Bab 69 ~ Kastil Frauli

26 22 0
                                    

Keempat anak buahnya menjalankan perintah. Setelah melewati deretan pepohonan dan belukar keempat orng itu berlari menaiki bukit, menyusup di sela-sela bebatuan yang ada di lereng. Sementara itu Tuan Karili dan anak-anak masih menunggu di kaki bukit sambil memperhatikan mereka.

Piri mendongak. Yang ada di depannya bukan bukit biasa. Di puncaknya tampak dinding batu yang tinggi memanjang dari kiri ke kanan. Dinding itu tidak utuh lagi dan sudah hancur di sana-sini. Demikian pula menara di kedua ujungnya, sudah hancur sebagian. Di balik dinding tampak satu ujung menara lainnya, yang paling tinggi. Puncaknya juga sudah hancur terbelah.

Piri menoleh, menatap Yara dengan perasaan campur aduk, tegang sekaligus penasaran. Inilah Kastil Frauli, dan ia yakin, menara tengah yang puncaknya hancur itu adalah menara yang dulu diceritakan oleh Ardin.

Tempat Sang Pelindung memindahkan Piri, Yara dan anak-anak lain ke Dunia Mangkuk sebelum dia tewas.

Empat anak buah Tuan Karili sampai di puncak bukit. Duran dan Morav mengendap-endap menyusuri dinding kastil ke arah kanan, sementara Parid dan Koram merunduk di bawah mereka, bersembunyi dari satu batu ke batu yang lain. Sasaran mereka tak terlihat, tertutup puncak bukit, tapi seperti kata Morav tadi, ada empat penjaga Mallava yang berjaga di dekat gerbang depan.

Pada satu kesempatan, dengan satu aba-aba dari dari Duran, keempat pejuang Frauli itu berlari bersama, kemudian menghilang di balik bukit.

Jerit tertahan terdengar, lalu hening kembali.

Piri, Yara, Rufio dan Tuan Karili menunggu dengan gelisah, dan akhirnya lega, ketika Morav muncul dari balik bukit sambil melambaikan tangannya.

"Mereka berhasil. Ayo," kata Tuan Karili.

Ia menarik Piri dan Yara berlari mendaki bukit, sementara Rufio mengikuti. Begitu sampai di puncak mereka melihat empat pejuang Frauli sudah berdiri menunggu. Di dekat mereka ada empat prajurit Mallava terbaring, entah pingsan atau mungkin sudah mati.

"Sudah lama mereka ingin pulang, aku tahu," Duran berkata. "Tak pernah suka berjaga di sini. Sayang nasibnya begini."

"Apakah mereka ...?" Yara bertanya dengan takut-takut.

"Mati?" Duran menyeringai.

Tuan Karili memotong, "Singkirkan mereka, jangan sampai terlihat. Mungkin bakal ada penjaga lainnya dari benteng."

Anak buahnya segera menarik tubuh para prajurit Mallava dan membawanya masuk ke dalam kastil. Bangunan besar itu kosong, gelap, penuh reruntuhan batu. Sebagian dindingnya hancur, pintu gerbang raksasanya rontok. Walau demikian Piri yakin kastil ini belum sepenuhnya diabaikan. Buktinya komandan pasukan Mallava masih menugaskan beberapa prajuritnya untuk berjaga di sana.

Rombongan masuk jauh ke dalam kastil. Mereka melewati halamannya yang luas, penuh ilalang, batu-batu dan besi-besi bekas pertempuran. Tulang-belulang manusia berserakan di beberapa sudut. Tempat yang pastinya dulu megah namun langsung ditinggalkan begitu dihancurkan musuh.

Tuan Karili adalah satu-satunya orang di rombongan mereka yang pernah masuk ke Kastil Frauli, dan tampaknya ia mengandalkan sedikit ingatannya itu untuk bisa masuk ke aula utama.

Dari aula mereka masuk ke ruang bawah tanah yang tak kalah luas. Cahaya obor menerobos kegelapan. Mereka turun melewati tangga yang melingkar-lingkar hingga tiga lantai; semakin dalam, semakin gelap dan udaranya pun semakin menyesakkan. Mereka sampai di lorong panjang yang lebarnya dua bentangan tangan orang dewasa, dan melaluinya.

"Sebentar lagi kita sampai di penjara bawah tanah," kata Tuan Karili. "Hanya sedikit orang yang pernah turun kemari. Bahkan penjaga kastil pun biasanya hanya berjaga di mulut lorong."

Rufio menggeleng bingung. "Jika lorongnya sesempit ini, bagaimana grayhayr bisa dimasukkan ke dalam sana?"

"Tidak lewat sini, tentu saja. Dulu para kesatria membuat rongga besar hingga ke perut bukit, di halaman belakang kastil. Grayhayr Emas dimasukkan lewat sana, setelah itu lubang ditutup dengan batu-batu besar, dan ditimbun dengan tanah. Dengan begitu dia tidak akan bisa keluar sampai kapan pun."

"Lalu bagaimana nanti kita mengeluarkan dia?" tanya Yara. "Tidak mungkin lewat lorong ini kan?"

"Itu ... sesuatu yang harus kalian temukan caranya nanti, entah bagaimana." Senyuman dan tatapan tajam Tuan Karili tampak dalam remang-remang cahaya obor. "Kalian pasti bisa, jika benar kalian anak-anak kesatria Frauli."

Mereka berjalan melewati lorong, yang pasti semakin dalam ke perut bukit, pikir Piri. Dadanya berdebar semakin keras.

Benarkah ia dan Yara bakal bisa membantu para pejuang Frauli? Benarkah keduanya adalah keturunan kesatria Frauli yang dimaksud roh Tuan Guiras dalam pesannya kepada Tuan Karili? Dan jika benar, apakah mereka siap bertemu dengan makhluk buas yang mendiami perut bukit ini?

Bagaimana caranya ia dan Yara bisa membuat makhluk itu mau mengikuti keinginan mereka?

Pertanyaan-pertanyaan itu menyelimuti benaknya. Ia menatap Tuan Karili yang berjalan di depan. Tiba-tiba ia mulai curiga.

Apa yang akan dilakukan laki-laki itu jika ternyata ia dan Yara bukanlah anak-anak yang dicari olehnya? Apakah dia akan berbalik mencelakai mereka?

Ia menoleh ke arah Yara di sampingnya, lalu Rufio di belakangnya.

Piri berharap Rufio benar-benar bisa melindungi mereka, jika ternyata terjadi sesuatu yang di luar rencana.

Mereka sampai di ujung lorong. Di ruangan berbentuk lingkaran, yang cukup luas jika ada yang berniat meletakkan sebuah meja makan besar di tengah-tengahnya. Langit-langitnya tinggi, tiga kali tinggi tubuh orang dewasa.

Di seberang ruangan ada pintu berupa jeruji-jeruji besi yang sepertinya akan membawa mereka ke lorong berikutnya.

"Kita sudah sampai."

Ucapan Tuan Karili singkat, tetapi terasa menakutkan karena diucapkan di tempat yang begitu dalam dan telah dilupakan banyak orang.

Semua orang terdiam sambil memandang berkeliling. Piri merasakan angin tipis membelai wajahnya. Pasti ada semacam lubang udara yang menghubungkan ruang bawah tanah dengan kastil di atasnya. Atau jangan-jangan, ada yang meniupkannya dari dalam lorong gelap di balik jeruji besi.

"Sekarang kita hanya perlu tahu bagaimana cara membuka pintu ini." Tuan Karili mendekatkan obornya ke pintu besi, lalu perlahan mengarahkannya mengitari seluruh kelilingnya.

Obor berhenti di ceruk selebar telapak tangan di samping kanan pintu. Tuan Karili mengusapkan tangannya, menyapu debu tebal yang menutupi ceruk itu. Semua orang menutup hidung agar tak menghisap debu yang beterbangan, lalu menahan napas, begitu melihat cahaya hijau berpendar.

Cahaya itu berasal dari batu yang bersinar dari balik kaca yang tadi tertutup debu.

"Batu hijau itu, pasti kunci untuk membuka pintu ini," kata Tuan Karili lagi. "Mungkin dengan cara menggesernya."

"Artinya kita harus pecahkan kacanya dulu?" tanya Rufio.

"Betul." Tuan Karili mengangguk.

Semua orang menunggunya, tapi setelah beberapa lama ia tak juga memecahkan kaca tersebut. Ia hanya berdiri termangu.

"Kenapa?" tanya Duran. "Kenapa kau tidak melakukannya?"

"Aku teringat ucapan Tuan Guiras," kata Tuan Karili. "Hanya keturunan kesatria terpilih yang bisa membuka pintu ini."

Semua orang memandang Piri dan Yara, yang langsung gugup.

Rufio mendengus. "Hanya memecahkan kaca ini kenapa harus mereka? Kenapa kita tidak bisa? Kenapa kau tidak mencobanya?" tanyanya pada Tuan Karili. "Kalau kau tak mau, aku saja."

Rufio mengangkat obor yang ia bawa, dan menghentak kaca ceruk dengan ujung bawah obornya. Kaca pecah seketika.

Semua orang kaget, terhenyak, lalu menunggu dengan tegang.

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now