Bab 44 ~ Burung Raksasa

37 24 0
                                    

Ketakutan, Piri membuka matanya. Dunia seakan berputar saat ia melayang tinggi. Sebelum ia sempat menyadari apa yang terjadi, sesuatu mencengkeramnya dan menariknya ke atas.

Para prajurit dan kuda-kuda mereka kini terlihat jauh di bawah.

Kelebat sayap raksasa tampak di samping Piri.

Piri mendongak, dan langsung terperangah. Rupanya ia berada dalam cengkeraman seekor burung raksasa berwarna coklat kehijauan.

Sudah pasti itu adalah hewan terbesar dan paling mengerikan yang pernah dilihatnya! Ini adalah yang terburuk dari yang paling buruk, sama sekali tak terbayangkan olehnya. Kini mereka akan jadi makanan burung!

"Piri!" jeritan Yara terdengar.

Piri menoleh. Rupanya anak perempuan itu telah dibawa pula oleh burung yang sama. Cakar kiri membawa Piri dan cakar kanan membawa Yara.

Dan bukan hanya mereka. Tak jauh di depan, terbang pula burung yang lain, dan cakar kanannya membawa Tero. Mereka semua semakin tinggi meninggalkan pasukan Kapten Morat, terbang menuju lereng pegunungan.

Yara dan Piri menangis ketakutan, sementara Tero menjerit-jerit.

Langit berubah gelap begitu cepat. Awan hitam memayungi padang rumput. Cahaya kuning berkelebat di angkasa, disusul bunyi keras bertalu-talu dari dalam awan gelap. Angin kencang bertiup, dan air yang begitu banyaknya seolah ditumpahkan dari atas langit.

Piri mengira-ngira, pasti Kapten Morat yang telah membuat langit berubah. Seperti kata Nyonya Kulip, sang kapten adalah seorang pemanggil hujan. Dulu dia bisa memadamkan kebakaran, kini dia memanggil hujan untuk menghentikan burung-burung raksasa ini.

Kedua burung raksasa terbang berkelok-kelok, menghindari guyuran hujan dan pusaran angin yang semakin kencang. Piri memejamkan matanya sekali lagi. Tubuhnya basah kuyup dan ia menggigil kedinginan. Perutnya mual dan kepalanya pusing bukan kepalang. Ia tidak tahan lagi.

Tak berapa lama, kesadarannya pun sirna.

Ketika Piri terbangun langit sudah gelap. Hawa dingin menyergap, tetapi rasanya tak seganas saat ia dibawa terbang si burung raksasa.

Piri langsung teringat, dan karena ia telah kembali ke tanah, ia pikir Kapten Morat sudah berhasil menyelamatkan dirinya.

Namun rasa takutnya menghampiri begitu ia melihat seekor burung raksasa yang bertengger di di bibir tebing di depannya.

Burung itu menatap tajam, matanya bundar dan gelap.

Ngeri melihat paruhnya yang besar, yang pasti bisa memotong tubuh seorang anak dengan sekali katup, Piri beringsut mundur. Punggungnya membentur tubuh seseorang di belakang.

Ia menoleh. Ternyata Tero dan Yara telah bangun terlebih dulu, dan kini meringkuk ketakutan di bawah batu-batu besar.

"Di mana ... di mana kita?" tanya Piri.

"Di atas pegunungan," jawab Tero perlahan.

"Kapten Morat tidak menyelamatkan kita?"

"Tidak," Yara menjawab.

Piri menelan ludah, "Burung itu ... belum memakan kita?"

Tero dan Yara tak menjawab.

"Berarti kita masih punya kesempatan," kata Piri. "Kita masih bisa lari."

"Burung yang satu sudah pergi, tapi yang ini, dia di sana terus melihat kita," kata Tero. "Tak pernah lengah, tak seperti manusia."

"Kalau mau memakan kita, dia bisa melakukannya sejak tadi," gumam Yara.

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now