Bab 31 ~ Prajurit Kerajaan

41 28 2
                                    

Piri menaruh jari telunjuknya di depan bibir, menyuruh Kaia diam.

Ia menatap Yara yang wajahnya mulai pucat, lalu menoleh lagi ke arah pintu rumah kayu. Pelan-pelan Piri mendekat ke lubang pintu, mencoba mengintip siapa yang datang di bawah sana.

"Piri! Yara! Kaia!"

Ya, itu Rufio, dan kedengarannya ia baik-baik saja.

Ketiga anak lega dan berebutan melongo keluar.

Segera ketiganya tertegun. Rufio memang ada di bawah, tetapi tidak sendirian. Bersamanya ada dua laki-laki bertubuh tegap yang ikut mendongak disertai dengan tatapan mengancam. Tangan mereka menggenggam benda panjang berkilat. Piri merinding.

Benda itu ... pasti itulah yang dimaksud Kaia sebagai senjata tajam!

Butuh waktu sebelum akhirnya Piri, Yara dan Kaia mau turun dari rumah kayu. Itu pun karena Rufio kembali memanggil, "Tidak apa-apa, mereka tidak akan mencelakai kita."

Anak-anak turun, walau sebenarnya masih ngeri melihat senjata yang dipegang para prajurit. Piri membayangkan apa yang bisa dilakukan senjata itu di tubuhnya. Pastilah menyakitkan!

Sampai di bawah Piri berbisik, "Rufio, apa yang terjadi pada Tuan Bartok?"

Rufio tidak langsung menjawab. Ia berjalan mengikuti seorang prajurit, menerobos belukar ke arah markas Bartok. Piri, Yara dan Kaia terpaksa membuntutinya, sementara prajurit yang lain berjalan di belakang.

Rufio lalu menjawab dengan berbisik pula, "Tertangkap. Tetapi beberapa orang berhasil kabur. Para prajurit mengejar. Mereka pasti akan tertangkap juga."

"Tetapi kenapa prajurit kerajaan mau menangkap mereka?"

"Itu karena Bartok suka merampok," Kaia menjawab. "Betul kan, Rufio?"

"Begitulah."

"Kelihatannya kamu tidak begitu sedih," tiba-tiba Yara berkata.

Rufio menoleh, terkejut. "Maksudmu?"

"Kelihatannya kamu biasa-biasa saja melihat Bartok dan teman-temannya ditangkap," lanjut Yara. "Tidak sedih, marah atau kesal. Padahal bukannya mereka semua itu temanmu?"

Piri tidak mengerti bagaimana Yara bisa berpikir semacam itu. Yara menebak apa yang dirasakan Rufio, lalu mengatakannya secara tajam.

Melihat reaksi Rufio yang sama sekali tidak membantah, bisa jadi itu benar. Tetapi apa alasan Rufio sampai bisa bersikap begitu. Apakah ada sesuatu yang disembunyikannya?

Rufio diam saja dan terus berjalan, hingga akhirnya mereka sampai di tanah berumput di samping rumah yang tadinya merupakan markas Bartok.

Rumah itu kini kosong. Dari luar terlihat pintu, jendela, kursi dan meja yang hancur berantakan. Sudah tidak ada lagi Bartok dan teman-temannya.

Di halaman kini hanya ada sekitar belasan prajurit berkuda yang semuanya mengenakan pakaian seragam warna biru dan putih.

Seorang dari mereka memakai kain yang dililitkan di leher dan terurai panjang di belakang punggungnya. Perawakannya gagah, wajahnya bersih dan rambutnya disisir rapi serta diikat di belakang.

Begitu melihat kedatangan Piri dan teman-temannya, laki-laki itu berkata dengan suara berat, "Jadi mereka anak-anak itu?"

Rufio mengangguk. "Kapten Morat, ini Piri, Yara dan Kaia."

"Lalu? Harus kuapakan mereka?" Kapten Morat bertanya. "Menyatukan mereka bersama para pemberontak, lalu memasukkannya ke penjara?"

"Tidak, jangan lakukan itu," kata Rufio.

"Ya, tentu saja tidak," balas Kapten Morat ketus. "Aku tak seperti Sang Penyihir yang ... kejam. Anak-anak bukan urusanku."

"Mmm ... Penyihir Merah sekarang adalah penguasa di Mallava. Kau berani berbicara buruk tentang dia?" tanya Rufio.

"Hei, hati-hati kalau bicara!" seru prajurit yang duduk di atas kuda.

"Biarkan saja." Si kapten tertawa. "Anak ini pandai, walaupun kadang terlalu pandai. Rufio, aku orang yang patuh, tapi bukan berarti aku suka dengan seluruh tindakan Sang Penyihir. Anak-anak ini masih terlalu kecil. Bawa mereka pergi saja. Atau apa pun. Terserah kau."

"Berarti aku juga bisa pergi sekarang?" tanya Rufio.

Kapten Morat menyeringai. "Kau masih memakai gelangmu, bukan? Maka kau boleh pergi ke mana pun. Aku tetap bisa menemukanmu nanti, jika aku membutuhkanmu."

Piri melirik ke arah tangan kiri Rufio, dan barulah sekarang ia melihat bahwa di balik lengan baju anak itu terdapat benda berwarna gelap yang melingkari pergelangan tangannya. Terbuat dari akar tanaman yang, jika mendengar ucapan Kapten Morat, sepertinya itu bukan benda biasa.

"Aku sudah melakukan semua perintahmu." Rufio menggeram. "Aku menyusup kemari, dan memberikan Bartok padamu. Seharusnya kau melepaskan gelang ini dariku!"

"Nanti." Kapten Morat menggeleng. "Aku berterima kasih, tetapi kudengar ada kelompok pemberontak lain di Terata. Teman-teman Bartok. Mungkin kau perlu menyusup ke sana juga."

"Tidak! Tidak akan mudah!" seru Rufio. "Tak lama lagi mereka pasti mendengar kejadian di sini, dan mereka akan lebih waspada."

"Biar aku yang menilai situasinya, Bocah. Kau cukup melakukan tugasmu saja, dengan segala kepandaianmu, tanpa takut dan ragu, seperti biasa. Tetapi ... mungkin kau benar. Sepertinya sekarang memang bukan waktu yang tepat. Jadi mungkin nanti saja, saat mereka lengah."

"Jadi?"

"Pergilah, tadi sudah kubilang, kan? Ya, karena sebaiknya kau memang tidak ikut kami ke ibukota dan membiarkan banyak orang melihatmu bersama kami. Aku percaya dengan para prajuritku yang ada di sini, tetapi di tempat lain, aku tidak bisa yakin."

"Mereka punya mata-mata juga?"

"Jika aku bisa memasukkanmu secara diam-diam ke dalam kelompok mereka, maka ada kemungkinan mereka juga bisa melakukan hal yang sebaliknya. Bukan begitu?"

"Kapten Morat, kau dulu sudah berjanji akan melepaskan ini ..." Suara Rufio melirih.

"Aku tahu, tetapi maaf, saat ini aku belum bisa."

"Kau ingkar janji!"

Ekspresi wajah sang kapten tak berubah. "Tidak. Bukan itu janjiku."

"Kalau begitu, setidaknya kau bisa membantuku!" seru Rufio.

Sorot mata Kapten Morat menajam. "Maksudmu?"

"Kau harus membantuku, sebelum aku melakukan perintahmu yang berikutnya! Supaya adil! Anak-anak ini ..." Rufio menunjuk Piri dan kedua temannya. "berasal dari Rumah Merah. Dan masih ada banyak lagi anak-anak di sana yang seperti mereka. Mereka semua disekap. Anak-anak itu ingin pergi, tetapi tidak bisa. Kau harus menolong mereka."

Kapten Morat termangu. "Aku tahu soal Rumah Merah. Sejauh yang aku tahu mereka tidak berbahaya. Dan selama orang-orang kaya itu mau membayar pajak dari setiap kegiatan mereka, maka tidak masalah."

"Tetapi mereka itu orang-orang jahat! Tolonglah, Kapten, kau pasti mengerti. Ikut bersamaku. Bebaskan anak-anak itu."

"Aku masih punya urusan di Terata. Lagipula aku tidak ingin membuat keributan yang tidak perlu. Ada pemberontak yang harus kuurus."

"Kau curang!" seru Rufio.

Kapten Morat melotot. "Jangan memaksa kesabaranku, Rufio. Mungkin aku akan membantumu nanti, tapi tidak sekarang, mengerti? Kami pergi sekarang. Aku meninggalkan sedikit makanan di sana." Ia menunjuk kantong kain di atas meja kecil di dekat pintu. "Jaga diri kalian."

Kapten Morat memacu kudanya pergi, diikuti seluruh prajurit sehingga akhirnya hanya menyisakan Rufio, Piri, Yara dan Kaia di di tengah hutan.

Keempatnya saling memandang. Selama beberapa saat mereka hanya bisa terdiam, kebingungan dan putus asa.

Lalu Piri meringis. "Hei, kenapa kita tidak makan saja? Aku lapar."

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now