Bab 61 ~ Waspada Apanya?

31 22 0
                                    

Bermain bola ternyata mirip permainan di Dunia Mangkuk yang biasa dimainkan Piri bersama teman-temannya, di mana ada dua kelompok yang saling bertanding. Bedanya di Dunia Mangkuk mereka menggunakan tangan dan melemparkan buah-buahan ke tubuh lawan sampai lawannya itu berlumuran cairan buah di sekujur tubuh. Di sini mereka menendang bolanya dengan kaki, lalu mengopernya ke teman satu kelompok.

Masing-masing kelompok berusaha memasukkan bola ke dalam kotak kayu bolong milik lawan yang terletak jauh di depan. Siapa yang memasukkan bola lebih banyak, maka itulah kelompok yang menang.

Awalnya Piri canggung dan tak mampu bergerak dengan baik, tapi setelah beberapa lama ia mulai lihai memainkan bola di kakinya, terbantu oleh gerakannya yang lincah dan gesit melebihi anak-anak lain.

Ia semakin gembira, bahkan mulai lupa untuk apa ia bermain.

Untungnya, Yara tidak lupa. Selama Piri bermain Yara berhasil mengajak bicara seorang anak perempuan yang ikut menonton di pinggir lapangan. Piri melirik sejenak, akhirnya teringat, dan ia pun mengangguk senang.

Saat hari semakin sore anak-anak berhenti. Mereka bubar dan berlarian pergi, berteriak bahwa mereka akan pulang.

Akhirnya tinggal Taris yang menemani Piri dan Yara di lapangan itu.

"Kamu tidak pulang?" tanya Piri.

"Nanti saja. Aku bosan di rumah. Begitu pulang aku pasti disuruh macam-macam oleh ibuku. Aku lebih suka di sini. Ini, aku punya beberapa daging dan buah-buahan."

Piri dan Yara menolak potongan daging yang ditawarkan, tapi dengan senang hati menerima buah-buahannya. Di tepi lapangan sepi itu mereka makan dengan gembira.

Taris bertanya, "Terus kalian mau ke mana?"

Yara yang lebih dulu menjawab, "Kudengar Ridone tak jauh dari sini, ya? Itu kota yang bagus?"

"Ridone?" Dahi Piri berkerut. Ia belum pernah mendengar nama itu. Yara pasti tahu dari pembicaraannya di tepi lapangan tadi.

Namun Piri mengangguk-angguk dan menyambung, berpura-pura mengerti. "Oh ya, Ridone. Di mana itu?"

"Dua atau tiga hari perjalanan, dan tentu saja Ridone lebih bagus dan lebih besar daripada Buirine. Karena itu ibukota Suidon ..." jawab Taris, yang kemudian merengut kesal, "dulu, sebelum Suidon dikalahkan orang-orang Mallava sialan."

"Kamu benci orang Mallava?" tanya Yara.

"Semua orang Suidon pasti benci." Taris menatap sebal ke arah rombongan prajurit yang melintasi jalan besar, jauh di depan mereka. "Tidak semua, tapi kurasa sebagian besar."

"Memangnya apa yang dilakukan orang-orang Mallava?"

"Mmm ... mereka jahat. Ayahku sering kesal dan marah pada mereka, tentu saja diam-diam. Aku kurang tahu kenapa." Taris tak menjelaskan, dan balik bertanya. "Kalian mau ke Ridone? Buat apa?"

Yara mengangguk yakin. "Kami punya beberapa teman, dan tadi Nana bilang ia sepertinya melihat mereka pergi ke sana beberapa hari yang lalu. Jadi lebih baik kami ke sana juga."

"Nana?" Taris tampak tidak yakin. "Mmm ... dia ... belum tentu dia melihat teman kalian itu. Dia sering melebih-lebihkan sesuatu. Kalian yakin, benar-benar mau pergi ke sana?"

"Ya ... sore ini," Yara menjawab.

"Sebaiknya besok pagi saja. Malam ini kalian menginap di rumahku. Ibuku akan senang menerima kalian."

Piri dan Yara tersenyum. Sepertinya itu tawaran yang bagus. Keduanya setuju. Piri benar-benar senang karena mereka telah berhasil menemukan orang-orang baik yang bisa menerima mereka, dan kelihatannya bisa mereka percayai di kota ini.

Taris mengajak mereka melewati jalanan naik turun yang ramai. Mereka sampai di depan sebuah rumah kecil di pinggir kota.

"Kalian tunggu di sini. Biar aku bicara dulu pada ibuku."

Setelah Taris masuk ke rumahnya, kedua anak dari Dunia Mangkuk kembali saling memandang.

"Kelihatannya semua baik-baik saja," kata Yara dengan wajah berseri. "Suidon lebih banyak orang baiknya, tidak seperti di Mallava."

"Iya, mudah-mudahan tetap seperti itu sampai ke Ridone."

Sayangnya, sesaat kemudian, harapan keduanya hancur seketika.

Tidak semuanya berjalan baik.

Mendadak baju mereka dicengkeram dari belakang. Sebelum Piri dan Yara sempat berteriak, suara berat terdengar begitu dekat, berbisik.

"Jangan berteriak, anak-anak, atau aku akan melakukan sesuatu yang buruk, yang menyakitkan. Aku punya pisau."

Wajah laki-laki bertubuh besar muncul di antara Piri dan Yara. Berpipi tembam, dengan rambut tak terurus di sekitar rahang. Piri tak begitu mengenal wajah itu, tapi ia ingat suaranya. Dia Brok, laki-laki bersuara berat yang didengarnya malam-malam di Oberta.

Dengan mudah laki-laki itu menggendong kedua anak seperti membawa keranjang buah, membawa mereka pergi secepatnya dari depan rumah Taris.

Cengkeraman Brok cukup menyakitkan, sehingga Piri yakin laki-laki itu benar-benar serius akan menyakiti mereka jika mereka berani berteriak. Sambil berjalan Brok berkali-kali menoleh ke kiri atau ke kanan seperti mencari sesuatu, lalu akhirnya berhenti di sebuah jalanan sepi di pinggir kota.

Di sana ia menurunkan Piri dan Yara sambil menyeringai.

"Kamu ... mau apa?" tanya Piri gugup. Sebenarnya ia sudah tahu jawabannya, tapi ia tetap harus meyakinkan diri.

"Kalian. Aku menginginkan kalian." Brok berjongkok di depan mereka. Laki-laki itu melihat Piri dan Yara yang tubuhnya gemetar, lalu menyeringai. "Kalian dari Frauli, kan?"

"Kami datang dari pegunungan!" bantah Piri.

Brok mendengus. "Kalian dari Frauli. Aku punya naluri bagus, dan jarang salah," ia menyombong. "Kalian anak-anak yang dicari orang-orang itu. Tampang kalian cocok."

"Memangnya siapa yang mencari kami?"

"Kalian lihat sendiri nanti. Sebentar lagi dia datang."

Piri dan Yara makin ketakutan.

Tuan Rodik? Dia akan datang sebentar lagi?

"Sementara kita menunggu, aku bisa makan." Brok duduk dan mengeluarkan sepotong roti yang lebarnya sekepala anak-anak dari balik bajunya, juga sekantong kecil minuman.

"Gara-gara kalian, aku jadi belum makan," kata Brok. "Bisa kurus aku nanti seperti Grin! Huh! Untung aku orang yang pandai dan beruntung, bisa menemukan kalian secepat ini. Aku punya pemberi informasi yang bagus, dan aku juga seorang yang sigap dan waspada, jadi—"

Belum selesai kata-katanya, suara keras terdengar dari atas batok kepalanya, saat kepalanya terhantam sesuatu. Brok tak sempat bereaksi sedikit pun. Ia hilang kesadaran. Seketika tubuh besarnya tumbang ke tanah.

Di belakangnya muncul seseorang dengan tongkat kayu besar tergenggam di kedua tangan. Piri mengenalnya dengan sangat baik. Dia seorang anak remaja, yang kuat dan berani, tapi seingat Piri memang tak pernah ragu memukul kepala orang dari belakang secara tiba-tiba.

"Rufio? Rufio!" serunya gembira.

"Huh! Waspada apanya?" Rufio mengejek laki-laki besar yang pingsan itu sambil melempar kayu di tangannya.

"Rufio! Bagaimana kau bisa ada di sini?" tanya Yara dengan mata berbinar cemerlang.

"Aku bisa balik bertanya hal yang sama pada kalian," jawab Rufio ketus. "Kalian selalu membuat diri kalian dalam bahaya. Kenapa kalian kemari?"

Piri dan Yara saling berpandangan, ragu. Apa Rufio bisa menerima jika alasan mereka datang ke Suidon hanya untuk bertemu dengan teman-teman mereka? Itu alasan yang terlalu remeh jika dibandingkan dengan resikonya yang begitu besar. Mungkin akan lebih baik jik mereka bilang bahwa mereka diculik oleh grayhayr.

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now