Bab 30 ~ Rumah Pohon

46 29 1
                                    

Yara menoleh sebentar ke arah Piri. Karena Piri diam saja, Yara lalu menjelaskan pada Rufio bahwa dia dan Piri berasal dari Dunia Mangkuk. Setelah melewati sungai di bawah pegunungan mereka sampai di Mallava, di mana mereka bertemu dengan banyak orang.

Tetapi dari semua cerita itu, hanya satu hal yang kemudian benar-benar menarik perhatian Rufio.

"Kalian tahu dari mana semua anak itu berasal?"

"Aku dari Suidon," jawab Kaia. "Yang lain ada yang dari Mallava, Frauli, Darkur, Kalani—"

"Kalani?"

"Ya. Pofel. Dia dari Kalani."

Rufio menatap Kaia tanpa berkedip. "Seperti apa dia?"

"Dia cukup tinggi. Rambutnya berwarna cokelat. Suaranya agak serak. Ia punya bekas luka di pipi kiri. Alisnya tebal dan matanya ... tajam, seperti ..." tiba-tiba Kaia tertegun, "kamu."

Piri dan Yara menoleh, dan tiba-tiba Piri menyadari bahwa memang ada kemiripan di antara wajah Rufio dan Pofel.

Namun Piri belum mengerti kenapa Kaia harus kaget. Di Dunia Mangkuk ada cukup banyak anak-anak yang memiliki wajah mirip, dan rasanya tidak ada yang aneh dengan hal semacam itu.

Kaia berkata, "Apakah Pofel itu adikmu?"

"Adik?" tanya Piri bingung.

Kaia menoleh padanya, juga ke Yara yang sama bingungnya.

"Kalian tidak tahu apa itu adik?" Tanya Kaia.

"Tidak." Piri menggeleng.

Kali ini Kaia yang kebingungan. "Kalau Pofel adiknya, berarti Rufio ini kakaknya. Mereka punya ayah dan ibu yang sama. Ini namanya hubungan keluarga. Kalian tidak tahu?"

Piri terdiam, demikian juga Yara. Walaupun sudah dijelaskan, Piri masih tetap belum mengerti apa sebenarnya ayah, ibu, kakak dan adik ini, dan apakah hubungan-hubungan keluarga ini lebih penting dibanding hubungan antara ia, Yara atau Tero, misalnya. Atau dengan semua anak-anak di Dunia Mangkuk.

"Jadi, kamu kakak Pofel?" Yara bertanya pada Rufio, seolah-olah sudah paham apa yang dimaksud dengan kakak.

Rufio mengangguk. "Sepertinya ... benar ... itu Pofel adikku."

"Apa yang terjadi?" tanya Kaia. "Kalian terpisah? Pofel tak pernah cerita soal ini!"

"Sebenarnya aku juga malas bercerita soal itu," kata Rufio. "Tetapi yang bisa kukatakan adalah aku benci semua orang yang membuat kami berdua terpisah."

Ketiga anak lainnya terdiam, untuk beberapa lama tak ada yang berani bertanya lebih lanjut. Piri menelan pelan-pelan potongan terakhir rotinya.

Rufio menatapnya.

"Aku harus ke rumah itu," kata Rufio. "Kau harus mengantarku ke sana."

"Aku tidak tahu jalannya," jawab Piri. "Di kereta tadi aku cuma bersembunyi di dalam bagasi."

"Kita bisa ikuti jalan batu yang kita lewati," sahut Kaia sambil tersenyum bangga. "Aku masih ingat apa yang kulihat."

"Tetapi kamu mau apa?" tanya Yara pada Rufio. "Membawa Pofel kabur? Tidak akan mudah, apalagi jika Tuan Bumer sudah menceritakan kejadian tadi kepada Nyonya Kulip. Mereka pasti lebih waspada sekarang."

"Dan mungkin Nyonya Kulip akan memanggil Tuan Rodik lagi." Kaia bergidik.

"Jika mau mendatangi Rumah Merah, kenapa kamu tidak meminta bantuan Tuan Bartok?" sambung Piri.

Rufio menggeleng. "Aku tak yakin ia mau membantu. Bartok selalu menghitung untung rugi jika mau melakukan sesuatu. Jika menurutnya pergi ke Rumah Merah tidak akan memberikan keuntungan apa-apa, dia tidak akan pergi. Lagipula dia sudah punya rencana sendiri."

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now