Bab 33 ~ Penunjuk Arah

41 29 1
                                    

Si rubah putih melompat kegirangan begitu melihat anak-anak mau mengikutinya. Ia berlari di sela-sela pepohonan, sesekali berhenti, untuk memberi kesempatan pada anak-anak agar tidak terlalu jauh.

Rubah itu kelihatannya cukup pintar memilih jalan yang tidak terlalu sulit dilewati anak-anak. Kalau mau mungkin dia bisa saja menyusup di sela-sela semak belukar yang rapat. Dia berlari di tanah-tanah datar, yang kering dan tidak licin.

Cukup lama si rubah dan keempat anak itu menembus hutan, sampai akhirnya mereka sampai di depan mulut gua yang tingginya sepinggang orang dewasa. Piri dan ketiga rekannya tersengal-sengal, sementara si rubah putih menjulurkan lidah dan menggoyang-goyangkan ekornya.

Sesaat kemudian rubah itu berlari masuk ke dalam gua.

"Apa kita harus masuk juga?" gumam Yara.

Piri bersiap menyusul, tetapi si rubah lalu muncul. Kali ini hewan itu menggondol sesuatu di mulutnya.

Benda berukuran segenggaman tangan berwarna merah cemerlang.

"Batu merah!" Yara menjerit.

"Kita menemukannya!" seru Piri girang.

Si rubah putih meletakkan batu itu di depan kakinya, dan seolah tersenyum lebar kembali. Piri mengambil batu itu dan memeluk si rubah.

"Terima kasih! Batu ini ternyata ada padamu!"

"Itu ... batu yang indah," Rufio bergumam. Tatapannya lekat, tak lepas sedikit pun dari batu merah itu. "Kalian dapat di mana?"

"Di gua antara dunia ini dan Dunia Mangkuk," jelas Yara. "Dalam gua batu ini bisa bersinar terang, tak hanya berwarna merah seperti ini."

Senyumannya mereda begitu melihat Rufio sedikit khawatir. "Memangnya kau tahu ini batu apa?"

"Warnanya merah. Mungkin ada hubungannya dengan Penyihir Merah!" seru Rufio. "Kalian tahu dia? Tidak? Penyihir Merah awalnya hanya penasihat di Mallava, kerajaan ini, tetapi dia lalu berhasil berkuasa. Dia orang yang berbahaya, dan punya sihir mengerikan. Setelah menguasai kerajaan dia membawa pasukannya menyerang negeri-negeri lain seperti Frauli, Kalani dan Suidon, menaklukkan mereka. Aku belum tahu tentang batu ini, tetapi aku takut ... ini salah satu senjata mengerikan miliknya."

"Sejauh ini tidak berbahaya ..." kata Piri sambil menimang batu di tangannya.

"Ya, paling hanya membuat takut makhluk di dalam gua itu," timpal Yara. "Karena sinarnya yang menyilaukan di dalam gelap."

"Lebih baik kalian hati-hati. Bagaimana kalau benar berbahaya? Kita bisa celaka!"

"Jadi menurutmu batu ini harus diapakan?" tanya Yara.

"Buang saja," jawab Rufio.

"Hah? Buang?" Suara Yara meninggi.

"Bagaimana jika sebaliknya?" balas Piri. "Bagaimana jika batu ini bisa membantu kita? Batu ini pernah membantu kami di gua, dan mungkin bisa membantu kami lagi nanti."

"Bodoh sekali kalian berpikiran seperti itu."

Piri dan Yara terdiam.

Lalu Yara berkata hati-hati, "Kalau batu ini benar milik Penyihir Merah, mungkin kita bisa menggunakannya untuk membantumu. Kita sembunyikan batu ini, lalu kita bilang pada Kapten Morat, bahwa kita punya barang berharga. Kalau ia mau mendapatkannya ia harus bersedia melepaskan gelang di tanganmu lebih dulu."

"Tidak mungkin. Kapten Morat orang yang cerdik, ia tak bisa diperdaya semudah itu. Dia malah bisa balik mencelakai kita."

Keempat anak kembali terdiam. Di tengah-tengah mereka si rubah putih kembali menyalak seolah meminta perhatian. Anak-anak tidak menanggapinya, karena mereka masih belum sepakat harus melakukan apa terhadap batu merah di tangan Piri.

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now