Bab 42 ~ Kembalinya Tuan Rodik

41 24 0
                                    

Serta merta kedua anak itu terbangun dan menjerit panik. Tero bahkan terguling dari batu dan tercebur ke sungai.

Cepat-cepat mereka berlari, berusaha tak merasakan batu-batu tajam yang menusuk kaki mereka di dasar sungai, juga tak lagi mempedulikan baju-baju mereka yang masih terlepas di bebatuan.

Piri mengarahkan batu merahnya ke depan untuk menerangi jalan. Awalnya panik, tapi tiba-tiba ia terpikir sesuatu.

Kalau saja mereka bisa menemukan sebuah lubang kecil yang bisa mereka masuki untuk bersembunyi, yang cukup kecil sehingga Tuan Rodik tidak bisa ikut masuk, mungkin mereka bisa selamat, untuk sementara.

Piri pun mencari-cari, dan akhirnya menemukan lubang semacam itu tak jauh di kanan, di atas bebatuan. Piri mendahului Tero dan Yara, memanjat ke sana. Kepalanya melongok. Tampaknya itu semacam lorong.

"Ayo naik ke sini!" serunya.

Yara dan Tero menyusul naik. Piri meluncur masuk ke dalam lubang yang sempit, berguling di sana, lalu disusul Yara.

"Orang dewasa tidak bisa ke sini. Ayo, Tero!" seru Piri.

"Itu lubang apa?" tanya Tero dari bawah.

"Lorong, mungkin menuju ke suatu tempat. Tak usah banyak tanya! Cepat naik!"

"Awas!" seru Yara. "Tuan Rodik di belakangmu! Dia—"

"Bocah! Mau lari ke mana kalian?"

Darah Piri membeku. Tuan Rodik berlari begitu cepat di sungai.

Dengan sekali lompatan laki-laki jangkung itu sampai di belakang Tero yang sedang memanjat. Tuan Rodik mencengkeram pergelangan kaki Tero, dan menariknya hingga tubuh anak itu tercebur ke sungai.

Yara menjerit, "Tero!"

Tuan Rodik menarik Tero yang basah kuyup keluar dari sungai, lalu mendongak, menatap Piri dan Yara sambil menyeringai seram.

"Kalian pikir kalian bisa lari dariku?"

"Tolong, jangan sakiti Tero," Piri memohon.

"Aku tidak akan menyakiti dia, asal kalian menurut padaku! Keluar dari lubang itu, dan ikut aku keluar gua."

"Tidak!" seru Tero. "Kalian terus saja. Aku tidak apa-apa."

"Kenapa kamu terus mengejar kami?" tanya Yara ketakutan.

"Tanyakan pada Nyonya Kulip." Tuan Rodik tertawa. "Mungkin dia belum mau kehilangan uangnya, mungkin juga hanya dendam. Aku bertemu Tuan Dulum kemarin, di rumah hangus itu, dan dia menyebut nama Piri. Kau, bocah, tampaknya sudah membuat mereka sangat marah. Dia juga menyebut Yara, yang paling cantik di antara semua anak, yang sepertinya paling bisa dijual mahal. Jadi begitulah, dia menyuruhku mencari kalian, dan jika memungkinkan, nanti mencari anak-anak yang lain. Asal kalian tahu, tidak sulit bagiku menemukan kalian. Kalian pikir bisa membodohiku?"

"Kalian semua orang jahat!" Yara berteriak, suaranya bergetar.

"Begini, bukan aku yang menginginkan kalian. Nyonya Kulip orangnya. Sedangkan aku, aku mau yang lain. Aku mau batu merah di tanganmu itu."

Piri tertegun, menggenggam batunya erat-erat. "Kenapa ...?"

"Itu benda yang seharusnya tidak dimiliki anak-anak." Tuan Rodik menyeringai. "Ayo keluarlah baik-baik, dan biar aku yang membawa batu itu."

Laki-laki itu menunggu, tetapi Piri masih diam di lubangnya bersama Yara. Ia menengok ke belakang, berpikir, apakah sebaiknya ia turun menyerahkan diri, atau justru pergi. Lorong ini sepertinya menuju suatu tempat, bisa jadi keluar lagi di bagian sungai yang posisinya lebih dekat dengan Dunia Mangkuk. Tetapi bisa juga tidak.

Lagipula tidak mungkin ia membiarkan Tero dibawa pergi begitu saja oleh Tuan Rodik.

"Cepat!" teriak Tuan Rodik tidak sabar. Ia mengangkat tangan kanannya sementara tangan kirinya mencengkeram kerah baju Tero. "Atau kupukul temanmu ini!"

"Jangan!" jerit Yara.

Anak perempuan itu menoleh, menatap Piri. "Bagaimana?"

"Baiklah!" akhirnya Piri menjawab. "Kami keluar!"

Ia menyusup keluar melewati lubang, lalu menunggu di atas batu besar. Setelah Yara keluar dan duduk di sampingnya, mereka berdua turun ke sungai.

"Bagus." Tuan Rodik menjulang tinggi di depan ketiga anak. "Sini batunya."

Piri merogoh kantong celananya, mengeluarkan batu merahnya.

Tuan Rodik merampasnya. Dia menimang-nimangnya dengan wajah bergairah. "Ada sesuatu di dalam batu ini, tetapi ... kalian tak perlu tahu."

Ia mengarahkan cahaya batu itu ke depan, ke mulut gua jauh di ujung sana, lalu mendorong Piri. "Tuan Dulum menanti kalian."

Anak-anak berjalan dengan lesu. Putus asa, marah, sedih, kesal, takut, seluruh rasa bercampur. Padahal mereka sudah sampai di sungai dan yakin bakalan pulang sebentar lagi. Ternyata sekarang semuanya gagal.

Piri tak tahu apa lagi yang akan terjadi, dan ia juga tak tahu apakah nanti akan punya kesempatan untuk pulang ke Dunia Mangkuk.

Tuan Rodik tak mengijinkan mereka beristirahat, dan terus memaksa mereka berjalan. Namun laki-laki itu masih cukup baik untuk membiarkan anak-anak mengambil dan mengenakan lagi baju-baju yang tadi mereka tinggalkan di tepi sungai. Ketiga anak saling menatap ketika melewati mulut gua yang mengarah ke rongga kupu-kupu.

Sempat terpikir di benak Piri, bagaimana jika mereka lari saja ke sana. Tuan Rodik yang jangkung takkan bisa melewati lorong-lorong kecil di gua itu. Namun Piri paham, anak-anak juga takkan bisa berjalan di dalam gua jika tanpa dibantu cahaya batu merah yang kini ada di tangan Tuan Rodik.

Akhirnya mereka pun terus berjalan.

Kemudian, sesuatu terjadi.

Sosok gelap berkelebat dari balik dinding gua, lolos dari sorot cahaya batu merah. Piri sempat melihatnya, tetapi yang lain tidak.

Sosok itu melompat dari atas batu, lalu menyergap Tuan Rodik. Si laki-laki bermata hijau! Tampaknya makhluk itu telah mengalahkan rasa takutnya pada batu merah demi menolong Piri dan teman-temannya.

Tuan Rodik meraung kesakitan karena laki-laki gua itu menggigit lehernya. Batu merah di genggamannya jatuh ke sungai.

Tetapi ia laki-laki yang kuat. Ia membungkuk kemudian membanting tubuh si makhluk hijau. Piri yang tadinya bermaksud mendekat untuk menyelam dan mengambil batu merah terpaksa mengurungkan niatnya.

Tuan Rodik menatapnya bengis, sehingga Piri pun menjauh.

"Piri, kita lari ke mana?" bisik Yara.

Seharusnya mereka lari ke arah sungai di belakang punggung Tuan Rodik jika ingin pulang, tetapi jelas mereka tak bisa melewati laki-laki itu. Lagipula mereka takkan bisa ke dalam sana tanpa batu merah. Selain gelap, jalannya juga belum mereka kenal. Satu-satunya pilihan adalah berbalik ke arah sungai yang akan membawa mereka kembali ke Mallava.

Namun apakah mereka nanti bisa lolos dari kejaran Tuan Rodik?

Si makhluk hijau kembali menyerang Tuan Rodik, kali ini lebih kuat. Keduanya bergumul dan jatuh ke sungai, berkelahi di sana.

"Lari!" Piri langsung berseru.

Anak-anak berlari di sungai menuju mulut gua di negeri Mallava.

Berkat cahaya batu merah yang masih terendam di dasar sungai mereka bisa melihat jalan, tetapi semakin jauh anak-anak tak bisa lagi melihat apa pun. Namun ketiganya tahu, jika terus merambati batu-batu di dinding gua, mereka akan keluar.

Mereka berlari, lalu merambat dinding dalam gelap secepat yang mereka bisa. Batu merah semakin lama semakin tampak sebagai titik cahaya belaka. Artinya kedua laki-laki besar itu masih berkelahi di sana.

Cahaya lain tampak di depan. Anak-anak mempercepat lari, dan akhirnya sampai di mulut gua.

Tersengal-sengal, Piri dan kedua temannya tersenyum lega. Mereka gagal pulang, tapi paling tidak berhasil lolos dari Tuan Rodik untuk sementara waktu. 

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now