Bab 71 ~ Sepuluh Cahaya Hijau

27 21 0
                                    

"Tapi, Piri ..." Yara masih ketakutan. "Bagaimana kalau nanti ..."

Piri tersenyum lebar, berusaha menenangkan. "Tidak apa-apa. Aku saja yang masuk. Kamu nanti saja. Dan kalau tiba-tiba aku kesakitan, kalian bisa langsung menarik aku. Benar?"

"Aku akan langsung menarikmu secepatnya," tukas Rufio yang tampaknya tidak senang dengan ide tersebut.

"Betul." Tuan Karili dan keempat anak buahnya mengangguk.

"Hati-hati." Akhirnya Yara setuju.

Piri tertawa kecil. Sudah jelas ia takut. Ia tidak ingin kesakitan di dalam sana. Tuan Karili bisa tahan dengan rasa sakit karena dia sudah dewasa, tapi bagaimana dengan dirinya?

Namun Piri berusaha menghilangkan pikiran buruknya. Ia tahu harus mencoba ini. Bukan hanya demi membantu Tuan Karili dan pejuang-pejuang Frauli lainnya, tapi juga demi dirinya sendiri.

Ia dan Yara sudah lama menanyakan hal ini pada diri mereka sendiri, tentang siapa sebenarnya mereka, dan siapa orangtua mereka. Kini mereka bisa mendapatkan jawabannya di sini.

Rasa takut berganti dengan keingintahuan dan penasaran. Piri berusaha meyakinkan dirinya kalau ia tak perlu khawatir. Akan ada Rufio dan yang lainnya yang bisa menolongnya di belakang.

Piri menggenggam batang obor di tangan kirinya erat-erat, dan melangkah maju. Ia masuk ke dalam lorong. Satu langkah, lalu ia berhenti, menanti dengan jantung berdebar kencang.

Tidak terjadi apa-apa.

Benar, bukan? Tidak terjadi apa-apa?

Rasa takut memenuhi benaknya. Ia memejam, bersiap untuk sesuatu yang menyakitkan. Namun tak ada apa pun yang terjadi. Ia pun tersenyum lebar dan menoleh ke belakang.

"Berhasil! Aku tidak merasakan apa-apa!"

"Hebat, Piri! Hebat!" Semua orang bersorak.

"Yara, ayo, masuklah juga!" seru Piri.

Yara memandanginya. Anak perempuan itu masih ragu. "Tapi ... mungkin hanya kamu yang bisa, Piri. Aku tidak."

"Kita berdua bisa. Aku yakin."

"Bagaimana kamu bisa yakin?"

"Percayalah, tidak apa-apa," kata Piri sambil mengulurkan tangannya. "Aku tidak tahu bagaimana, tapi aku percaya."

Yara memandanginya, sebelum akhirnya mengangguk. "Baik, kalau kamu percaya, aku juga. Aku selalu percaya padamu."

Ia membalas uluran tangan Piri, menggenggam erat jemarinya.

Perlahan Yara mengangkat kaki kanannya, dan melangkah. Satu langkah, lalu kaki kirinya menyusul.

Tubuh Yara menegang, lalu gemetar. Matanya terpejam erat.

Piri terkejut, mengira Yara tengah kesakitan, dan cepat-cepat memeluknya. "Yara! Yara! Kenapa?"

Tetapi anak perempuan itu lalu membuka kelopak matanya, dan tubuhnya tak lagi menegang. Bibirnya bergetar, ia tersenyum.

"Aku bisa. Aku bisa!" serunya.

Kedua anak itu berpelukan dan melompat-lompat gembira. "Kita berhasil! Kita berhasil!"

Semua orang di belakang ikut bersorak. "Piri! Yara! Kalianlah para keturunan ksatria terpilih!"

"Aku sudah yakin dari awal!" seru Tuan Karili. "Kalian yang akan menyelamatkan kami! Kalian penyelamat negeri Frauli!"

Mendengar hal itu Piri malah menjadi gugup. Kegembiraannya menguap, berganti lagi dengan rasa takut. Ia melihat sejenak ke arah lorong gelap di depannya, lalu menoleh ke belakang lagi.

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now