Bab 85 ~ Pasukan Baru

30 23 0
                                    

"Ini tanda kasih dari kami untuk kalian," Pak Kadao berkata pada Yara dan Piri. "Kalian berdua adalah hal terbaik yang pernah kami lihat setelah bertahun-tahun. Pada akhirnya kami kembali melihat harapan. Dan sebenarnya kami khawatir melihat kalian pergi, untuk melakukan tugas seperti ini. Dengan ini doa kami menyertai kalian. Semoga kalian bisa pulang dengan selamat."

Yara tersenyum, dan mengangguk membalas ucapan dan doa dari Pak Kadao. "Terima kasih, Pak Kadao. Semoga kita semua baik-baik saja."

Sementara itu Piri memperhatikan tali yang melingkar di pergelangan tangannya. Ia teringat pada gelang dari akar tanaman yang dulu melingkar di tangan Rufio, yang merupakan gelang jahat pemberian Kapten Morat.

Tentu saja, yang ini mudah-mudahan adalah gelang yang baik.

Setiap orang yang berkumpul di desa kembali menunduk. Bagi Piri kali ini rasanya jadi lebih menyenangkan, karena orang-orang itu melakukannya sambil tersenyum. Piri merasakan kegelisahannya berkurang.

Rombongan berangkat, keluar dari pemukiman. Mereka melewati jalan setapak yang berliku-liku di lereng pegunungan berbatu, lalu turun memasuki hutan lebat. Sepanjang hari para serigala yang bermunculan dari dalam hutan membantu mereka melalui jalan pintas menerobos semak belukar.

Menjelang petang seekor serigala lainnya muncul menemui Tuan Karili dan menyalak seolah hendak mengatakan sesuatu.

"Ada sekelompok prajurit sedang beristirahat tak jauh dari sini, di tepi sungai," jelas Tuan Karili, seolah mampu memahaminya. "Sepertinya pasukan baru dari Mallava yang hendak pergi ke Benteng Krufix."

"Benar itu yang dikatakannya?" Rufio memandangi sang serigala.

"Parid, Koram, kalian periksa tempat itu," Tuan Karili memberi perintah. "Prajurit yang lainnya berjaga dan menunggu dulu di sini."

Kedua prajurit bergegas pergi ditemani sang serigala. Piri dan yang lainnya menunggu. Cukup lama kedua prajurit itu pergi.

Ketika malam mulai larut barulah Parid datang, muncul dari kegelapan hutan dengan membawa informasi lebih jelas.

"Benar, mereka memang datang dari Mallava, mungkin buat mengganti pasukan lama di Benteng Krufix. Jumlahnya sepuluh orang. Dua orang berjaga, yang lainnya tidur. Koram masih di dekat sana mengawasi."

"Berarti kita harus cari jalan memutar untuk menghindari mereka," kata Tuan Karili.

"Kenapa kalian tidak menyerang mereka saja?" kata Rufio.

"Menyerang mereka?" Morav menyahut.

"Kalian bisa menang. Jumlah kalian lebih banyak."

"Menarik, tetapi kita pergi bukan untuk ini!" tukas Duran. "Kita tidak ingin menarik perhatian sebelum sampai ke Benteng Krufix."

"Sebentar, kurasa itu ide yang bagus juga," Tuan Karili berkata. "Coba pikirkan, mereka ini pasukan baru. Tak ada yang mengenal mereka di Benteng Krufix. Jika kita menyerang lalu merampas baju dan persenjataan mereka, kita mungkin bisa menyamar dan menyusup masuk ke dalam benteng. Itu lebih bagus daripada rencana kita sebelum ini."

"Belum tentu tidak ada yang mengenal mereka di Krufix," kata Parid. "Satu dua orang mungkin ada yang kenal."

"Kita coba saja. Mungkin kita beruntung." Tuan Karili tersenyum lebar. "Kurasa itu usul yang bagus, Rufio!"

"Padahal aku tidak berpikir sampai ke sana," bisik Rufio.

"Yang kau pikirkan cuma berkelahi ya?" Piri menuduh.

"Maaf jika membuat kalian tidak senang!" Rufio menyeringai.

Yara menggeleng khawatir. "Tuan Karili, aku tak ingin ada yang terluka, baik kalian maupun orang-orang itu. Kalau kalian tak bisa melakukan ini, jangan lakukan."

Permintaan gadis itu terdengar seperti sebuah perintah, dan semua orang langsung mengerti.

Tuan Karili dan para prajuritnya saling memandang.

"Itu bakalan lebih sulit, Yara," kata Tuan Karili. "Tapi akan kami coba."

Rombongan berjalan menembus hutan. Gemericik aliran sungai mulai terdengar. Dari balik semak tampak kilasan cahaya yang berasal dari api unggun. Mereka pun mengambil posisi bersembunyi dan mengamati.

Seperti kata Parid, dua orang prajurit Mallava duduk berjaga dengan tombak teracung ke langit malam. Sementara di samping sungai para prajurit lainnya sedang tertidur nyenyak.

Tuan Karili berbisik. Semua anak buahnya menyebar.

Piri, Yara, Rufio dan Kalai menunggu. Jantung Piri berdebar kencang.

Yara melihat ke arahnya dengan wajah pucat, tak mau melihat ke arah kumpulan prajurit yang bakalan diserang.

Piri setuju, sebaiknya ia tak perlu melihat sesuatu yang tidak disukainya, karena akan terus teringat-ingat sampai kapan pun. Kedua anak dari Dunia Mangkuk itu akhirnya hanya meringkuk di balik belukar.

Jerit tertahan terdengar. Lalu gemerisik dedaunan yang disusul dengan beberapa bunyi pukulan. Napas Piri tertahan. Yara kuat mencengkeram lengannya. Teriakan seseorang kemudian benar-benar memecah keheningan malam. Jerit kesakitan dan kemarahan sahut menyahut beriringan dengan suara senjata beradu.

Yara makin gemetar, dan Piri cepat-cepat memeluknya.

Untunglah pertempuran itu berlangsung singkat saja.

Seruan Tuan Karili menjadi pertanda, "Jangan lukai mereka!"

Suara makian dan erangan masih terdengar. Namun tak lama, akhirnya benar-benar berhenti.

Tuan Karili menoleh ke arah Yara dan Piri, dan menggedikkan kepalanya. "Kalian bisa keluar. Tidak ada yang terluka parah, percayalah."

Piri dan Yara perlahan berdiri. Begitu pula Rufio dan Kalai.

Kesepuluh prajurit Mallava sudah tertelungkup di tanah dengan kedua tangan terikat di belakang punggung. Di sekeliling mereka berdiri pejuang Frauli. Piri melihat satu per satu, prajurit-prajurit Mallava itu masih bergerak. Tidak ada yang mati sepertinya.

Piri lega, senang karena para pejuang bisa melumpuhkan musuh tanpa harus membunuh, juga karena Tuan Karili tidak membiarkan para pejuangnya melukai prajurit Mallava yang sudah menyerah. Jika tidak, Yara pasti akan berteriak dan cincinnya akan menyakiti semua orang yang coba membantah perintahnya.

Para pejuang Frauli melucuti seragam biru-hitam yang dipakai prajurit Mallava. Orang-orang malang itu diseret ke dalam hutan, diikat tangan dan kakinya ke pohon besar, dan mulut mereka disumpal kain.

Para pejuang kemudian menemukan secarik kertas dalam baju seorang prajurit Mallava, yang ternyata adalah semacam surat penugasan.

"Jadi betul, mereka memang pasukan baru untuk Benteng Krufix," kata Tuan Karili setelah membaca surat itu. Ia tersenyum lebar. "Ini bukan hanya keberuntungan. Para dewa memang telah membantu kita."

Rufio melirik ke arah orang-orang Mallava yang hanya bisa balik menatap mereka dengan marah. "Terus mereka bagaimana?"

"Mereka akan tetap di sini dalam waktu yang cukup lama," kata Tuan Karili. "Itu jika tidak ada rekan mereka yang mencari. Para serigala mungkin tak akan menyerang mereka, tapi aku tak bisa menjamin."

"Itu ... itu mengerikan, bukan?" Piri bergidik. "Jika mereka diserang oleh gerombolan serigala tanpa bisa melawan ...."

"Kalian tak mungkin membiarkan kami ... kau tahu, membunuh mereka, kan? Jadi kita tak punya pilihan lain," kata Tuan Karili. "Sudahlah, mereka tak perlu dipikirkan. Mereka akan baik-baik saja jika memang mereka punya nasib yang baik. Kita punya urusan lain yang lebih penting."

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now