Bab 73 ~ Yang Terindah

30 24 0
                                    

Begitu Yara menyentuh benda itu ia pun menjerit kesakitan, sebelum menarik kembali tangannya.

"Salah lagi!" serunya marah.

"Hei, hei, Yara, tenanglah." Piri menenangkan. "Mungkin ... belati ini." Ia menunjuk belati di sebelahnya. "Ini belati yang bagus, kan?"

"Ya," kata Yara yang mulai gelisah. Ia menggosok-gosok dan memijat-mijat telapak tangannya. "Menurutmu, belati ini?"

"Kenapa tidak?" kata Piri riang, berusaha membuat Yara tidak terlalu murung, gelisah atau tegang. "Dengan belati ini kamu bisa menakut-nakuti grayhayr raksasa itu!"

Yara tertawa kecil. "Benar juga."

Kemudian ia terdiam, kembali tegang. Dia termenung, dan Piri membiarkannya. Yara mengulurkan tangannya, menyentuh belati bertahtakan batu hijau di gagangnya.

Gagal sekali lagi. Dan kali ini Yara tak menjerit.

Mungkin ... ia kini lebih merasa takut daripada kecewa.

Piri menghela panjang. Jika ia menjadi Yara, mungkin ia juga mulai merasa takut. Sudah tujuh benda terlewatkan, dan anak perempuan itu belum mendapatkan apa pun. Bagaimana jika ternyata ia tidak akan mendapatkannya dari tiga benda yang tersisa? Walaupun sudah berhasil masuk ke lorong, bagaimana jika ternyata ia bukan termasuk keturunan dari sepuluh ksatria terpilih?

Piri tahu, keraguan itu kini merasuki Yara. Ia merangkul pundak Yara, dan berbisik, sekali lagi berusaha membesarkan hatinya.

"Hei, lihat, di sebelahnya ada belati yang lebih panjang dan lebih hebat! Lebih indah! Ini pasti belati kesatria yang terhebat! Cobalah, mungkin yang inilah milikmu!"

Yara hanya tersenyum dengan terpaksa. Tegang, ia memijat-mijat lagi jemarinya, mempersiapkannya untuk menerima rasa sakit. Ia mengulurkan tangan, menyentuh gagang belati panjang yang bentuk bilahnya agak melengkung itu.

Ia kembali menjerit, bahkan lebih keras. "Tidaaak!"

"Yara, masih ada—"

"Diamlah, Piri!" seru Yara sambil melotot.

"Masih ada dua cincin itu! Tenanglah!" Piri balas berseru.

Dada Yara naik turun, napasnya memburu. Namun wajahnya yang merah padam perlahan kembali normal. Matanya basah, dan ia menggeleng.

"Maafkan aku, Piri .... Aku ... aku ...."

"Tidak apa-apa." Piri tersenyum lebar.

"Mungkin sebaiknya sudah cukup. Aku ..."

"Yara, kamu pasti tidak suka kesakitan seperti begini terus. Tapi tinggal dua lagi. Tak ada salahnya mencoba. Kalau ternyata gagal, tidak perlu kecewa juga. Mungkin bukan benda-benda ini yang nanti paling penting bagimu. Kamu mungkin akan menemukan sesuatu yang lebih berharga daripada ini nanti."

"Seperti apa?"

"Aku tidak tahu, tapi aku yakin pasti ada!"

"Menurutmu ... begitu?"

"Ya, kenapa tidak?" Piri merangkulnya. Dengan cara itu, mungkin ia bisa membuat Yara tidak merasa terlalu sendiri jika gagal.

Keduanya memandangi cincin kecil berwarna keemasan di dalam ceruk. Batu hijau mungil bertengger di atasnya. Sungguh cincin yang indah, yang pasti sangat disukai oleh Yara.

Tetapi dia harus tenang, pikir Piri. Mencoba dengan tenang, sehingga nanti tidak terlalu kecewa jika gagal.

Yara menatap cincin itu tanpa berkedip, lalu menyentuhnya.

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now