Bab 39 ~Sihir Hujan

35 25 0
                                    

Kasen langsung lari menyeberangi ruangan ke arah ruangan depan, diikuti oleh Tero. Pofel menyusul di belakangnya, lalu Piri dan Rufio. Mereka berhasil lolos dari satu jilatan api yang turun dari dinding.

Namun ketika mencapai ruangan depan, Piri mendengar suara keras kayu patah dari atas kepalanya. Ia mendongak, dan menjerit. Sebuah balok kayu yang memerah panas meluncur ke arahnya.

Bahaya mendekat, tapi di saat-saat terakhir Rufio menyergap tubuhnya hingga mereka berdua jatuh terguling.

Balok kayu jatuh di samping mereka.

Rufio meringis. "Kau tidak apa-apa?"

Piri mengangguk, lalu berusaha bangun.

"Kita terjebak."

Tertegun, Piri merasakan matanya berair. Kasen, Tero dan Pofel berhasil lolos keluar rumah, sementara mereka berdua tersudut di pojok ruangan. Jilatan api memenuhi jalan menuju pintu depan, dan asap tebal memenuhi ruangan.

Rufio memeluknya. "Maafkan aku, Piri ..."

Penglihatan Piri mulai kabur, demikian pula pendengarannya. Dadanya sesak.

Suara menggelegar tiba-tiba terdengar. Disusul gemuruh di langit.

Sebelum kesadarannya hilang, ia melihat Rufio tersenyum.

Lalu sebutir air menetes, jatuh di wajah Piri.

Entah berapa lama Piri tak sadarkan diri.

Ketika ia terbangun, panas tak lagi terasa. Hanya dingin, dan basah. Air menggenang di lantai. Asap tipis melayang dari lantai maupun dinding yang menghitam dan berkilat-kilat terkena air. Rufio tersenyum di sisinya.

"Hujan deras turun, mematikan semua api. Tapi sudah berhenti."

Ia mengajak Piri berdiri. Perlahan keduanya berjalan melewati lantai yang basah menuju pintu depan. Begitu keluar, Piri disambut Yara yang lari memeluknya, juga Tero. Sementara Rufio dipeluk oleh adiknya, Pofel.

Anak-anak bersorak gembira.

Di belakang kerumunan mereka tampak Nyonya Kulip, Bibi Molen dan juga Tuan Dulum. Sulit menggambarkan wajah ketiganya, apakah marah, lega atau sedih.

Atau justru takut, karena di belakang ketiganya kini ada sosok lain yang lebih menakutkan. Kapten Morat. Laki-laki jangkung bermata tajam itu masih duduk di atas kudanya. Di bahunya bertengger burung gagak yang tadi siang dilihat anak-anak di tengah hutan.

"Rufio," Kapten Morat berkata datar.

Suasana berubah hening.

"Kau baru saja membuat kekacauan luar biasa, tetapi sekaligus menyelamatkan orang. Kombinasi yang hebat. Jangan kaukira aku tak tahu apa yang kaulakukan di sini. Membakar rumah." Ia menggeleng-geleng. "Tindakan kriminal di luar batas. Aku selalu mengawasimu, Rufio. Siang tadi urusanku di Terata selesai dan gagakku memberitahu kau sudah tiba di sini. Maka cepat-cepat aku kemari. Kupikir aku bisa menyelesaikan masalahmu di sini secara baik-baik. Ternyata begini jadinya. Untung aku datang di saat yang tepat, sehingga bisa menyelamatkan nyawamu sekali lagi. Ya, terus terang aku tak menyangka. Aku kesal, aku marah, tetapi di sisi lain, aku senang, akhirnya kau menemukan adikmu. "

"Tuan, penjahat kecil ini membakar rumahku!" Nyonya Kulip menjerit. "Dia harus dihukum berat!"

"Nyonya, apinya sudah padam," jawab Kapten Morat tenang.

"Tuan, Anda pemanggil hujan dan prajurit kerajaan yang baik. Kami sangat berterima kasih. Tetapi bagaimana dengan rumahku? Aku minta anak ini diberi—"

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now