Bab 2 ~ Kalian Percaya?

190 58 3
                                    

Tak ingin bayangan Menara Hitam terus menghantui isi kepalanya, cepat-cepat Piri meneruskan, "Menara itu ada di tengah-tengah lembah, jadi ... Yara mungkin benar. Lima hari berjalan kaki, paling sedikit, jika kita mau pergi dari tempat ini ke pegunungan seberang."

Itu jawaban yang tampaknya membuat Yara senang, karena cukup jarang Piri setuju dengannya. Anak perempuan itu kini tersenyum manis.

"Tetapi siapa yang mau pergi ke pegunungan seberang?" Tero menukas. "Memangnya ada apa di sana?"

"Kupu-kupu bintang!" sahut Yara tak terduga. "Kamu selalu mau mencari mereka, kan? Menurutku mereka ada banyak sekali di sana."

Senyumannya terkembang. Sekali lagi, terlihat sangat manis.

Namun, bagi Piri kali ini sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan di balik senyuman itu. Yara mungkin sedang memikirkan sebuah rencana. Dan jika dia membuat rencana, biasanya itu bukan sesuatu yang biasa.

Tero sepertinya tak berpikir sampai ke sana. Ia tersenyum lebar. "Benar! Kupu-kupu bintang selalu terbang ke sana."

Ia melirik, berpandangan dengan beberapa anak laki-laki di dekatnya, kemudian tertawa sendiri.

Tawa yang aneh. Piri yakin, pasti mereka merencanakan sesuatu juga!

Gara-gara dunia mangkuk ini Yara tiba-tiba punya rencana, Tero juga, dan sepertinya bukan hanya mereka. Hampir semua anak kini saling berbisik dengan teman di dekatnya, sehingga membuat suasana menjadi gaduh.

"Anak-anak!" Panggilan Kakek membuat mereka menoleh.

"Anak-anak," suaranya kemudian melembut. "Kalian semua anak yang pandai. Hari ini Kakek hanya memberitahu soal biji karamunt di dalam mangkuk, ternyata kalian berpikir lebih jauh. Bagus.

Tetapi, menjadi pandai bukan berarti kalian bisa bertindak sesuka hati. Justru setelah kalian tahu kalian harus memilih, mana yang baik buat kalian, mana yang tidak."

Melihat anak-anak tampak masih belum mengerti, Kakek melanjutkan dengan anggukan. "Itu saja, anak-anak, pelajaran hari ini. Tadinya Kakek mau mengajari cara menanam dan merawat pohon allumint. Aku tahu kalian paling suka buahnya. Tetapi lebih baik besok saja."

Ia melirik, seperti mempelajari mimik wajah setiap anak, sebelum menutup ucapannya, "Sampai jumpa."

Perlahan wajahnya memudar di dalam kabut yang mengelilinginya, lalu menghilang bersama serbuk-serbuk halus yang berputar bersama titik-titik cahaya. Dengan satu kejutan serbuk-serbuk itu tertarik ke satu titik di tengah-tengah dengan kilauan yang membuat semua anak menutup mata.

Itu adalah ucapan selamat tinggal yang biasa bagi anak-anak, tetapi tetap mampu membuat mereka terpukau. Saat mata anak-anak terbuka, tinggal tersisa batu di kaki pohon.

Gesekan indah ranting dan dedaunan kembali terdengar, bersamaan dengan gemericik air yang mengalir di sungai.

Pelajaran hari itu selesai.

Anak-anak kemudian membubarkan diri. Mereka berlarian sesuka hati. Ada yang lalu mencari buah-buahan, atau bermain di tempat favorit masing-masing.

Ada pula yang berkejaran di padang rumput, berenang di sungai, bermain di lumpur, atau berlompatan di kaki tebing, dalam sekejap seolah melupakan cerita tentang dunia mangkuk.

Namun Piri yakin, di sela-sela setiap permainan pasti sempat tercetus celetukan-celetukan kecil, tentang apa yang baru saja mereka pelajari hari ini.

Tidak mungkin hal semenarik dunia mangkuk itu terlupakan begitu saja.

Karena seperti itulah yang terjadi ketika ia dan teman-temannya sedang bergelayutan di dahan pohon allumint.

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now