Bab 80 ~ Air Terjun

30 24 0
                                    

"Huh! Kalian tahu apa soal Dewi Angin?" tukas Morav, masih tetap marah pada Piri dan Yara. "Dan apa itu yang ada di kepalamu?"

"Ini ... aku menemukannya di lorong ..." jawab Piri.

"Topeng aneh!" gerutu Duran. "Kau dapat topeng, setelah itu kau membiarkan hewan itu pergi? Kalian pikir ini main-main?"

"Kalian berdua, tunjukkan hormat kalian!" seru Tuan Karili.

"Mereka cuma anak-anak!" balas Duran.

"Mereka keturunan para ksatria terpilih!"

"Ya, tapi mereka tak berguna sekarang," gerutu Morav.

Tak berguna? Kini Piri benar-benar merasa tidak senang berada di tengah orang-orang dewasa itu. Ketika melirik Yara di sebelahnya, yang wajahnya merah padam, tidak lagi takut melainkan sudah berubah menjadi marah, Piri pun tahu Yara mempunyai perasaan yang sama.

Piri sebenarnya bisa saja menceritakan lebih banyak hal, alasan kenapa mereka akhirnya membebaskan Grayhayr Emas, tapi ia sudah telanjur kesal dan marah. Ia tak mau lagi bicara pada orang-orang itu, karena akan percuma!

Orang-orang dewasa memang menyebalkan. Hanya beberapa orang yang jadi perkecualian.

"Kau juga tahu, bahwa kita semua telah melakukan perjalanan sia-sia kemari," kata Duran pada Tuan Karili. "Aku ikut denganmu dengan harapan besar, tapi ternyata begini!"

"Cukup!" kata Tuan Karili. "Kita semua kesal, tapi semua sudah terjadi. Lebih baik kalian periksa keadaan di lembah dan berjaga-jaga. Kita istirahat malam ini, dan pulang besok pagi!"

"Sudah terlambat," Parid menyahut.

Laki-laki itu menunjuk jauh ke arah lembah. Di samping sungai tampak puluhan prajurit Mallava berlari menuju Kastil Frauli. Sebagian prajurit itu membawa obor, sehingga barisan mereka tampak seperti ular api yang merambat di dasar lembah. "Kita harus segera pergi. Jika kita tetap di sini dan mereka menutupi jalan di kaki bukit, kita tidak akan bisa lolos."

Semua orang memandang ke arah Tuan Karili, menunggu perintah. Laki-laki itu mengangguk. "Baik, kita menjauh, turun bukit ke arah yang berlawanan hingga mencapai sungai. Dari sana baru kita menyeberang sungai."

"Jalan di sana berbahaya," tukas Morav.

"Tak ada jalan lain."

"Bagaimana dengan mereka?" Duran menatap Piri dan Yara.

"Apa maksudmu bagaimana?" Rufio melotot marah ke arah laki-laki itu, seperti baru saja mencium gelagat buruk.

"Bawa dan lindungi mereka!" balas Tuan Karili pada Duran, lalu memandangi semua pejuangnya. "Dengan nyawa kalian! Apa kalian mau membantah perintahku sekarang?"

"Tentu saja tidak!" kata Duran dengan sorot mata tajam. "Aku hanya mengatakan pikiranku. Maaf, tapi begitulah aku!"

"Kalau begitu lakukan tugasmu!"

"Naik ke punggungku, Piri," kata Parid. "Yara, naik ke punggung Koram. Kita harus cepat, dan jalannya berbahaya buat kalian."

Piri dan Yara menurut. Keduanya digendong, dan mereka segera meninggalkan tebing melalui sisi bukit yang telah runtuh. Mereka menyusuri jalan kecil di samping luar dinding Kastil Frauli. Lereng bukit yang mereka lewati terjal dan penuh dengan batu-batu tajam. Mereka harus turun dengan cepat tapi juga berhati-hati agar tidak tergelincir. Sangat mengerikan akibatnya jika mereka jatuh dan kepala mereka terbentur batu-batu itu.

Untunglah saat fajar mereka sudah berhasil melewati lereng berbatu dan tiba di lembah. Mereka beristirahat sejenak, sambil mengamati bangunan kastil jauh di atas bukit. Para prajurit Mallava pasti sudah sampai di sana, dan menemukan rekan-rekan mereka yang dilumpuhkan para pejuang Frauli tadi malam.

Setelah sarapan seadanya Tuan Karili mengajak yang lain untuk kembali bergerak. Duran dan Morav membuka jalan, Tuan Karili dan ketiga anak di tengah, sementara Parid dan Koram berjaga di belakang.

"Tidurnya nanti saja," kata Tuan Karili. "Sebentar lagi pasukan Mallava mengejar, jadi kita harus cepat sampai di sungai dan menyeberang. Setelah itu aman, dan kalian bisa tidur."

"Kamu juga tidak butuh tidur?" tanya Piri.

"Nanti saja." Tuan Karili sudah bisa sedikit tersenyum, wajahnya tidak lagi tegang. "Tentang topengmu itu, yang kau temukan di dalam lorong, sepertinya bukan topeng biasa."

"Mungkin," jawab Piri, belum yakin apakah ia harus bercerita tentang benda itu pada Tuan Karili.

Pertama, karena ia ragu apakah itu bermanfaat. Kedua, ia takut jika setelah bercerita nanti malah bisa terjadi hal-hal buruk yang tak terduga. Ada baiknya itu disembunyikan dulu. Lagipula Piri belum sepenuhnya bisa mempercayai orang-orang di sekitarnya, selain Rufio.

Ia melanjutkan, "Kurasa ini hanya topeng biasa."

"Topengnya bagus." Tuan Karili menunjukkan ketertarikannya. "Boleh aku pegang?"

Piri memegangi topengnya. Yara yang berdiri di sampingnya memandanginya lekat-lekat, seperti tidak setuju. Tapi mestinya ini bukan masalah, kalau Tuan Karili hanya memegang sebentar, kata Piri dalam hati.

Ia pun menjawab, "Boleh saja."

Ia melepas lalu menyodorkan topengnya itu.

Tuan Karili menyentuhnya, dan seketika langsung menarik kembali tangannya, seperti kesakitan. Ia tidak menjerit, hanya menahan napas.

Namun tak urung suara kecilnya membuat empat pejuang di sekitar mereka menoleh ingin tahu.

Laki-laki itu termangu, masih tampak kaget. "Jadi ... ini benda yang ... hanya bisa dipegang olehmu?"

"Sepertinya karena ini adalah benda peninggalan ksatria yang menjadi leluhurku, hanya aku yang bisa."

"Begitu ya?" Tuan Karili mengangguk-angguk, seperti memikirkan sesuatu. "Selain itu ada keistimewaan lain?"

"Tidak ada," jawab Piri. Kali ini ia berbohong. "Kurasa aku akan menyimpannya dulu. Mungkin suatu hari nanti aku bisa tahu, atau mungkin saja ini hanya topeng biasa."

"Ya," kata Tuan Karili ragu. Lalu ia menoleh ke arah Yara. "Kalau kau, Yara, mendapat sesuatu juga?"

"Ini." Yara menunjukkan cincin di jarinya. "Cincin biasa."

"Sama seperti topeng tadi, kurasa kau juga tidak akan bisa menyentuhnya." Rufio menyeringai pada Tuan Karili.

"Aku memang tidak bermaksud begitu." Tuan Karili tersenyum, lalu melihat keempat pejuang di dekatnya. "Dan kalian semua juga tidak. Ayo jalan lagi, tidak usah lihat-lihat!"

Entah apa yang ada dalam pikiran semua orang dewasa itu, Piri hanya bisa menebak-nebak. Apakah hanya akan menganggap benda-benda itu sebagai benda biasa, mungkin baru ketahuan nanti. Satu hal yang pasti, Piri merasa lega karena tidak perlu menceritakan semua yang ia tahu pada mereka. Sampai sekarang ia tetap belum yakin apakah ia harus bercerita.

Mereka melanjutkan perjalanan. Saat tengah hari rerimbunan pepohonan yang menutupi langit berkurang. Demikian pula jarak antar pohon dan belukar di bawahnya pun mulai renggang. Deras aliran sungai terdengar. Mereka mempercepat langkah dengan penuh semangat. Tak lama mereka sampai di tepi sungai.

Di luar dugaan Piri, yang mereka temui adalah air terjun dengan lebar kurang lebih sama dengan lebar sungai di Dunia Mangkuk. Tingginya sama dengan tinggi menara sudut di Kastil Frauli, tapi ke bawah lebih jauh lagi.

Air terjun itu deras. Limpahan airnya di bawah berbuih-buih putih dan bergejolak dengan ganas. Piri merinding ngeri. Jika ia jatuh ia pasti akan terhisap dan berputar-putar hingga ke dasar sungai yang penuh batu-batu tajam. Dan mereka semua harus menyeberangi ini?

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now