Bab 88 ~ Bersama Kabut

30 21 0
                                    

Tubuh Yara merapat ke samping Piri. Anak perempuan itu gemetar.

"Bukankah kalian berdua seharusnya ...?" Kapten Morat hendak bertanya sesuatu pada keduanya, tetapi setelah beberapa saat ia mengangguk seolah tersadar. "Baik, kalian berdua ikut denganku."

"Tidak," Yara menjawab pelan.

Kapten Morat menatapnya tajam. "Ikut denganku, anak-anak."

"Tidak!" Yara berkata lebih keras.

Sang kapten menoleh pada prajuritnya. "Ambil mereka berdua! Tangkap yang lainnya!"

Yara mengangkat tangan kanannya, berseru, "Tidaaak! Jangan mendekat! Pergi kalian semua!"

Itu adalah teriakan terkeras yang pernah Piri dengar dari Yara, lebih keras daripada jeritannya saat Yara melakukannya di sungai.

Cincin batu hijaunya bersinar, tak hanya menyilaukan siapa pun yang melihatnya, tetapi juga menyakiti siapa pun yang diperintah olehnya.

Ucapan Yara tertuju pada setiap prajurit Mallava. Orang-orang itu langsung melepaskan senjata dan mengerang kesakitan sambil memegangi kepala. Termasuk Kapten Morat yang kaget luar biasa hingga terjungkal jatuh dari atas kudanya.

"Pergi!" Yara semakin berani. Ia melangkah maju dan terus menunjuk ke depan. "Pergi!"

Prajurit Mallava berlarian kabur sambil menjerit-jerit. Sebagian orang bahkan tersungkur hingga berguling-guling di rerumputan dan lereng pegunungan yang becek karena hujan.

Namun Kapten Morat benar-benar seorang laki-laki yang kuat. Tubuhnya bergetar dan wajahnya terlihat berusaha menahan sakit, tapi ia mampu mengangkat tangannya, lalu berteriak. Gemuruh di langit kembali terdengar. Awan gelap bergulung-gulung menghampiri. Kilatan petir menyambar puncak menara di samping pintu gerbang, langsung menghancurkannya.

"Awaaas!" Tuan Karili cepat-cepat menarik tubuh Yara.

Sebongkah batu jatuh menghunjam tanah tempat Yara semula berdiri. Batu-batu lain menyusul jatuh. Piri melompat menghindar, lalu bersama Yara cepat-cepat bersembunyi di balik tubuh Tuan Karili.

Di depan mereka Kapten Morat tergeletak lemah, tapi ia masih sempat memberi komando sebelum pingsan, "Tangkap ...!"

Bersamaan dengan pingsannya sang Kapten hujan perlahan mereda, menyisakan butir-butir air yang menitik lambat-lambat. Sebagian prajurit Mallava yang pulih dari rasa sakit segera bangkit mengambil tombak.

Cepat-cepat Piri memasang topeng besi ke wajahnya, bersiap menakuti setiap musuh yang mendekat.

Namun entah dari mana ... tiba-tiba terdengar perintah lain.

Menggema di udara. "Bunuh!"

Piri tersentak.

Bunuh?

Jantungnya seolah berhenti. Bukan hanya gara-gara isi perintah yang amat mengerikan itu, tetapi juga karena suaranya yang sangat keras, seolah datang begitu saja dari langit.

Tak hanya Piri, semua orang tampak bingung dan ketakutan, karena tak tahu dari mana suara itu berasal.

Bahkan para prajurit Mallava saling memandang, sepertinya tidak yakin kalau perintah tersebut ditujukan pada mereka.

Hening sesaat, kalimat berikutnya muncul lebih jelas.

"BUNUH MEREKA SEMUA!"

Memang dari langit, atau gunung, atau awan, entahlah, Piri tidak yakin.

Atau mungkin ... suara itu datang bersama kabut.

Kabut tipis perlahan turun, yang seperti halnya hujan tadi, tampaknya juga bukan kabut biasa. Piri bersiap dengan topeng besi di wajahnya. Batu hijaunya memancarkan cahaya.

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang