Bab 22 ~ Rumah Merah

57 29 1
                                    

Lewat tengah hari mereka sampai di akhir perjalanan.

Tuan Rodik membawa gerobaknya melintasi jalanan lurus, menyeberangi tanah lapang luas berumput, sebelum berhenti di depan sebuah bangunan.

Piri dan kedua temannya terpana.

Bangunan yang baru mereka lihat itu sedemikian besarnya hingga membuat ketiganya takjub. Berdinding batu, terbentuk rapi dan beratap kayu, hampir semuanya berwarna merah. Lebarnya mungkin seratus langkah, sementara tingginya menyamai tinggi pohon allumint.

Kotak-kotak mendatar pada dindingnya terbuka sebagian. Satu deret di bagian atas dan satu deret di bawahnya, menampakkan sekilas ruangan-ruangan dalam bangunan itu.

Sepasang kotak yang paling besar terdapat di tengah bangunan, pada bagian bawah. Dari sana, begitu dindingnya terbuka, muncul seorang laki-laki. Dia kurus, tinggi, tidak sejangkung Tuan Rodik, tapi bajunya—Piri kini tahu apa yang dimaksud dengan baju—lebih rapi.

"Rodik, mau apa kau kemari?"

Sambutan laki-laki itu tidak menyenangkan. Ia bergantian menatap Tuan Rodik dan ketiga anak. Wajahnya tanpa ekspresi, tapi sorot matanya penuh curiga. "Siapa mereka?"

"Siapa—?" Raut kemarahan muncul seketika di wajah Tuan Rodik. "Kalian yang menyuruhku mencari anak-anak ini. Jangan main-main, Dulum!"

"Aku tidak main-main," jawab orang itu, yang rupanya bernama Dulum dan berarti oleh anak-anak harus ditambah panggilan Tuan atau Pak di depannya. "Ketiga anak yang kami cari sudah kami temukan, di hutan, tak jauh dari sini. Yang ini ..." Ia memandangi ketiga anak satu per satu. "... aku tidak tahu siapa mereka."

"Kalau begitu kenapa aku tidak diberitahu sejak awal?"

"Bukan salah kami kalau kami tak bisa menyampaikannya padamu. Kami sudah mengirim orang, tetapi kau sulit dicari."

Tuan Rodik menggeram marah. "Aku tak peduli! Aku sudah bekerja dan mengeluarkan uang untuk mendapatkan ketiga anak ini. Aku ingin bayaranku, utuh dan sekarang juga!"

Tuan Dulum menggeleng. "Kami tidak harus membayar untuk sesuatu yang tidak kami inginkan. Ini pelajaran untukmu, Rodik, lain kali seharusnya kau lebih berhati-hati dan tidak terburu-buru."

"Kurang ajar kau!" Tuan Rodik melangkah naik ke lantai berbatu. Ia mendekati si lelaki tua, dan mengancam, "Bayar aku, atau kalian semua akan menyesal!"

Tuan Dulum tetap berdiri tegak. Dibanding laki-laki kasar di depannya ia tampak lemah, tetapi anehnya ia tidak kelihatan takut.

Yang takut justru Piri dan dua anak lainnya, yang kini saling merapat. Ucapan keras dan kasar semacam kata-kata Tuan Rodik belum pernah mereka dengar selama hidup mereka, dan karenanya mereka takut bukan kepalang.

Bunyi berdentang tiba-tiba terdengar dari dalam rumah. Beberapa kali, tidak nyaring namun terdengar cukup jelas.

"Maaf, Tuan." Tuan Dulum buru-buru masuk, meninggalkan Tuan Rodik yang berwajah masam dan ketiga anak yang diam membisu.

Tak lama laki-laki kurus itu muncul lagi.

Dia berkata, "Nyonya bersedia menemui kalian. Ia mau melihat anak-anak ini. Tetapi, Rodik, kuperingatkan, jaga mulut dan tingkah lakumu."

"Tentu saja, aku tahu itu!"

Piri, Yara dan Tero berjalan mengikuti kedua laki-laki untuk menemui orang bernama Nyonya itu, masuk menyeberangi ruangan paling besar yang pernah mereka lihat seumur hidup. Atapnya tinggi memancarkan terang dari langit-langitnya, dan sepertinya ditopang empat buah tiang batu berwarna putih. Empat adalah jumlah yang terlihat.

Lantainya terbuat dari batu, berwarna kelabu, licin dan berkilat hingga anak-anak bisa melihat bayangan diri mereka di bawah sana. Dindingnya putih, sangat berbeda dengan dinding luar yang merah, dan penuh dengan gambar-gambar. Juga ada hiasan-hiasan kepala binatang, tidak hanya kuda, tetapi juga binatang lain yang mirip, lebih kecil namun bertaring tajam.

Awalnya ketiga anak bergidik, mengira itu asli, baru setelah beberapa lama dan melihat bahwa binatang-binatang itu tidak bergerak, mereka sadar bahwa itu hanya tiruan.

Ketika berjalan menyusuri koridor, suara-suara kecil berbisik terdengar dari samping kiri.

Piri melirik, dan melihat beberapa anak mengintip dari balik dinding yang terbuka. Yara dan Tero ikut terkejut. Itulah anak-anak pertama yang mereka lihat di luar Dunia Mangkuk! Mereka seperti ... ya seperti anak-anak biasa, hanya saja mengenakan baju-baju yang bersih.

Piri memberi mereka senyuman lebar.

Tetapi suara tajam Tuan Dulum terdengar.

"Kalian!" katanya pada anak-anak yang mengintip itu. "Masuk! Semuanya! Atau kupukul pantat kalian nanti!"

Saat berbicara tetap tak ada ekspresi marah di wajah Tuan Dulum. Tetapi kata-katanya cukup untuk menebarkan ketakutan. Anak-anak itu menghilang secepat mereka muncul.

Setelah memastikan semuanya pergi, Tuan Dulum berbalik dan mengetuk dinding kayu di sebelah kanan.

"Ya." Suara seseorang terdengar. "Masuk."

Tuan Dulum menarik semacam pegangan pada dinding, dan mendorongnya hingga dinding itu terbuka. Tuan Rodik membuka penutup kepalanya dan masuk ke dalam ruangan, disusul ketiga anak.

Seorang perempuan bertubuh kurus berdiri tegak di depan mereka.

Dari kerut-kerut di wajahnya yang mirip Kakek, sepertinya dia sudah cukup tua. Bajunya rapi berwarna biru muda, di lehernya tergantung batu-batu mungil berwarna putih cemerlang. Sorot matanya tajam, hidungnya mancung dan ia memandang dengan dagu terangkat.

Tuan Dulum membungkuk padanya, sementara Tuan Rodik mengangguk sambil tetap tersenyum masam.

Selama beberapa saat semua terdiam. Tuan Dulum dan Tuan Rodik tampaknya membiarkan perempuan tua itu menggunakan waktunya untuk mengamati ketiga anak satu per satu.

Si perempuan tua kemudian berkata dengan suara tegas, "Tuan Dulum, kau belum tahu siapa anak-anak ini?"

Tuan Dulum menjawab, "Belum, Nyonya."

"Anda juga, Tuan Rodik, tidak tahu?"

"Nyonya Kulip, setahuku mereka ini anak-anak dari Rumah Merah, makanya aku membawa mereka kemari. Mungkin ternyata aku salah, tetapi tetap saja aku sudah melakukan tugasku, dan berarti wajar jika aku mendapatkan bayaran."

"Uang bukan masalah, Tuan Rodik," balas Nyonya itu, yang Piri yakin pasti bernama Kulip dan di depannya ditambahkan Nyonya, mungkin karena dia perempuan dan bukan laki-laki. "Tetapi bukan berarti aku harus menerima mereka di rumahku."

"Apa maksudmu, Nyonya?"

"Anda bisa membawa mereka lagi."

Tuan Rodik mendengus. "Aku punya urusan lain, lebih penting, dan aku tidak suka anak-anak. Aku tidak mau membawa mereka! Begini, Nyonya Kulip, aku butuh uangku. Semakin cepat urusan ini selesai, segalanya akan semakin baik buat kita semua."

Nyonya Kulip menatap dingin laki-laki itu, lalu menoleh. "Tuan Dulum, ambil uangnya dan berikan pada Tuan Rodik. Setelah itu, Tuan Rodik, Anda boleh pergi."

Kedua laki-laki itu keluar untuk menyelesaikan urusan mereka.

Piri dan kedua anak lainnya berdiri di sudut ruangan. Nyonya Kulip memunggungi mereka, lalu berdiri tegak memandang keluar rumah melalui lubang berbentuk kotak di dinding yang dua helai penutupnya terbuka lebar.

Piri punya banyak pertanyaan, tetapi perempuan tua itu sepertinya masih menjaga jarak dan belum mau berbicara langsung pada Piri, Yara dan Tero.

Tak lama Tuan Dulum masuk lagi, dan menyampaikan bahwa Tuan Rodik sudah pergi dengan kuda dan gerobaknya.

Nyonya Kulip mengangguk. "Bagus. Untuk sementara aku tak ingin berurusan lagi dengannya." Ia menoleh, memandangi ketiga anak bergantian.

"Sekarang, Tuan Dulum, urus mereka. Katakan, mulai sekarang mereka harus mengikuti aturan-aturanku. Aku sudah mengeluarkan uang yang tidak sedikit, dan untuk itu mereka harus menunjukkan, bahwa mereka memang berharga."

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang