Bab 65 ~ Sergapan

28 22 0
                                    

Langit gelap memayungi hutan. Kalai mengajak anak-anak lainnya beristirahat di sebuah tanah berumput yang kering dan enak untuk dijadikan tempat berbaring. Piri bertanya kenapa Rufio tidak mengeluarkan batu api untuk menyalakan api unggun.

Jawab Rufio, api unggun hanya akan menarik perhatian orang. Jika yang melihat adalah orang-orang Mallava, bisa bahaya.

"Kalian tidurlah," kata Rufio. "Aku dan Kalai akan berjaga."

Piri dan Yara menurutinya. Mereka merebahkan tubuh di dekat sebatang pohon besar. Rufio dan Kalai duduk tak jauh dari mereka. Karena lelah berjalan dan berlari seharian Yara langsung terlelap, dan Piri menyusulnya.

Malam berlalu.

Hanya sebentar terlelap, Piri merasakan tubuhnya diguncang-guncang. Ketika ia membuka matanya, Rufio tengah mencengkeram bajunya erat-erat.

Wajah Rufio tidak tampak jelas dalam gelap, tapi bisikan kerasnya terdengar. "Lari, sekarang!"

Terkaget-kaget, dada Piri berdebar tak karuan. Masih setengah sadar ia menoleh. Yara juga tampak kebingungan, sama-sama belum sadar apa yang terjadi. Rufio menarik keduanya agar berdiri. Bersamaan dengan itu terdengar suara jeritan. Kalai.

Tak jauh dari mereka anak Suidon itu keluar dari balik pohon dan mengayunkan sebatang kayu ke arah kegelapan. Erangan terdengar. Seorang laki-laki bertubuh besar jatuh terduduk sambil memegangi perutnya.

Piri mengenalinya. Dia Brok!

Bagaimana dia bisa ada di sini?

Piri langsung panik. Apakah dia sendirian? Tidak mungkin!

Jawabannya langsung muncul saat itu juga.

Dari samping Kalai lalu muncul laki-laki bertubuh kurus, yang langsung menyergap Kalai hingga anak itu terjerembab.

Itu pasti Grin!

Rufio bergerak cepat. Di tangannya sudah ada sebatang kayu. Anak itu menunduk, dengan cepat mengayunkan kayunya ke kaki Grin. Laki-laki itu mengerang begitu kayu menghantam tulang keringnya.

Rufio tak membuang waktu. Ia mengayunkan lagi tongkatnya, menghantam telak dagu Grin dari bawah.

Laki-laki kurus itu terjengkang ke belakang.

Cepat-cepat Rufio menarik Kalai, "Ayo—"

Belum selesai ucapannya, laki-laki lain muncul dan menampar kepalanya dari belakang. Rufio terjerembab. Laki-laki itu memukul lagi, kali ini menghajar Kalai. Dua anak itu kini tergeletak tak sadarkan diri.

Piri dan Yara terpaku ketika laki-laki itu mengangkat wajahnya. Ia jangkung, kekar, dan sosoknya tak mungkin mereka lupakan.

Tuan Rodik.

Yara menjerit begitu melihatnya.

Piri cepat-cepat menarik lengan Yara.

Terlambat. Mereka hanya sempat lari beberapa langkah. Langkah kecil mereka tak sebanding dengan lompatan lebar Tuan Rodik.

Dalam sesaat cengkeraman Tuan Rodik meraih baju yang dipakai Piri dan Yara. Dengan enteng laki-laki itu menarik keduanya seperti mengangkat dua ekor anak rubah seraya menunjukkan wajah seramnya di depan mereka.

"Anak-anak, kita bertemu lagi! Kalian lihat, cepat atau lambat pada akhirnya aku akan mendapatkan kalian. Kalian tak bisa lari dariku."

Ia menyepak pantat Grin dan Brok yang masih terduduk kesakitan. "Berdiri! Aku tidak membayar kalian untuk dipukul anak kecil!"

Kedua laki-laki itu berdiri sambil menggerutu dan sedikit mengerang kesakitan, sementara Tuan Rodik menurunkan Piri dan Yara kembali ke tanah.

Kedua anak itu memandangi Rufio dan Kalai yang masih terbaring.

"Apa ... apa yang kamu lakukan pada mereka?" jerit Yara setengah menangis. "Mereka ... mereka ..."

"Mati?" Tuan Rodik mengangkat bahu tak peduli. "Mestinya tidak. Tapi aku tidak peduli. Yang kuinginkan bukan mereka, tapi kalian."

"Buat ... apa?" tanya Piri.

"Si Penyihir yang tahu soal itu. Aku tidak peduli. Berarti, ya, koreksi ucapanku tadi. Yang kuinginkan bukan kalian, melainkan uangnya saja, setelah kuserahkan kalian pada Si Penyihir."

"Lewat Kapten Morat?" Piri memberanikan diri.

Tuan Rodik mendengus. "Aku tak ada urusan dengan Morat! Dia tak tahu soal kalian. Da lebih suka mengincar pemberontak itu. Bagus juga, pasukannya sibuk bertempur sehingga aku bisa mengikuti kalian kemari dan mengambil kesempatan. Urusan besar yang membosankan biar jadi bagian Morat, urusan kecil yang menguntungkan ... bagianku." Ia tertawa. "Jalan!"

"Mmm ... tapi ..." Grin bergumam di samping tubuh Rufio dan Kalai, "... bagaimana dengan dua anak ini?"

"Aku tidak peduli!" bentak Tuan Rodik. "Kalian peduli?"

Si kurus Grin menggeleng sambil mendengus, sementara si gemuk Brok menggerutu. Keduanya berjalan mengikuti Tuan Rodik dan kedua anak di belakangnya.

Sambil berjalan Piri mengeluh. Entah kesulitan apa lagi yang akan terjadi. Ia hanya bisa berharap nasib mereka tidak lebih buruk daripada Rufio dan Kalai. Kasihan dua anak itu ... Apa mereka baik-baik saja?

Piri menatap Yara yang berjalan di sampingnya. Tubuh anak perempuan itu bergetar dan dia masih menangis perlahan.

Piri mengeraskan rahangnya. Ia tak akan lagi membiarkan Yara mendapatkan perlakuan buruk dari siapa pun. Ia tidak boleh menyerah sekarang. Ia harus mencari jalan! Pikir! Pikir!

Mungkinkah mereka bisa kabur?

Piri melirik ke sekitarnya. Kegelapan menyelimuti setiap sudut. Ia tak bisa melihat lebih jauh selain batang-batang pohon besar di dekatnya. Kalau mau kabur, kabur ke mana?

Sepasang titik cahaya berwarna hijau tampak samar-samar di sebelah kanan. Lalu diam, tak berkedip.

Piri menahan napas, teringat pengalamannya saat berada di dalam gua. Itu mirip dengan mata si makhluk hijau.

Obain? Apakah mungkin dia ada di sini?

Piri menoleh ke kiri. Kelihatannya Yara tidak melihat sepasang cahaya itu, begitu pula Tuan Rodik di depan, serta Grin dan Brok di belakang.

Dada Piri berdebar. Antara gelisah dan semangat. Harapannya tumbuh. Mungkin Obain datang untuk menolong mereka! Seperti dulu!

Sambil berjalan ia menunggu dengan gelisah, berpikir apa yang akan dilakukan si makhluk bermata hijau. Mendadak, suara aneh, lolongan panjang, terdengar dari belakang. Derap lari di tanah menghampiri begitu cepat.

Semua orang kaget dan menoleh.

Sebelum mereka sempat bereaksi dua makhluk gelap menerjang Grin dan Brok. Dua laki-laki itu terjengkang dan menjerit, bukan hanya ketakutan, tapi juga kesakitan. Di atas mereka kini ada masing-masing seekor binatang berkaki empat, tidak sebesar kuda, tapi jelas lebih besar daripada rubah. Bulu-bulu mereka gelap dan tebal, dan taring-taring mereka kelihatan tajam saat membuka mulut, mengancam. Grin dan Bron berteriak ketakutan.

Tuan Rodik memaki dan menendang hewan buas di atas tubuh Grin. Tanpa disangka, dari kiri dan kanan melesat dua hewan lainnya. Masih jenis yang sama. Piri dan Yara menjerit karena kedua hewan itu melayang tinggi di atas mereka sebelum menerjang Tuan Rodik. Jeritan Tuan Rodik terdengar, tak jelas bagian tubuh apanya yang digigit hewan-hewan itu.

Piri ketakutan setengah mati dan sesaat pikirannya membeku, tak tahu apa yang harus ia lakukan. Namun kemudian ia bisa sadar dan cepat-cepat meraih lengan Yara, mengajaknya lari menjauh.

Baru beberapa langkah, di depan mereka sudah menghadang hewan buas lainnya. Hewan itu begitu besar, tingginya melebihi kepala anak-anak, bahkan mungkin hampir setinggi orang dewasa.

Piri dan Yara gemetar, keduanya berpelukan.

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang