Bab 55 ~ Rubah Merah

36 22 0
                                    

Orang itu muncul. Dia laki-laki, bertubuh besar dan mengenakan pakaian tebal putih kecoklatan yang terlihat kumal. Di atas kepalanya ada topi lebar. Wajahnya dipenuhi kumis dan janggut tebal berwarna gelap.

Orang itu mendekati kurungan besi yang berisi rubah merah. Begitu si rubah menyalak-nyalak marah, laki-laki bertubuh besar itu menggeleng.

"Maaf, aku terpaksa melakukan ini. Ada yang menginginkanmu di luar sana, dan aku butuh uang."

Sekali lagi semuanya karena uang, pikir Piri kesal bercampur sedih.

Ia teringat saat ia dan Yara, serta Tero pernah ditangkap demi uang. Sudah jelas, laki-laki penangkap rubah ini adalah orang jahat, tak ada bedanya dengan Tuan Rodik atau Pak Jenasin.

Laki-laki itu mengangkat kurungan besinya, yang pastinya berat karena berisi seekor rubah. Tetapi dengan mudah dia menjinjingnya dengan tangan kanan, lalu berjalan pergi.

Setelah laki-laki itu berjalan cukup jauh Yara berbisik, ""Kita harus menyelamatkan rubah itu, Piri. Ayo, kita ikuti dia."

Piri sebenarnya masih ragu, tapi tidak membantah. Benar, tidak mungkin mereka membiarkan hewan malang itu ditangkap. Keduanya mengendap-endap, berpindah-pindah dari satu pepohonan ke pepohonan yang lain, berusaha untuk tak menimbulkan suara mencurigakan.

Namun karena terlalu berhati-hati mereka semakin tertinggal dari laki-laki yang berjalan cukup cepat itu. Piri mulai khawatir mereka kehilangan jejak, tetapi kemudian ia melihat bahwa deretan pepohonan tak lagi rapat, dan langit cerah mulai jelas terlihat. Mereka sampai di tepi hutan.

Tak lama, mereka melihat sebuah rumah yang ukurannya tidak begitu besar. Dindingnya terbuat dari batang-batang kayu yang disusun melintang dari bawah ke atas. Piri dan Yara bersembunyi dan mengintip. Si laki-laki bertubuh besar meletakkan kurungan berisi rubahnya di samping anak tangga di depan rumahnya. Ia lalu menaiki tangga itu dan masuk ke dalam.

Piri dan Yara saling memandang, begitu tahu bahwa ternyata laki-laki itu tak hanya menangkap satu ekor rubah. Ada empat kurungan lainnya di depan pintu, dan semuanya berisi hewan yang sama. Semuanya berbulu coklat kemerahan.

"Dia benar-benar jahat," bisik Yara geram. "Padahal rubah hewan yang baik. Mereka juga cantik."

"Mungkin ... justru gara-gara itu," balas Piri. "Semakin cantik, semakin mahal juga harganya."

"Ha? Maksudmu, mereka akan diambil oleh orang-orang kota? Seperti dulu kita diambil Tuan dan Nyonya Bumer?"

"Hanya kamu dan Kaia yang diambil, Yara. Aku cuma ikut kalian. Kalian diambil karena yang paling cantik di antara yang lain, jadi harganya mahal, dan menguntungkan buat Nyonya Kullip."

"Semua orang dewasa jahat!" Yara semakin geram.

"Kupikir ..." Piri termangu, "kalau yang akan memelihara hewan-hewan ini nantinya orang baik, mungkin tidak akan buruk."

"Tidak! Mereka diambil dari rumah mereka di hutan, seperti anak-anak Rumah Merah yang dulu diambil dari rumah mereka di kota masing-masing," tukas Yara. "Menurutku itu adalah tindakan yang jahat."

"Maksudku, jika hewan-hewan ini diambil untuk dipelihara, maka itu mungkin tidak terlalu buruk. Yang mengerikan adalah jika hewan itu diambil untuk dibunuh."

"Maksudmu, dibuat mati? Untuk apa? Untuk dimakan?"

"Mmm ... mungkin saja," jawab Piri. "Kamu tahu kan, orang-orang di negeri ini suka makan daging. Atau ... mungkin juga mau dibunuh, untuk diambil bulu-bulunya yang indah itu."

"Mengerikan!" Mata Yara semakin melotot, lalu ia menuduh, "Piri, kenapa kamu tahu hal-hal mengerikan seperti ini?"

"Kalau tidak salah dulu Nyonya Bumer memakai kain berbulu tebal di bajunya, kamu ingat? Pernahkah kamu berpikir, bahwa bulu-bulu itu berasal dari hewan, seperti rubah?"

Yara terperangah, lalu kembali menatap rubah-rubah dalam kurungan besi itu dengan wajah cemas. "Kita harus secepatnya menolong mereka. Kurungan-kurungan itu tidak terkunci, kan?"

"Kelihatannya dikaitkan dengan kawat itu, tadi kulihat."

"Kita bebaskan mereka sekarang."

Seperti itulah rencana yang bisa mereka pikirkan. Kenyataannya, selama beberapa lama Piri dan Yara masih belum berani keluar dari persembunyian, takut jika sang pemilik rumah tiba-tiba keluar dan memergoki mereka.

Akhirnya keduanya memutuskan lebih baik mereka menunggu sampai hari gelap. Akan lebih aman jika mereka beraksi ketika malam tiba.

Petang tiba. Setelah meyakinkan diri bahwa si pemilik rumah tidak akan muncul lagi dari dalam rumah, Piri keluar dari pesembunyiannya, disusul oleh Yara. Mereka mengendap-endap, menunduk, berjalan hingga akhirnya sampai di balik dinding samping rumah kayu.

Piri melihat kurungan-kurungan besi di depannya. Ia tinggal maju sedikit lagi, lalu membuka tutupnya satu per satu. Rencana tersusun rapi di kepalanya.

Namun tiba-tiba pintu rumah terbuka. Langkah kaki terdengar.

Piri dan Yara menahan napas, cepat-cepat mundur dan bersembunyi di balik dinding rumah. Keduanya memandang gelisah, berharap agar si laki-laki besar tidak turun ke halaman lalu berjalan ke samping rumah. Kalau tidak, mereka pasti akan kelihatan.

Untunglah, walaupun laki-laki itu turun ke halaman ternyata ia hanya menyalakan dua buah obor yang tergantung di tiang tak jauh di depan rumah. Setelah itu ia masuk lagi.

Piri mengintip, halaman yang tadi gelap kini terang. Artinya ia harus lebih berhati-hati saat membuka kurungan besi, agar tidak terlihat dari dalam rumah melalui jendela di samping pintu.

Sambil menunduk Piri berjalan mendekati kurungan besi. Napasnya tertahan saat seekor rubah menggeram begitu melihatnya. Cepat-cepat Piri meletakkan jari telunjuk di bibirnya, meminta agar dia diam. Aneh, betapa cara semacam itu ternyata bisa juga dipakai pada hewan-hewan ini.

Rubah itu berhenti menggeram.

Piri memperhatikan penutup kurungan di depannya, lalu setelah paham ia menarik pengaitnya. Pengait terlepas, pintu kurungan pun terbuka.

"Pergilah," bisiknya pada si rubah merah.

Yara yang berjongkok di belakangnya menunjuk jauh ke arah hutan, menyuruh rubah itu pergi ke sana. Si rubah merah mengerti. Tanpa bersuara hewan itu melesat keluar menuju arah yang ditunjuk Yara.

Satu selesai, berikutnya jadi lebih mudah. Piri membuka satu per satu kurungan-kurungan selanjutnya hingga akhirnya semua rubah terlepas.

Begitu selesai, cepat-cepat Piri dan Yara menyingkir dari depan dinding rumah, menyelinap ke balik semak belukar dan bersembunyi lagi.

Yara tersenyum gembira. "Kita berhasil! Kita berhasil!"

"Ssst. Kamu ingin orang itu mendengar suaramu?"

Keduanya menunggu, apakah laki-laki itu bakal keluar, tapi ternyata tidak. Rumah tetap sepi. Hutan tetap sepi.

Namun apakah semuanya sudah benar-benar aman?

Apa yang akan terjadi nanti saat laki-laki itu melihat rubah-rubahnya sudah tak ada dalam kurungan? Dia bakalan marah besar.

Tiba-tiba Piri cemas. Kalau laki-laki itu nanti menemukan mereka, mereka berdua akan mendapat masalah besar.

Piri menengok, melihat apa yang ada di tangan Yara.

Ada beberapa lipat kain, yang tampaknya adalah baju.

"Di samping rumah tadi aku melihat baju-baju ini," kata Yara. "Tergantung di seutas tali panjang. Ukurannya kecil, pas buat kita. Jadi ya aku ambil saja beberapa."

"Tapi ... itu bukan punya kita."

"Kita butuh ini," tukas Yara. "Kamu yang kemarin bilang kalau kita butuh baju. Jangan suruh aku kembali sana dan meletakkannya lagi di gantungan!"

Ya, betul juga, pikir Piri. Berbahaya untuk pergi lagi ke samping rumah. Mereka sudah berhasil menyelinap satu kali, belum tentu mereka bisa melakukannya untuk yang kedua kali.

Dan Yara benar, mereka berdua membutuhkan baju, untuk melawan hawa dingin dan juga supaya tidak terlihat aneh jika nanti mereka sampai di sebuah tempat ramai seperti desa atau kota.

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang