengan cara menjual kita!"

"Uang?" Tero kebingungan.

"Ya, uang. Kamu ... kamu tidak tahu apa itu uang?" Kasen tertawa, dan anak-anak lain ikut tertawa. "Sayangnya kami tidak ada yang mempunyai uang, jadi kami tidak bisa menunjukkannya padamu."

"Seperti yang dilakukan Pak Jenasin dan Tuan Rodik, Tero. Kamu tidak ingat?" kata Piri. "Pak Jenasin menjual kita pada Tuan Rodik, lalu Tuan Rodik menjual kita pada Nyonya Kulip. Mereka semuanya menggunakan uang."

"Ya, tapi maksudku, Nyonya Kulip hendak menjual kita kepada siapa?"

"Kalau beruntung, pada orang baik," jawab Kasen. "Kalau sial, pada orang jahat."

"Aku tak akan membiarkan diriku dibawa orang-orang jahat!" tukas Yara. "Aku, Piri dan Tero sudah mendaki gunung, memanjat tebing, menyusuri gua, dan kami tidak pernah menyerah. Kami akan mencari jalan keluar, atau kabur jika memang harus begitu."

Yara menatap Piri, meminta persetujuan.

Piri tersenyum lebar, senang melihat semangat Yara kembali tumbuh.

Ia mengangguk. "Ya. Pasti."

Yara memandang berkeliling. "Kalian bilang begitu sampai di sini kita tidak mungkin lagi pergi ke tempat yang kita suka. Nah, menurutku, tidak ada yang tidak mungkin. Kalian sudah pernah mencoba kabur, dan gagal, tetapi bukan berarti akan gagal terus. Kalian tetap harus percaya bahwa suatu saat nanti kalian bisa berhasil."

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang