Bab 50 ~ Terus Bersama

36 27 1
                                    

Piri mengikat kantong makanan di atas kepalanya, lalu berenang menyeberangi sungai, berusaha menjaga agar kantong itu tetap kering.

Sesampainya di mulut gua ia diam sejenak, membiasakan matanya dengan kegelapan, setelah itu berjalan masuk. Tak berbeda dengan gua yang dulu dilewatinya di negeri Mallava, gua ini pun dilalui air sungai yang dasarnya dangkal, walaupun di beberapa tempat lebih dalam sampai setinggi dada.

Ia terus masuk, hingga akhirnya tak bisa lagi maju karena jalannya tertutup dinding batu. Dalam gelap ia memandang berkeliling. Kalau saja batu merah ada di tangannya.

Kemudian, samar-samar ia melihat aliran sungai di sebelah kanannya, masuk ke sebuah lorong kecil.

Piri mendekat, meraba-raba. Lorong yang dilalui air sungai itu kecil dan dinding atasnya rendah. Piri mungkin bisa melaluinya dengan cara menyelam, untuk muncul entah di mana. Tapi itu akan sangat berbahaya.

Pada akhirnya ia mengerti, ini adalah akhir dari perjalanannya.

Piri melepas sederet dahan pohon memanjang dari samping pinggangnya, yang sudah ia rakit hingga menyerupai papan. Di atas deretan dahan itu ia meletakkan kantong makanan yang ia bawa, dan mengikatnya agar tidak terlepas. Setelah selesai ia menaruh dahannya di atas air sungai. Ia yakin benda itu cukup kuat untuk mengapung, walaupun dibebani buah-buahan.

"Tuan Obain yang baik," katanya, "seandainya di sana kamu bisa menemukan buah-buahan ini, kuharap kamu mengerti, kamu tidak sendirian. Semoga kita bisa bertemu lagi nanti."

Piri melepas kantong makanannya. Benda-benda itu mengapung di atas sungai, mengalir masuk ke dalam lorong, dan akhirnya hilang dalam gelap.

Dalam gelap Piri tersenyum, bahagia.

Ia berbalik, dan kini kembali berjalan untuk pulang.

Tak lama kemudian, ketika ia berhasil keluar dari gua, langit sudah hampir gelap. Piri berenang menyeberangi sungai, lalu naik ke tepian.

Ia terkejut, karena di sana seseorang ternyata sudah menunggunya dengan wajah cemberut. Yara.

"Kenapa kamu tidak bilang, kalau kamu mau kemari?" tanya Yara.

Piri terdiam, sesaat bingung harus menjawab apa.

Ia balik bertanya, "Dari mana kamu tahu aku pergi ke sini?"

"Dari Tero. Aku mengejarmu."

"Aku harus memenuhi janjiku, Yara."

"Aku mengerti, tetapi kenapa kamu tidak mau menunggu? Aku kan juga mau masuk!"

Piri menghela napas. "Maaf ..."

Yara tetap cemberut. "Jadi, ada apa di dalam sana?"

"Aku tidak bisa masuk lebih dalam. Air sungainya masuk ke lorong kecil. Tapi aku yakin sungai itu menuju ke suatu tempat, mungkin ke sungai di negeri Mallava. Makanya kualirkan saja buah-buahan yang kubawa. Mudah-mudahan dia bisa menemukannya, dan mendapatkan makanan yang enak."

"Iya. Mudah-mudahan." Wajah Yara tak lagi cemberut.

"Yara, kalau memang nanti aku mau pergi, aku pasti akan mengajakmu."

"Betul? Ke mana pun?"

Kening Piri berkerut. "Mmm ... maksudmu ... ke mana pun?"

"Ya ke mana pun. Ke mana pun kamu mau pergi, kamu harus mengajak aku," Yara berkata dengan nada memerintah.

Piri tertawa. "Baik, aku berjanji."

"Jadi, kalau misalnya kamu mau masuk lagi ke gua ini, kamu harus mengajakku. Kalau susah, kita bisa mencoba mencari jalan, asalkan kita punya api, atau obor," kata Yara dengan mata berbinar.

"Mmm ... tapi bagaimana caranya membuat obor? Kita tidak punya batu api."

"Makanya, kita harus mencari batu itu!" seru Yara.

"Ke mana?" tanya Piri.

"Ke negeri Suidon, mungkin, tempat Kaia dan Pofel pergi."

Piri terbahak. "Pergi ke sana, hanya untuk mencari batu api?"

Yara meringis. "Pasti ada banyak batu api di sana. Atau ke Kalani, atau negeri lainnya. Frauli, mungkin."

"Frauli?"

"Ya, Frauli. Kamu ... tidak ingin tahu negeri itu seperti apa? Dan mengetahui siapa orangtua kita sebenarnya?" Wajah Yara tampak cerah saat mengatakan itu. Matanya bersinar, dan Piri pun tahu anak perempuan itu baru saja punya niat baru yang berbahaya.

"Aku mau," gumam Piri perlahan.

"Nah!"

"Tapi, kamu benar-benar mau pergi lagi?"

"Iya."

"Dalam waktu dekat ini?"

"Kenapa tidak?" Yara nyengir lebar.

"Kamu sudah lupa nasihat Tuan Ardin, sebaiknya kita tetap tinggal di Dunia Mangkuk sampai kita jadi lebih besar?" seru Piri.

"Aku tidak lupa! Tapi seperti dulu kubilang, nasihat dibuat untuk kebaikan kita, tetapi bukan berarti kita tidak boleh berpikir dan punya pendapat sendiri."

"Kamu dulu pernah mengatakan itu?" Piri berusaha mengingat-ingat.

"Ya. Artinya, kalau aku memang mau pergi, ya aku akan pergi. Toh aku tidak membahayakan orang lain, atau anak-anak lain."

"Kamu memang keras kepala. Apa lagi yang kamu cari? Kamu sudah mencapai puncak pegunungan, kamu sudah melihat dunia lain, dan kamu sudah berhasil memeluk awan, seperti yang jadi impianmu sejak dulu. Apa lagi?"

Yara terdiam. Selama beberapa saat ia termenung memandangi sungai.

"Ya, itu impianku," ia lalu menjawab. "Dan aku senang itu terwujud. Tapi kamu belum mengerti. Yang paling penting dari semuanya, yang ternyata kemudian paling kuingat, tak akan mungkin kulupa sampai kapan pun, bukanlah apa-apa yang kita capai, melainkan sesuatu yang lain."

Piri termangu. "Apa?" tanyanya lirih.

Yara menoleh, tersenyum. "Perjalanannya! Semua yang kita lewati. Semua yang kita lakukan bersama-sama, kita lihat, kita rasakan untuk sampai ke sana. Itu yang paling penting!"

Keduanya saling memandang.

"Jadi jika nanti aku pergi lagi, itu bukan hanya karena aku ingin mencapai tujuan sampai di puncak pegunungan atau semacamnya. Aku melakukannya karena aku gembira. Aku bisa mendapat teman baru, dan melihat semua hal yang luar biasa. Ya, kita tak bisa menduga apa yang bakal terjadi, kadang menyenangkan, kadang menyedihkan, tapi ... bukankah dari sana kita selalu mendapat sesuatu yang lain ini, hal-hal baru, yang jauh lebih berharga dan tak terlupakan dibanding tujuan-tujuan yang kita buat di awal?"

Piri tersenyum. "Ya ... itu betul."

Pada akhirnya ia selalu senang jika melihat Yara bisa berkata-kata lagi dengan penuh semangat, walaupun seringkali ia tak paham pada apa yang diucapkan oleh anak perempuan itu.

"Terima kasih, kamu bisa mengerti."

"Kamu selalu aneh, Yara, tapi itu menarik ..."

"Huh, setengah dari yang kukatakan tadi sebenarnya kudapat darimu!" tukas Yara. "Walau kamu tidak pernah mengatakannya seperti itu."

"Oh ya?"

"Ya."

Piri menggaruk-garuk kepalanya. "Hmm ... jadi kapan kamu mau berjalan lagi?"

"Seperti kamu bilang tadi, mungkin dalam waktu dekat."

"Ke mana?'

"Nanti kupikirkan."

"Terserahlah." Piri mengangkat bahu. "Tapi kalau tadi kamu memaksa ikut ke mana pun aku pergi, sebaliknya ya harus begitu juga. Aku harus ikut ke mana pun kamu pergi."

"Tentu saja!" jawab Yara dengan mimik serius. "Kamu memang HARUS ikut denganku. Aku mau kita berdua bisa terus bersama, ke mana pun kita pergi."

Terdiam sesaat, Piri kemudian membalas dengan cengiran lebar.

"Setuju."

Lalu keduanya tertawa.

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang