Bab 43 ~ Angin Kencang

38 24 0
                                    

Anak-anak meluncur di sungai, berenang ke tepian, lalu cepat-cepat naik.

Piri duduk sejenak, mengatur napasnya sambil mengamati mulut gua di seberang sungai. "Kita harus terus lari ... sejauh mungkin."

"Ke mana?" tanya Yara.

"Ke Jampa, mungkin, lalu ke Kalani. Ikut Kasen dan yang lain."

"Tidak pulang ke dunia kita?" Tero meringis sedih.

"Nanti kita punya kesempatan lagi."

Yara akhirnya mengangguk. "Aku setuju."

"Tetapi aku tidak."

Ketiga anak terperanjat mendengar suara lain yang datang dari belakang. Mereka menoleh. Seorang laki-laki bertubuh besar berdiri sambil berkacak pinggang. Pak Jenasin.

Serta merta ketiga anak menjerit dan bersiap kabur. Dengan cepat kedua tangan Pak Jenasin menangkap Tero dan Piri. Melihat keduanya tertangkap, Yara hanya bisa gemetar.

"Nah, nah, jangan lari lagi, anak-anak." Pak Jenasin tertawa jahat. "Apa tidak lelah? Kalian sudah berlari terlalu banyak."

Awalnya Piri terus berusaha memberontak, tetapi kemudian ia termenung. Lelah? Ya, mungkin dia benar, katanya dalam hati. Mereka sudah sangat lelah, dan harus menyerah pada akhirnya.

Piri berhenti meronta, dan Tero pun mengikutinya.

"Nah, begitu lebih bagus. Sekarang kita tunggu Tuan Rodik," kata Pak Jenasin. "Apa yang dilakukannya di dalam sana? Ia sampai bisa dibodohi kalian?"

Anak-anak tak menjawab. Piri tak mau bilang bahwa di dalam sana Tuan Rodik berkelahi dengan seorang laki-laki yang tinggal di gua. Ia hanya menunggu dengan cemas, berharap makhluk bermata hijau itu bisa mengalahkan Tuan Rodik.

Cahaya merah tampak dari dalam gua, lalu meredup dan hilang sama sekali begitu sampai di luar. Harapan Piri tak terwujud.

Tuan Rodik muncul dengan napas terengah-engah. Batunya sudah ia sembunyikan. Ia menatap ketiga anak yang berada dalam cengkeraman Pak Jenasin, lalu berenang menyeberangi sungai.

"Sedang membuang-buang waktumu?" sindir Pak Jenasin begitu Tuan Rodik sampai di tepian.

"Diam!" balas Tuan Rodik. "Seseorang menyerangku. Tetapi dia takkan mengganggu kita lagi." Ia menyeringai bengis ke arah ketiga anak.

"Sudah hampir tengah hari," tukas Pak Jenasin. "Jika lebih lama lagi, kita nanti baru bisa bertemu pembayarmu setelah petang."

"Aku tahu! Kita ke rumahmu sekarang."

Piri melirik. Yara dan Tero sudah lesu dan kehilangan semangat.

Ia menghela napas. Apakah mereka benar-benar tak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang? Sepertinya ... ya.

Piri sadar, tampaknya mereka memang masih terlalu kecil dan lemah untuk menghadapi kelicikan dan kekuatan orang-orang dewasa di dunia asing ini.

Setelah mendaki satu bukit mereka sampai di rumah Pak Jenasin. Di samping rumah berdinding kayu itu tertambat gerobak milik Tuan Rodik. Kudanya meringkik begitu melihat kedatangan mereka.

Tuan Rodik mengambil segulung tali dari gerobaknya, yang pasti akan digunakan untuk mengikat tangan ketiga anak. Yara menangis melihatnya.

Tiba-tiba Tuan Rodik tertegun. Sepertinya ia mendengar sesuatu dan berbalik cepat memandang deret pepohonan yang ada tak jauh dari rumah itu. Ia langsung lari, hendak meraih Yara yang berdiri di samping Pak Jenasin.

Suara menggeledek terdengar.

"Berhenti di tempatmu, Huter!"

Seseorang—Kapten Morat—keluar dari balik dinding rumah, ditemani dua orang prajurit. "Atau kau akan langsung merasakan anak panah menancap di jantungmu."

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now