Bab 81 ~ Memanjat Tebing

27 22 0
                                    

Melihat Piri dan Yara yang ketakutan, Tuan Karili tertawa. "Kita tidak akan menyeberang di sini. Kita naik dulu, baru menyeberangi sungai di atas air terjun. Tidak perlu takut."

Baiklah, pikir Piri, tapi memang bagaimana caranya mereka naik ke atas? Di sisi air terjun itu ada tebing batu yang lumayan curam. Apakah mereka semua harus memanjat tebing itu?

Ternyata jawabannya benar begitu! Tuan Karili mengajak mereka pergi ke dekat tebing, dan berkata pada Piri, Yara dan Rufio sambil menyeringai.

"Kalian pernah memanjat tebing?"

Awalnya Piri ragu, tapi lalu teringat, ia pernah memanjat tebing di dalam gua yang berisi banyak kupu-kupu bintang.

Tanpa ragu ia menjawab, "Aku dan Yara pernah."

"Benarkah?" Kedua alis tebal Tuan Karili terangkat.

"Ya," jawab Yara tak mau kalah. "Kami bisa memanjat pohon dan tebing. Tapi ... bukan yang setinggi ini ..."

"Itu berbahaya. Lebih baik kalian tetap digendong saja."

"Aku bisa memanjat sendiri, kalau merepotkan buat kalian," kata Piri.

"Merepotkan? Cepat naik ke punggungku!" Parid berjongkok di depan Piri, dan menoleh. Koram, yang tak pernah berbicara, entah pendiam atau memang tak bisa bicara, berjongkok pula di depan Yara, menyuruh anak itu naik ke punggungnya.

"Kau, Rufio?" tanya Tuan Karili. "Kau bisa memanjat?"

Anak laki-laki itu menjawab ketus, "Aku juga bisa."

Tuan Karili mengangguk, walaupun tampak sedikit ragu. "Kau memanjat setelah aku. Lihat pijakanku. Memang lebih bagus dan aman kalau kita punya tali, sayangnya kita tidak punya."

Tuan Karili menentukan urut-urutan yang akan naik. Parid yang pertama, dengan menggendong Piri. Lalu Koram bersama Yara. Setelah itu Tuan Karili, Rufio, Duran dan terakhir Morav.

Mereka mulai memanjat. Piri memeluk erat-erat leher kokoh Parid dari belakang, sementara kedua kakinya mengapit perut laki-laki itu. Ia tak berani menoleh ke belakang atau ke bawah, melihat dasar air terjun yang jauh namun mengerikan dengan hempasan air yang tak henti-hentinya menimbulkan suara gemuruh. Sebisa mungkin ia menatap ke depan atau ke atas, seraya berharap mereka semua bisa cepat sampai di atas air terjun.

Parid memanjat dengan gerakan lambat. Ia sangat berhati-hati dalam memilih celah-celah tebing yang bisa dipegang atau diinjak. Lama kemudian baru mereka sampai.

Piri turun dari gendongan Parid dan menatap air sungai yang mengalir deras tak jauh di sampingnya. Kembali ia berpikir, bagaimana caranya mereka nanti menyeberangi sungai deras tersebut.

Menyusul selanjutnya adalah Koram. Sama seperti Piri, Yara tak mau menoleh ke belakang atau ke bawah. Dia bahkan lebih banyak membenamkan kepalanya ke punggung Koram. Mirip Parid, Koram memanjat dengan lambat. Tanpa kesalahan ia mengikuti celah-celah yang sebelumnya dipakai oleh kakaknya. Setelah beberapa lama mereka sampai di atas. Begitu turun dari punggung Koram, Yara langsung tertawa lebar dan memeluk Piri.

"Kurasa benar!" seru Yara. "Lebih baik aku digendong tadi. Kalau aku sendiri yang memanjat aku tidak akan kuat."

"Iya. Terima kasih, Tuan," kata Piri pada Parid dan Koram.

Parid membalas, "Kalau semua sudah naik baru kita bisa senang. Aku takut pasukan Mallava sudah mulai mencari kita."

Piri memandang jauh ke arah hutan hijau yang terhampar luas. Bukit tempat Kastil Frauli tampak di kejauhan, dan sepertinya benar, para prajurit Mallava sudah turun dari bukit dan memasuki hutan.

Piri melongok ke bawah tebing, berharap cemas semoga Rufio dan tiga laki-laki di bawahnya bisa segera naik.

Berikutnya giliran Tuan Karili. Laki-laki itu memanjat, dan karena tidak membawa beban, dia bisa naik lebih cepat dibanding Parid maupun Koram, dan tak lama berhasil sampai di atas.

Di bawahnya Rufio mengikuti. Sesuai perintah Tuan Karili, anak itu memanjat di setiap celah yang ditinggalkan Tuan Karili. Satu dua kali Rufio sempat tergelincir, tetapi untunglah ia bisa bertahan.

"Hati-hati!" seru Parid. "Injak yang itu! Pegang yang itu! Bagus!"

Pada akhirnya Rufio berhasil naik walau dengan susah payah. Begitu sampai di atas ia tergeletak kelelahan. Piri dan Yara segera menariknya menjauh dari bibir tebing.

Rufio hanya bisa tersenyum lemah dengan napas tersengal.

Tiba-tiba Koram menunjuk ke arah hutan. Dari sana terdengar suara-suara orang yang terbawa oleh angin.

"Cepat!" seru Parid berseru pada Duran dan Morav yang masih berada di bawah tebing. "Prajurit Mallava sudah ada di hutan!"

Piri merangkak ke pinggir tebing dan melongok. Duran sudah memanjat hingga separuh jalan, tetapi Morav baru mulai.

Semua cemas, seiring dengan semakin jelasnya suara-suara musuh.

Duran akhirnya berhasil sampai di atas. Sementara Morav masih berada di tengah dinding tebing. Saat itulah, tiba-tiba seorang prajurit Mallava muncul dari balik pepohonan. Awalnya prajurit itu tertegun melihat Morav yang masih memanjat, lalu cepat-cepat berbalik lagi masuk ke dalam hutan untuk memanggil teman-temannya.

"Morav!" seru Tuan Karili. "Mereka datang! Cepatlah!"

Sebagai balasannya, Morav memaki sambil memanjat.

"Lindungi dia!" seru Tuan Karili pada yang lain. "Ambil batu! Kalau para prajurit muncul, lempari dengan batu!"

Panik, Piri berlari ke tepi sungai dan mencari batu-batu yang bisa ia lempar. Yang lainnya ikut mencari. Setelah mendapat cukup banyak batu mereka kembali dan menunggu di pinggir tebing dengan tegang.

Sebentar lagi Morav sampai, tetapi saat bersamaan beberapa prajurit Mallava muncul dari balik pepohonan. Dan pasti jumlahnya ada lebih banyak di belakang mereka. Seseorang yang tampaknya merupakan komandan berseru di bawah sana, "Serang!"

Barisan prajurit Mallava maju mendekati tebing dengan tangan terangkat memegang tombak.

"Lempar!" Tuan Karili berseru.

Segera Piri dan semua rekannya melemparkan batu-batu di tangan mereka. Sebagian meleset, tetapi sebagian mengenai tubuh dan kepala para prajurit Mallava sebelum mereka sempat melempar tombak. Tak mau memberi mereka kesempatan, Tuan Karili terus menyuruh Piri dan yang lainnya untuk terus melempar.

Batu-batu mereka terbatas. Setelah serangan itu reda para prajurit yang ganti melemparkan tombak. Untunglah Morav berhasil naik tepat pada waktunya. Dua buah tombak menghantam dinding tempat ia sebelumnya berada, merontokkan tanah dan bebatuan di sana.

Tuan Karili dan yang lainnya cepat-cepat mundur. Piri menarik Yara, sementara ia sendiri ditarik oleh Rufio.

"Lari! Lari!" seru Tuan Karili.

Seluruh rekannya segera bangkit dan lari menjauhi tebing, menyusuri tepian sungai. Piri dan Yara yang paling lambat karena langkah mereka kecil, jadi merekalah yang paling dekat dengan beberapa tombak yang berhasil melayang naik melewati tebing dan jatuh tak jauh di belakang mereka.

Suara-suara tombak yang menancap di tanah itu begitu mengerikan! Piri bergidik ngeri membayangkan jika tubuhnya sampai terkena tombak.

Rufio yang sadar kalau Piri dan Yara masih tertinggal cepat-cepat kembali dan menarik keduanya. Mereka mengikuti Tuan Karili dan keempat pejuang Frauli.

Tak lama mereka berhenti di tepi sungai yang lebarnya lebih kecil dan juga lebih dangkal dibanding bagian sungai lainnya. Arusnya cukup deras, tetapi mereka tak punya pilihan, mereka harus menyeberang.

"Rufio!" seru Tuan Karili. "Bawa Piri dan Yara ke seberang! Kami menyusul di belakang!"

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldOnde as histórias ganham vida. Descobre agora