Bab 32 ~ Rubah Putih

47 29 1
                                    

Pagi itu anak-anak makan roti dan buah-buahan yang ditinggalkan para prajurit. Piri belum ingin bertanya macam-macam pada Rufio tentang apa yang sebenarnya terjadi, karena sepertinya dia masih kesal. Jadi selama itu mereka hanya makan sambil duduk di rerumputan.

Ketika hari semakin terang barulah Rufio mengajak yang lainnya berdiri.

"Kita berangkat sekarang. Ke Rumah Merah." Ia menoleh ke arah Kaia. "Kau tahu jalannya, kan?"

"Mmm ... tapi apa kau baik-baik saja?" Piri bertanya.

"Makan membuat hatiku senang," tukas Rufio. "Aku baik-baik saja. Daripada marah-marah, lebih baik aku melakukan sesuatu."

"Berarti aku boleh bertanya sedikit?"

Rufio terdiam sesaat. "Boleh. Tetapi sambil jalan."

Ia menggendong kantong makanannya, lalu menyusuri jalan setapak. Langkah-langkahnya panjang dan cepat, sehingga Piri, Yara dan Kaia harus setengah berlari agar tidak tertinggal.

Setelah jauh menyusuri hutan barulah ia melambat. "Mau tanya apa?"

"Tentang Bartok," jawab Piri. "Jadi ... dia bukan temanmu?"

"Kalau boleh memilih, aku lebih suka Bartok menjadi temanku." Rufio menerawang. "Walau agak kasar, dia baik."

"Aku tidak mengerti," kata Piri.

"Bartok merampok dari orang kaya, tetapi maksudnya baik. Ia memberi uangnya pada orang miskin. Tapi aku tidak bisa memilih."

"Gara-gara gelang di tanganmu?" tanya Yara.

"Memangnya itu gelang apa?" tanya Piri.

"Aku tidak tahu, tapi yang jelas ini gelang jelek!" dengus Rufio kesal. "Aku bertemu Kapten Morat beberapa bulan yang lalu, tak lama setelah aku datang dari Kalani untuk mencari adikku. Aku dengar adikku dibawa prajurit Kerajaan Mallava, tetapi aku tidak tahu apakah dia lalu dijadikan prajurit, atau dijadikan pekerja di tempat lain. Kapten Morat berjanji akan membantuku mencari, tapi ia bilang aku harus membantunya lebih dulu. Untuk menahan supaya aku tidak mengkhianatinya, aku pun diberikan gelang ini."

"Kamu tak bisa melepasnya dari tanganmu?"

"Aku sudah mencoba memotongnya dengan pisau, atau gergaji, tapi tidak bisa. Gelang ini malah semakin dalam mencengkeram tanganku, membuat tanganku sakit."

"Itu gelang yang jahat!" Kaia bergidik.

"Mudah-mudahan dia mau melepaskannya," gumam Yara.

Rufio diam saja. Mungkin ia sendiri tidak yakin. Mungkin gelang itu akan selamanya mencengkeram tangan Rufio. Piri ikut bergidik.

Mereka melanjutkan perjalanan menyusuri jalanan becek di tepi hutan. Bekas-bekas roda dan tapak kaki kuda masih berbekas, dan Piri tahu perjalanan mereka akan lama. Dengan kereta mereka menghabiskan hampir separuh hari kemarin, maka dengan berjalan kaki mungkin bisa dua hari.

"Jangan khawatir," kata Rufio. "Yang penting kita tidak tersesat."

Mereka sampai di suatu kelokan tak jauh dari sebuah sungai kecil, dan beristirahat.

Langit belum gelap dan Rufio menggunakan sisa waktunya sebelum malam untuk mencari setumpuk kayu yang masih kering. Ia menyusun kayu-kayu itu di tengah tanah lapang, kemudian mengeluarkan dua batu hitam dari kantongnya. Ia menggesek kedua batu itu, dan setelah beberapa kali percobaan, percikan api muncul dan membakar kayu.

"Wah! Hebat!" seru Piri dan Yara bersamaan, sementara Kaia tertawa. "Kamu bisa membuat api!"

"Biasa saja, hampir semua orang punya ini. Kalian berdua belum pernah melihatnya? Ini batu yang sangat berguna. Satu-satunya benda yang kubawa dari Kalani."

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now