Bab 35 ~ Kamu Punya Rencana?

44 27 0
                                    

Tero belum mengenal Rufio, karenanya begitu melihat Rufio berdiri di sebelahnya dengan sebuah batu besar yang mampu membuat laki-laki gendut di dekatnya roboh, reaksi pertamanya adalah beringsut mundur ketakutan, tidak terpikir sama sekali bahwa Rufio datang untuk menolongnya.

Cepat-cepat Piri menerobos keluar dari balik semak belukar, disusul Yara dan Kaia. Wajah Tero pun langsung berubah cerah.

"Piri! Yara!" Tero menjerit. "Kalian berhasil kabur?"

Piri tersenyum lebar. "Begitulah. Ceritanya panjang, akan kuceritakan kalau ada waktu."

Ia dan Yara mengangkat tubuh Tero agar bisa berdiri, lalu menatap Rufio dan laki-laki yang pingsan di depannya bergantian. Rufio meringis.

"Apa dia ... mati?" tanya Kaia.

"Cuma pingsan," jawab Rufio sambil melemparkan batunya ke samping. "Jangan pikirkan itu. Lebih baik segera kita sembunyikan dia di balik pohon."

Sampai saat ini Piri belum paham apa yang dimaksud dengan mati. Tapi mestinya itu kondisi yang lebih buruk daripada sekadar tak sadarkan diri.

Jika benar seperti itu, berarti Rufio sebenarnya telah melakukan sesuatu yang sangat buruk, walaupun ia melakukan ini untuk menolong Tero.

Tero memandangi laki-laki yang pingsan itu. "Dia akan bangun dan melaporkan ini pada Nyonya Kulip?"

"Makanya, ikat tangan dan kakinya ke pohon, tutup mulutnya dengan kain." Rufio menyeringai.

Saat itulah Piri merasa, bahwa Rufio sebenarnya bukan lagi anak-anak. Rufio tahu banyak hal, dan juga melakukan hal-hal yang tak bisa ia bayangkan.

Mereka menarik tubuh laki-laki bernama Bolan itu ke balik pepohonan, jauh dari jalanan. Rufio mengikat tangan dan kakinya dengan tali yang tadi dimaksudkan untuk mengikat Tero. Rufio menyobek baju laki-laki itu dan menggunakannya untuk menyumpal mulutnya.

Kasen lalu muncul, melongo bercampur senang melihat mereka. Tampaknya ia kembali begitu mendengar ada keributan.

"Bagaimana kalian semua bisa ada di sini?"

Dengan singkat Yara bercerita. Mulai dari kereta kuda Tuan Bumer, Bartok, Kapten Morat, sampai pertolongan rubah putih.

"Rufio banyak membantu kami," kata Yara.

"Jadi kamu kakaknya Pofel?" tanya Kasen.

"Ya, di mana dia? Kau tadi bilang dia akan dihukum berat?"

"Awalnya Pofel ikut kami tadi pagi. Tapi tak jauh dari gerbang kami ketahuan. Pofel tertangkap, namun ia berhasil menahan mereka, jadi aku dan Tero bisa sampai ke sini."

"Kami tak tahu kalau kalian berhasil kabur!" kata Tero pada Piri dan Yara. "Tadinya kami pikir kamilah yang harus menyelamatkan kalian. Ternyata sebaliknya."

"Kita harus segera menyelamatkan Pofel dan yang lain," kata Kaia lirih.

Kasen mengangguk. "Ini bisa jadi keuntungan. Begitu tahu kalian kabur dari Tuan Bumer, Nyonya Kulip akan menyuruh orang-orangnya mencari. Penjagaan di Rumah Merah jadi lebih longgar. Kita punya kesempatan buat menyelamatkan teman-teman kita."

"Bagaimana?" kata Tero. "Aku tidak yakin kita ..."

"Kita bisa," kata Rufio tegas. "Aku akan menemukan cara. Kalian bertiga mau ikut?" ia bertanya pada Piri, Yara dan Tero. "Atau kalian mau langsung pulang ke dunia kalian?"

"Aku ikut denganmu," jawab Piri cepat.

Yara mengangguk. "Kami mau menolong teman-teman kami."

"Aku juga," sahut Tero. "Kakiku tidak terlalu sakit lagi."

"Ya sudah." Tanpa banyak cakap Rufio berjalan.

Anak-anak lainnya mengikuti, sambil bertukar cerita. Dengan suara pelan, tentu saja, karena mereka harus tetap berhati-hati.

Saat tengah hari mereka akhirnya melihat gerbang pagar Rumah Merah, dan dinding batunya yang setinggi kepala orang dewasa.

Piri, Rufio dan Kasen memanjat sebuah pohon besar berdaun rimbun. Piri melihat tidak ada penjaga di sekitar gerbang besi. Segerombolan anak sedang berkumpul di satu sudut halaman, berbincang dengan takut-takut.

Suara lonceng makan siang lalu terdengar, dan semua anak itu berbaris masuk ke dalam rumah.

"Aku tidak melihat Pofel," kata Rufio yang duduk di samping Piri, khawatir.

"Mungkin ia dibawa ke gudang dan dikurung di sana," Kasen menunjuk bangunan berdinding kayu di samping kiri rumah. "Atau mungkin dia ada di dalam rumah."

"Apa hukumannya memang seperti itu?"

"Mmm ... Pofel sudah pernah mencoba kabur," jawab Kasen dengan ragu. "Hukumannya, pantatnya dipukul dengan rotan di depan anak-anak yang lain."

"Kurang ajar!" Rufio memaki. Tatapannya membara, rahangnya mengeras beberapa kali.

Ia memandangi Rumah Merah sampai beberapa lama. "Saat gelap aku akan memanjat dinding dan masuk ke dalam. Aku akan mencari adikku."

"Kalau malam akan ada penjaga yang berjaga di pintu gerbang," kata Kasen. "Tapi mungkin tinggal Golik, karena Bolan sudah kamu pukul sampai pingsan di hutan."

"Apa dia tidak akan curiga karena temannya tidak kembali?" tanya Piri.

"Kalau cuma semalam mungkin tidak," jawab Kasen. "Baru besok dia akan curiga. Dan besok juga akan ada lebih banyak orang suruhan yang datang untuk ikut mencari. Termasuk mungkin Tuan Rodik."

Piri menggeleng. Ia benar-benar tak ingin melihat Tuan Rodik lagi.

"Jadi, kesempatanku hanya malam ini," gumam Rufio.

"Kamu punya rencana?" tanya Piri.

Rufio belum mau menjelaskan. Sama seperti tadi ketika ia tidak mau mengatakan rencananya begitu melihat Tero ditampar Bolan. Apakah sekarang dia punya rencana lain yang lebih mengejutkan daripada sekadar memukul kepala orang dengan batu besar?

Sepanjang siang dan sore Piri dan kelima temannya bersembunyi.

Tidak seperti biasanya, sore itu anak-anak Rumah Merah sama sekali tidak keluar rumah. Mungkin bagian dari hukuman karena ada di antara mereka yang kabur.

Golik si penjaga bertubuh tinggi kurus terus berjalan mondar-mandir di dekat pintu gerbang sambil mengepulkan asap tembakau dari pipa di mulutnya. Ia tampak gelisah, tapi kemudian duduk terkantuk-kantuk di kursinya, tak jauh di balik gerbang.

Ketika petang Golik masuk ke dalam rumah. Saat itu semua anak sudah bersembunyi di balik semak, tidak ada yang mengamati lagi dari atas pohon.

"Biasanya dia akan istirahat sebentar di kamarnya, lalu ke kamar mandi, mengambil makanan di dapur, kemudian keluar lagi," jelas Kasen.

"Dia tidak makan di dapur?" tanya Piri.

Kasen menggeleng. "Nyonya Kulip tidak suka mereka makan di dapur. Jadi biasanya bersama Bolan dia akan keluar membawa makanannya, duduk-duduk di kursi itu, mengobrol dan minum satu atau dua gelas arak, setelah itu makan. Lalu mengisap tembakau, dan minum lagi. Tidak sampai mabuk. Mereka lalu bergantian berjaga, sepanjang malam."

"Kebiasaan aneh, minum-minum sebelum makan," kata Rufio. "Kamu bisa tahu tentang itu semua?"

"Aku biasa melihat mereka dari jendela kamar sebelum tidur," tukas Kasen.

"Tapi itu kalau mereka berdua," kata Rufio. "Kalau Golik sendirian, mungkin dia langsung makan. Aku masuk sekarang, sebelum dia kembali."

"Langit belum gelap," kata Piri. "Kalau kamu memanjat dinding sekarang, seseorang dari dalam rumah bisa melihatmu."

"Nanti mungkin aku tak punya kesempatan mendekati dinding," kata Rufio. "Harus sekarang."

"Apa rencanamu?" kembali Piri bertanya. "Kenapa kamu tidak mau memberitahu?"

"Jangan-jangan kamu memang tak punya rencana," tuduh Yara. "Betul?"

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now