Bab 54 ~ Celah Tebing

34 23 1
                                    

"Dia pergi?" tanya Yara lirih. "Meninggalkan kita?"

"Sepertinya begitu ..." tukas Piri.

"Apa dia marah?"

"Mungkin ..."

"Dan kamu masih marah juga?"

"Tidak, aku tidak marah," kata Piri sedikit kesal. "Aku cuma ... belum siap! Untuk berjalan-jalan ke negeri asing sekali lagi!"

"Itu karena kita sudah terlalu lama hidup enak di Dunia Mangkuk!" jawab Yara.

"Bukan! Bukan itu penyebabnya. Waktu dulu kita berangkat mendaki pegunungan, kamu merencanakan semuanya. Berapa kantong makanan yang harus kita bawa, berapa lama kita akan pergi. Sekarang tidak ada rencana sama sekali! Padahal kita sudah tahu, kalau hendak pergi jauh seharusnya kita lebih siap. Dengan memakai baju, misalnya."

"Maaf!" Yara berseru kesal. "Baiklah, aku minta maaf. Aku memang seharusnya berpikir lebih panjang. Tetapi ... aku tak tahu, tiba-tiba keinginanku tadi muncul begitu saja, dan aku tak ingin menahannya. Kamu ... kamu juga dulu sering begitu! Kamu bilang, kalau kita sudah bersemangat, tidak perlu ditahan-tahan, dan lakukan saja. Mungkin ... aku .... ah, aku tidak tahu!"

"Bersemangat, bukan berarti tidak memikirkan bagaimana baiknya." Piri memandangi Yara, yang tampaknya tengah kesal pada dirinya sendiri. "Tapi ya sudah, ini sudah terjadi. Sekarang tinggal berpikir saja apa yang harus kita lakukan."

Yara mendongak, menatap tebing yang menjulang di belakang Piri. "Apa lebih baik kita mencari jalan pulang? Maksudku, dia sudah pergi, dan mungkin nanti kita tak bisa pulang bersamanya. Berarti kita harus mencari jalan pulang sendiri."

"Dan coba mendaki tebing itu, Yara? Kamu sudah lihat tadi, tebingnya terlalu curam dan tinggi buat kita."

"Berarti harus mencari jalan lain."

Piri mengangguk pelan. "Mungkin ... atau, mungkin nanti saja kita pikirkan, kalau kita sudah benar-benar mau pulang."

Wajah Yara kembali cerah. "Jadi kamu belum mau pulang?"

"Ya aku memang kesal tadi, tapi kita sudah telanjur di sini, kita jalani saja. Mungkin nanti kita bisa mendapatkan jalan pulang."

"Benar." Yara mengangguk penuh semangat.

"Sekarang kita cari rumah dulu, atau semacamnya. Yang isinya bukan orang-orang jahat. Yang mau memberi kita baju."

Piri memandang berkeliling. Sayangnya tak banyak yang bisa mereka lihat dari tanah tempat mereka berdiri. Di sekitar mereka ada begitu banyak batang pohon yang berderet-deret dan semak belukar tebal di sana-sini.

Kemudian ia mendongak, menatap pegunungan berbatu dan menemukan jawaban. "Lihat. Ada sedikit celah di sana. Kita bisa naik ke atas batu itu."

"Betul. Kita bisa melihat lebih jauh dari sana," Yara mengangguk paham. "Barangkali ada jalan atau rumah di dekat sini."

Keduanya bergegas menuju ke tebing batu. Mereka melompat, naik dari satu batu ke batu yang lain, semakin tinggi. Mereka harus cepat, karena jika langit gelap sebentar lagi mereka tak akan bisa melihat dengan jelas. Semakin cepat keduanya tahu keadaan di sekitar mereka akan semakin baik.

Dengan hati-hati Piri memanjat batu besar terakhir yang bisa ia capai. Batu itu mencuat di dinding tebing, dan lebarnya tak lebih panjang daripada dua kali bentangan tangan. Dari sana ia bisa melihat sampai jauh ke kaki langit.

Yara menyusul naik dan berdiri di sampingnya. Keduanya memandang jauh, mencari-cari sesuatu yang berbeda di antara hijau rimbun pepohonan yang menyelimuti lembah.

Awalnya mereka tak melihat apa pun. Semua tempat hampir sama hijaunya. Namun Yara kemudian menunjuk asap tipis yang naik dari balik pepohonan jauh di sebelah kanan lembah.

"Asap itu, ada bekas api di sana. Mungkin masih menyala, yang dibuat seseorang. Api unggun, mungkin?"

"Atau rumah." Piri mengangguk-angguk.

"Rumah di tengah hutan." Yara termangu. "Seperti rumah Pak Jenasin, rumah Nyonya Kulip, atau rumah Bartok?"

Piri menelan ludah, teringat semua orang dewasa yang jahat-jahat itu. "Semuanya tempat yang tidak menyenangkan."

Keduanya terdiam, terbayang lagi hal-hal buruk yang pernah mereka alami. "Apa sebaiknya kita ke sana?" tanya Yara.

"Kita lihat dulu seperti apa orangnya. Kita jalan besok pagi."

"Jadi malam ini kita tidur di sini?"

"Di mana lagi?" Piri tertawa.

Tempat yang tidak terlalu buruk untuk tidur, pikirnya. Batu ini cukup tinggi, jadi seandainya ada binatang buas semacam anjing hutan, dia tak akan bisa mengganggu mereka.

Kecuali, jika hewan itu bisa memanjat seperti manusia.

Semoga tidak.

Keduanya tidur di celah tebing malam itu.

Esoknya, saat Piri dan Yara terbangun, matahari sudah bersinar terang di kaki langit. Dan gawatnya, keduanya tak punya makanan tersisa untuk sarapan! Buah allumint terakhir sudah habis kemarin malam.

Tak ingin membuang waktu, mereka segera turun dari dinding tebing, lalu berjalan, berharap dalam perjalanan menuju sumber asap di tengah hutan mereka bisa menemukan semacam pohon yang buahnya bisa dimakan.

Mereka menembus semak belukar, berusaha berjalan selurus mungkin ke arah sumber asap di kejauhan. Keduanya menemui banyak halangan. Batu, batang pohon, lubang, yang memaksa mereka harus sering-sering mengubah arah. Setelah sekian lama mereka mulai ragu.

"Bagaimana kalau kita tersesat?" Yara bertanya.

"Kita akan menemukan jalannya," Piri berusaha tetap tenang, walaupun sebenarnya ia juga tidak yakin. Sejauh yang bisa ia lihat tak ada jalan setapak yang mungkin dibuat tangan manusia. Hanya ada belukar, rumput tebal, atau pepohonan. "Kita lanjutkan saja. Ke sana."

Suara gemerisik muncul tak jauh di depan mereka.

Piri dan Yara tertegun, cepat-cepat bersembunyi di balik sebuah batang pohon. Mereka menunggu.

Lolongan lemah terdengar, kemudian bunyi salakan.

"Suara apa itu?" bisik Yara.

"Rubah?" Piri menebak. "Seperti suara rubah putih ..."

"Dia ada di hutan ini?"

Keduanya mengendap-endap ke balik belukar, dan mengintip. Tak jauh di depan mereka, di antara rerumputan, ada benda berbentuk kotak yang terbuat dari susunan jeruji besi, mirip seperti pagar yang mereka lihat di Rumah Merah. Tinggi benda itu sepinggang anak-anak. Di dalamnya ada seekor hewan, terkurung, wujudnya mirip dengan rubah yang dulu pernah menolong anak-anak saat mereka berada di negeri Mallava. Bentuk wajah dan moncongnya tak berbeda, yang membedakan adalah bulunya yang coklat kemerahan, dan bukan putih kelabu.

"Oh, dia terkurung di sana! Kasihan," bisik Yara. "Itu ... itu pasti kurungan besi buatan manusia, kan?"

Piri melihat waspada ke arah lain. "Berarti benar asap yang keluar dari balik hutan itu buatan manusia."

"Tapi kenapa rubah itu ditangkap? Apa karena dia jahat?"

"Mungkin sebaliknya," jawab Piri ragu. "Dan jika dia rubah yang baik, berarti yang menangkapnya adalah orang jahat."

"Selama ini kita lebih sering bertemu orang jahat daripada hewan jahat."

"Betul." Piri mengangguk.

"Kalau begitu kita bebaskan dia!"

"Tunggu!" Piri menahan lengan Yara.

Anak perempuan itu membalas dengan pandangan heran. Piri meletakkan jari telunjuk di bibirnya. Ada suara asing mendekat, dari balik pepohonan di depan mereka. Suara orang bersiul.

Piri dan Yara meringkuk dengan dada berdebar-debar.

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now