Bab 83 ~ Impian Perdamaian

30 23 0
                                    

Burung-burung di pucuk pepohonan bernyanyi mengiringi rombongan delapan orang yang kini menembus hutan di seberang sungai.

Parid dan Koram terus memaksa, bahkan setengah memohon, untuk bisa menggendong lagi Piri dan Yara. Namun Yara menolak, tentu saja dengan hati-hati dan tidak berupa perintah atau suruhan, supaya ucapannya tidak sampai membuat cincin berbatu hijaunya menyakiti mereka.

"Kami sudah sering berjalan kaki ke banyak tempat," kata Yara. "Jadi kami tidak perlu digendong terus."

"Ya." Piri meringis. "Hampir setiap hari kami berjalan, ke hutan, ke pegunungan, ke gua ..."

"Tapi kalian pasti lelah," kata Parid.

"Kita semua lelah, sebenarnya," sahut Tuan Karili sambil memandang berkeliling dan ke langit. "Sebentar lagi petang. Lebih baik kita cari tempat istirahat yang nyaman dan aman, setelah itu tidur."

"Prajurit Mallava terus mengejar," Duran memperingatkan.

"Mereka baru saja kocar-kacir," jawab Tuan Karili. "Menurutku, akan butuh waktu beberapa hari bagi mereka untuk menyadari apa yang terjadi, kemudian mengumpulkan kekuatan lagi untuk mengejar kita."

"Ya sudah, aku dan Morav akan berjaga," kata Duran.

Mereka berjalan hingga menjelang petang. Di tengah hutan mereka menemukan sedikit tanah lapang. Mereka pun beristirahat di sana. Parid dan Koram mengumpulkan buah-buahan dan mereka lalu makan bersama.

Saat makan, Piri dan Yara menceritakan semua hal yang mereka ketahui tentang Grayhayr Emas, setelah kini merasa orang-orang itu bisa dipercaya.

Tuan Karili dan para pejuang akhirnya mengerti kenapa Piri dan Yara membiarkan hewan buas itu pergi. Walaupun sedikit kecewa Tuan Karili bilang, Dewi Angin akan gembira dan pada akhirnya mungkin bersedia membantu mereka nanti.

Tuan Karili meminta anak-anak beristirahat, sementara para pejuang akan berjaga bergantian. Yara tidur bergelung di samping Piri, sedangkan Rufio bersandar di sebuah batang pohon besar sambil memperhatikan keduanya dengan mata setengah mengantuk.

"Jadi, di dalam lorong itu masih ada delapan benda lainnya?" tanya Rufio. "Yang tetap terkubur, sampai nanti diambil oleh teman-teman kalian yang masih berada di Dunia Mangkuk?"

"Mmm ... iya." Piri menjawab hati-hati.

"Menurut kalian, apa sebaiknya mereka kemari juga?"

Piri menoleh ke samping, melihat Yara yang ternyata tengah menatapnya. Yara diam saja dan matanya tidak berbinar seperti kalau dia sedang bersemangat. "Aku tak tahu," jawab Piri.

Senyuman Rufio melebar. Kantuknya seolah menghilang. "Bayangkan, jika kalian, sepuluh keturunan kesatria Frauli berhasil mendapatkan semua benda itu. Pasti akan jadi pelecut semangat luar biasa bagi semua orang Frauli, seperti yang terlihat pada Tuan Karili dan pejuangnya. Mereka percaya akan bisa mengalahkan orang-orang Mallava suatu hari nanti, dengan kalian sebagai pemimpin mereka. Sepuluh kesatria baru. Kalian tahu siapa anak lainnya yang akan mendapatkan benda-benda itu? Apakah Tero salah satunya?"

Piri menggeleng. Perasaan ingin tahunya memang sempat muncul, saat ia coba menebak-nebak siapa kira-kira anak yang lain. Bisa jadi Tero, Jiro, Buro, Sera, atau Nere. Namun rasa takut lalu menghampirinya juga.

Yara sepertinya merasakannya pula.

Anak perempuan itu berkata, "Jika yang kita hadapi nanti adalah perang yang mengerikan ... aku rasa sebaiknya mereka tidak usah datang kemari untuk mengambil benda-benda itu. Akan sangat berbahaya."

"Kau tidak suka perang?' tanya Rufio.

"Ya, aku tidak suka," tukas Yara. "Kamu lihat saja orang-orang yang saling menyerang di tengah sungai tadi pagi!"

"Para prajurit Mallava yang menyerang lebih dulu. Tuan Karili dan yang lainnya hanya berusaha melindungi kalian."

"Tapi sebelum itu, kenapa semua orang harus berperang dan saling melukai? Apakah tidak ada yang memikirkan hal itu? Kenapa tidak berdamai saja? Bukankah itu akan membuat dunia kalian lebih baik dan lebih indah?"

"Banyak yang memikirkan hal itu, tapi hampir semuanya yakin itu tidak mungkin terjadi sampai kapan pun," tukas Rufio. "Sebagian besar orang memang suka damai, tapi sebagian lagi tidak, dan mereka yang tidak suka inilah yang berkuasa dan bisa mengendalikan semuanya. Sampai kapan pun akan selalu ada perang, dan akan selalu mengerikan jadinya. Mau tidak mau semua orang terseret. Seperti aku, seperti kalian. Kita tak bisa menghindar."

"Kami bisa menghindar," tukas Yara sekali lagi. "Kami bisa pulang ke Dunia Mangkuk, dan melupakan ini semua! Benar, Piri?"

Piri termenung. "Dan melupakan bahwa kita adalah keturunan kesatria, yang begitu diharapkan Tuan Karili dan semua orang?"

"Ya, mengapa tidak?"

"Apakah kamu bisa melupakan semuanya, Yara?"

"Kalian tak akan mungkin lupa!" sahut Rufio. "Dan juga, tidak hanya orang-orang Frauli yang mengharapkan kalian. Begitu kabar ini tersebar ke mana-mana, semua orang di semua negeri jajahan Mallava akan bersemangat lagi, dan mengharapkan kalian datang untuk menyatukan mereka!"

"Itu yang aku tidak suka!" kata Yara. "Membuatku takut."

Dalam hal ini, Piri setuju dengannya.

Rufio mengangguk. "Maaf, aku tak ingin membuat kalian takut. Kupikir ... aku hanya ingin membuat kalian memikirkan hal ini. Aku setuju, bahwa kalau bisa semua hal mengerikan ini tidak pernah terjadi. Tapi ... ini sudah terjadi, dan akan terus terjadi." Ia lalu menggeleng dengan wajah menyesal. "Kalian masih kecil. Mestinya kalian memang tidak terlibat ini. Tapi ... kalian tak mungkin bisa menghindar. Mungkin sekarang bisa, tapi tidak selamanya."

Selama beberapa saat Piri dan Yara terdiam.

Lalu Yara berkata, "Aku harap, suatu hari nanti tak akan ada lagi perang di dunia, dan semua orang bisa hidup dengan damai."

Setelah itu ia memejamkan mata, seolah tak mau mendengar hal lain selain keinginan indahnya itu. Seolah ia berharap kedamaian itulah mimpi yang ingin dialami dalam tidurnya malam ini.

Piri tersenyum melihatnya. Ia punya jawaban untuk impian Yara itu.

Mungkin, Yara, suatu hari nanti kamulah yang akan membuat semuanya terwujud, kata Piri dalam hati.

Esoknya, fajar menyingsing, dan sekali lagi Tuan Karili membangunkan Piri dengan wajah tegang.

"Ayo, kita jalan lagi," kata laki-laki itu.

Piri gelagapan, walau masih mengantuk. Ia menoleh, melihat Yara dan Rufio yang masih terkantuk-kantuk pula.

"Parid melihat sekelompok prajurit Mallava di seberang sungai," Tuan Karili menjelaskan. "Lebih baik kita pergi sebelum mereka menyeberangi sungai dan mencari kita. Kita makan sambil jalan saja."

Tak ada yang membantahnya. Mereka melanjutkan perjalanan.

Mereka berjalan menerobos hutan, melewati jalan yang dulu mereka lewati, tapi kali ini ke arah berlawanan. Dari balik pepohonan Piri melihat sungai lebar yang mengalir di kiri, lalu jembatan yang mengarah ke Framari. Jauh di seberang sana para prajurit Mallava berkumpul di dekat jembatan.

Piri tak tahu apakah mereka prajurit yang berhasil selamat dari kejadian kemarin di sungai, atau bukan. Tuan Karili tak mau bicara. Ia hanya menyuruh mereka berjalan makin cepat ke perbukitan, menjauh dari jembatan.

Di dalam hutan, saat mereka mulai naik ke lereng pegunungan berbatu Piri melihat seekor serigala duduk mengamati mereka seolah sedang berjaga. Tuan Karili mengangkat tangannya seperti memberi salam pada hewan itu, sebelum memasuki jalan setapak.

Serigala itu seolah mengangguk sebagai balasannya.

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now