Bab 93 ~ Anak Baik

93 28 0
                                    

Begitulah, anak-anak terus berteriak-teriak tanpa henti.

Sorot cahaya itu bergeser ke arah mulut gua tak jauh di samping kiri tempat anak-anak berada. Mulut gua itu tingginya mungkin hanya setinggi kepala Tero, dan berada di balik bebatuan sehingga agak tersembunyi.

Tadinya anak-anak selalu mengabaikan gua itu, karena yakin tidak ada apa-apa di sana. Sejauh ini begitu. Namun kali ini semuanya terdiam sambil menahan napas, begitu melihat sesosok asing ada di sana. Dia berdiri sedikit membungkuk dan berusaha menyembunyikan dirinya di balik batu.

Tubuh makhluk asing itu gelap dan kotor, rambutnya panjang acak-acakan. Wajahnya dekil, janggut dan kumisnya berantakan tak terurus. Matanya berwarna hijau.

Hanya tiga anak yang mengenalinya. Piri, Yara dan Tero.

Sosok asing itu tak lain adalah manusia bermata hijau yang dulu menolong ketiga anak ketika mereka terperosok di gua, dalam petualangan mereka yang pertama. Nama aslinya Obain. Ia adik dari Ardin Sang Pelindung, yang dulu adalah majikan Kakek.

Piri langsung tersadar. Reaksi pertamanya adalah melambai-lambaikan tangan lagi ke arah puncak Menara Hitam dan berseru lantang, berharap mudah-mudahan suaranya bisa didengar oleh Kakek, yang tentu saja mustahil karena jaraknya teramat jauh.

"Kakek! Tolong singkirkan cahayanya! Jangan sorot dia! Dia ketakutan!"

Yara dan Tero membantu. "Iya, Kakek! Singkirkan cahayanya!"

Tiga puluh anak yang lain pun membantu dengan cara yang sama.

Ajaib. Kakek seolah bisa mendengar suara mereka! Atau mungkin dia bisa langsung mengerti arti dari lambaian tangan itu.

Seketika cahaya dari puncak Menara Hitam itu meredup, lalu mati. Menyisakan cahaya bulan sebagai satu-satunya penerangan.

Seluruh anak terdiam, memandangi si manusia asing. Bagi anak-anak selain Piri, Yara dan Tero, ini kesempatan pertama bertemu muka langsung dengan seorang asing, dan karenanya semua menjadi tegang.

Namun Piri, Yara dan Tero berbeda. Ketiganya bergegas mendekati Obain dengan wajah berseri. Hanya saja mereka masih bingung harus berkata apa pada laki-laki itu. Mereka saling memandang selama beberapa saat, sebelum akhirnya Piri memberanikan diri untuk berbicara pertama kali.

"Hai," katanya dengan sedikit gugup. "Apa kabar?"

Si laki-laki bermata hijau, yang tadinya menunduk, kini mengangkat wajah. Mulutnya mengeluarkan suara. "Makan ... enak ..."

"Ah!" Piri tersenyum lebar, langsung mengerti maksudnya. "Betul. Aku dulu berjanji memberimu makanan enak jika kamu datang ke tempat kami. Aku ... aku akan memberikannya!"

"Mmm ... tapi makanannya sudah habis," bisik Tero di sampingnya. "Buah allumint terakhir tadi baru saja dimakan Buro."

Mendengarnya, Yara langsung menoleh dengan wajah kesal ke belakang.

Buro sedang berdiri bersama anak-anak yang lain cukup jauh di belakang mereka, dan si gendut itu melongo tak mengerti begitu mendapat tatapan tajam dari Yara, seolah berkata, "Ada apa? Apa salahku?"

Cepat-cepat Yara berbalik dan menghampiri anak-anak itu.

"Makanan! Cepat! Apa masih ada yang punya?" serunya tak sabar. "Buah-buahan tadi, benar-benar tidak ada yang tersisa?"

Anak-anak saling memandang, lalu menggeleng.

Untunglah satu jari mungil kemudian teracung. Dari Sera.

Anak perempuan mungil itu berkata gugup, "Aku punya tiga butir allumint di kantongku. Apa itu cukup?"

"Ya," tukas Yara. "Cepat, berikan. Nanti kuganti!"

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now