Bab 41 ~ Di Dalam Gua

36 25 0
                                    

Esoknya, setelah bangun, makan, lalu bersiap untuk berpisah dengan anak-anak yang lainnya, ternyata Yara belum lupa pada kekhawatirannya semalam.

Dalam satu kesempatan setelah keluar dari kamar, ia berkata pada semua anak, "Kalian tetap harus hati-hati pada orang semacam Tuan Rodik, jika dia mendekati kalian. Setelah ini para prajurit tidak akan menjaga kalian lagi."

Kasen mengangguk. "Jangan khawatir, jumlah kami banyak."

"Ya," sahut Pofel yang berdiri di samping Kaia. "Kalau kami terus bersama, Tuan Rodik takkan berani mengganggu."

"Kalian yang harus hati-hati," kata Kasen. "Kalian cuma bertiga."

"Sungai dan mulut gua tidak jauh lagi," ujar Yara. "Tidak akan lama, jadi mestinya tak akan terjadi apa-apa."

"Kalian yakin bisa menemukan jalan pulang?" tanya Pofel.

Yara mengangguk. "Ya."

"Di dalam sana pasti gelap," ujar Kasen.

"Kami bisa melewatinya," jawab Piri, walaupun ia tak akan menjelaskan kenapa ia yakin. Ia punya batu merah yang bisa menerangi gua di dalam kantongnya, tetapi selain ia, Yara dan Tero, sejauh ini hanya Rufio yang tahu tentang batu itu, dan Piri tak bermaksud membuatnya diketahui lebih banyak orang. "Memang akan lama perjalanannya, makanya kami membawa roti yang lumayan banyak. Tapi kami pasti berhati-hati."

"Mari kita berdoa, supaya kita semua selamat," Kasen berkata.

Mereka semua berdoa, kecuali tiga anak dari Dunia Mangkuk, yang belum paham apa itu doa dan kepada siapa mereka harus berdoa. Setelah itu mereka berpisah.

Piri, Yara dan Tero menembus padang rumput, lalu menyusuri hutan yang dulu pernah mereka lewati dalam gelap. Kali ini tanpa banyak berkata-kata, dan lebih waspada, karena mereka tak ingin bertemu dengan Pak Jenasin yang rumahnya ada di sekitar situ. Setiap mendengar bunyi yang mencurigakan mereka bersembunyi di balik pepohonan atau belukar. Kemudian, suara gemerisik terdengar. Anak-anak bersembunyi di balik semak dan mengintip. Jantung berdebar-debar. Mereka berharap itu bukan Pak Jenasin.

Suara gemerisik semakin dekat. Sesuatu menyembul dari balik semak. Kepala hewan berbulu putih kelabu. Hewan yang kini seolah tersenyum kepada mereka.

"Rubah putih!" Piri berseru girang.

Rubah itu menyalak dan menggoyang-goyangkan ekor tebalnya.

Piri menepuk-nepuk kepalanya. "Kita bertemu lagi! Sudah kuduga, dia memang selalu mengawasi kita. Menjaga kita!"

"Mungkin kamu bisa bertanya, kenapa dia dulu meninggalkan kita saat mau pergi ke Rumah Merah," tukas Yara.

"Ya, kenapa dulu meninggalkan kami?" tanya Piri pada rubah itu.

Si rubah menyalak, lalu menunduk, seolah malu.

"Mungkin dia takut pada sesuatu," Yara berkata.

"Takut?" Tero mengerutkan dahi.

"Kalian ingat, setelah dia pergi, apa yang kemudian muncul?"

Piri mengingat-ingat. "Gagak?"

Yara mengangguk. "Rubah ini takut padanya."

"Memangnya gagak itu bisa menggigitnya?" tanya Tero.

"Dia tahu gagak itu peliharaan Kapten Morat. Seperti kata Rufio, batu itu mungkin dulu milik Penyihir Merah. Tapi Rubah Putih mau kita yang memegangnya. Dia tidak suka pada mereka, sekaligus juga takut. Itulah kenapa dia lari begitu gagak itu datang."

Piri termangu. "Aku tak berpikir sampai ke sana ..."

Si rubah putih menyalak.

"Kelihatannya dia setuju." Piri nyengir.

"Sekarang apa?" tanya Tero. "Dia mau mengantar kita ke gua?"

"Tentu saja," kata Piri yakin. "Betul, kan? Kau mau mengantar kami ke mulut gua? Lewat jalan pintasmu?"

Si rubah menyalak. Setelah itu dia berbalik dan berlari melompati semak semakin dalam ke hutan, menjauh dari jalan setapak. Piri, Yara dan Tero mengikuti.

Untunglah perjalanan mereka ternyata aman-aman saja. Saat sore mereka tiba di tepi sungai. Mereka berdiri di samping pohon teropiriyaraint yang buahnya dulu membuat mereka tertidur. Di seberang sungai, di kaki pegunungan yang menjulang tinggi, ada lubang gelap tempat air mengalir keluar. Ketiga anak lega.

"Sebentar lagi kita pulang!" seru Piri.

"Mau beristirahat dulu?" tanya Tero.

"Jangan," kata Yara. "Sebaiknya kita cepat masuk ke gua dan terus menyusuri sungai. Kita beristirahat di dalam saja."

"Benar," Piri setuju. "Di sini Pak Jenasin bisa menemukan kita."

"Ya sudah." Tanpa ragu Tero melompat ke sungai dan berenang ke arah mulut gua. Yara dan Piri hendak menyusul, tetapi si rubah menyalak di samping mereka.

Piri memandanginya. "Kamu tidak ikut?"

Rubah putih diam saja.

"Dia tidak ikut," Yara yang menjawab.

"Tampaknya dia sedih karena akan berpisah dengan kita," kata Piri sambil menepuk-nepuk kepala rubah putih itu.

"Aku juga sedih."

"Aku juga. Ia sudah banyak menolong."

"Tapi mungkin kita nanti akan bertemu lagi dengannya," kata Yara. "Seperti dengan anak-anak lain, kita mungkin akan bertemu mereka lagi!"

"Betul. Bergembiralah!" Piri tersenyum lebar.

Rubah putih itu menyalak, kini lebih riang.

"Sampai jumpa." Piri dan Yara menceburkan diri ke sungai, lalu berenang menyusul Tero. Tero melambaikan tangan pada si rubah putih, kemudian memasuki gua yang gelap.

Piri mengeluarkan batu dari dalam kantong. Dalam gua batu itu mengeluarkan cahaya merah ke segala penjuru. Penuh semangat anak-anak berjalan di dasar sungai yang dangkal dan terus masuk ke dalam.

Mereka berjalan cukup jauh, hingga tak tahu apakah sudah malam atau belum. Yang jelas setelah beberapa lama perut mereka lapar dan tubuh pun lelah, jadi anak-anak kemudian berhenti. Baju-baju yang basah dilepaskan agar tubuh mereka tidak kedinginan. Di atas batu besar ketiganya lalu beristirahat dan memakan roti, dan akhirnya tertidur.

Ketika bangun mereka melanjutkan perjalanan. Terus menyusuri sungai. Lama setelah itu, di sebelah kiri mereka melihat mulut gua lainnya, tempat mereka dulu keluar dari lorong tempat si makhluk bermata hijau tinggal.

Tero berkata ragu, "Kamu yakin, Piri, mau terus menyusuri sungai? Apa tidak lebih baik masuk saja ke lorong itu supaya kita bisa kembali ke rongga tempat kita dulu jatuh?"

"Kita sudah tahu takkan bisa keluar dari rongga itu," balas Yara.

"Betul, jangan ke sana lagi." Piri mengangguk. "Tetapi, sebenarnya aku senang kalau bisa bertemu laki-laki bermata hijau itu lagi."

"Kita jangan membuang waktu," tukas Yara.

Ketiganya melanjutkan perjalanan. Sejauh ini sungai masih cukup dangkal sehingga tidak ada masalah. Setelah lapar dan lelah mereka lalu beristirahat lagi di atas sebuah batu besar. Yara dan Tero berbaring, membiarkan diri mereka terlelap. Sebenarnya Piri ingin juga tertidur nyenyak seperti mereka, tapi ternyata tidak bisa, walaupun ia sudah membuka bajunya yang basah.

Untungnya, kesadarannya itulah yang menolongnya. Dalam kondisi setengah tidur ia mendengar bunyi kecipak air dari arah sungai yang sebelumnya mereka lewati. Awalnya ia mengira itu suara ikan yang berlompatan, tetapi perasaannya mengatakan lain.

Ada orang lain di dalam gua, selain mereka bertiga.

Piri tersadar. Yang pertama kali terbayang di benaknya adalah si makhluk hijau yang datang mendekati mereka, dan karenanya ia meraih batu dari dalam kantongnya, langsung mengarahkannya ke arah sungai yang tadi mereka lewati. Cahaya merah memancar, menyilaukan mata. Terdengar teriakan tertahan.

Piri melihat, masih cukup jauh dari mereka, sesosok laki-laki jangkung berdiri di tengah sungai. Ia terkesiap.

"Yara! Tero! Bangun! Ada Tuan Rodik mengejar kita!"

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now