Bab 48 ~ Memeluk Awan

37 28 0
                                    

Esoknya Piri terbangun oleh bunyi koak burung raksasa yang terdengar tak jauh dari luar rumah. Ia membangunkan Yara dan Tero, dan bersama-sama mereka keluar.

Langit berwarna biru jernih terlihat di antara tebing-tebing batu. Seekor grayhayr bertengger di bibir tebing. Begitu melihat anak-anak, burung itu terbang, namun tidak jauh, hanya berpindah ke dataran tempat anak-anak dibawa semalam.

Piri, Yara dan Tero menyusuri jalan setapak di sisi tebing. Jurang yang dalam di sisi kanan kini terlihat jelas. Dasarnya tidak tampak karena tertutup batu-batu yang menonjol di sisi tebing, tetapi pastinya sangat dalam.

Setelah melingkari tebing, mereka sampai di tujuan. Dua ekor grayhayr sudah menunggu. Sosok binatang raksasa itu masih tampak mengerikan di mata anak-anak.

"Kurasa aku akan lebih suka wujud manusia mereka," kata Yara.

"Tapi mereka jadi tidak bisa terbang," tukas Piri.

Anak-anak tertawa, merasa lucu, sekaligus untuk menutupi kegugupan karena harus terbang lagi bersama burung-burung itu. Pengalaman sebelumnya saat mereka terbang di atas padang rumput jelas tidak menyenangkan. Piri berharap ia tidak lagi pingsan di udara. Tetapi mungkin, dengan pingsan berarti ia tidak perlu merasa takut kala terbang.

Tubuh Piri dan Yara dibawa dalam cengkeraman cakar raksasa burung pertama, sedangkan Tero oleh burung kedua. Angin dingin bertiup kencang menusuk tulang kala burung itu melenting dari bebatuan.

Untungnya hanya di awal-awal, karena kemudian ada semacam hawa hangat yang dilepaskan dari dalam tubuh grayhayr yang membuat Piri tidak merasa kedinginan walaupun berada tinggi di atas pegunungan. Entahlah, itu mungkin semacam sihir angin yang dimiliki burung-burung ini.

Mereka terbang menyisir lereng, lalu naik semakin tinggi. Piri memandang takjub setiap detil pegunungan yang mereka lewati. Batu-batu besarnya yang tajam menghitam, celah-celahnya yang gelap. Tak ada pepohonan atau tumbuhan sama sekali. Mungkin pohon-pohon memang tidak bisa hidup di atas pegunungan.

Kemudian, mereka menembus awan.

Awalnya Piri tak tahu apa yang terjadi ketika udara tiba-tiba memutih, namun kemudian Yara berseru sambil tersenyum lebar.

"Ini awan, Piri! Ini awan!"

Anak perempuan itu membentangkan tangannya, membelah awan putih yang melewatinya. Yara tertawa-tawa dan menjerit riang. Kedua tangannya mencengkeram, mencoba meraih awan itu. Hanya butiran air yang bisa ia dapatkan dan melekat di kedua tangannya.

Yara tak peduli. Ia mendekap dadanya, seakan berhasil memeluk awan. Kedua matanya terpejam, mulutnya tersenyum.

Piri tahu, seumur hidupnya ia tak pernah melihat Yara sebahagia ini, dan ia ikut bahagia. Yara telah berhasil meraih impiannya.

Memeluk awan.

Kemudian mereka keluar dari gumpalan awan. Sayap si burung raksasa mengepak kencang. Begitu lepas dari awan tebal mereka tak lagi melihat dinding pegunungan. Di depan mereka langit semakin membiru, begitu jernih sejauh mata memandang, dan tak jauh di bawah mereka ada puncak pegunungan. Ujung-ujung bebatuan dengan semacam pasir aneh berwarna putih sebagai selimutnya. Anak-anak terpesona.

"Grayhayr!" Yara langsung memohon. "Tolong turunkan aku di puncak itu sebentar! Tolong turunkan aku!"

Piri terkejut. "Yara? Kamu mau apa?"

"Piri, aku ingin berdiri di sana! Aku ingin merasakan berdiri di puncak pegunungan!"

Kedua burung raksasa ternyata mengabulkan permintaannya. Si burung pertama mendekat ke salah satu ujung bebatuan yang paling tinggi, lalu meletakkan Piri dan Yara di sana. Selanjutnya Tero juga diturunkan.

Kedua burung itu lalu terbang lagi, berputar-putar melingkar tak jauh di atas mereka. Hawa hangat dari tubuh hewan itu masih terasa dari jarak itu, namun angin dingin tetap menyergap, membuat tubuh ketiga anak menggigil.

Beruntung anak-anak sekarang sudah mengenakan baju dan pelindung kaki, tidak lagi telanjang seperti dulu. Tetap saja mereka tak mungkin tahan berlama-lama di atas sini. Namun dalam waktu singkat itu mereka merasakan kegembiraan yang tak terbayangkan, sesuatu yang sulit dilukiskan dalam kata-kata. Mereka telah sampai di puncak pegunungan, seperti yang mereka angankan sebelum ini. Berdiri di puncaknya, di atas selimut pasir dingin.

Anak-anak saling memandang, lalu berpelukan dan tertawa sambil melompat-lompat.

"Kita berhasil! Kita berhasil!" Mata Yara berkaca-kaca. "Di puncak pegunungan!"

"Iya." Piri hanya bisa mengucap satu kata. Tubuhnya menggigil.

"Aku ... tak menyangka ..." Tero terbata-bata. "Ini luar biasa!"

"Ya! Memang bukan dengan mendaki, tapi apa pun caranya, kita sampai di sini!"

Mereka kembali melompat-lompat girang.

"Apa yang lain akan percaya kalau kita ceritakan ini?" tanya Tero dengan napas memburu. Hawa putih mengepul dari hidung dan mulutnya.

"Kenapa tidak?" jawab Piri dengan rahang gemetar. "Kenapa mereka tidak percaya?"

"Kita harus bawa sesuatu!" seru Yara penuh semangat. "Yang bisa membuktikan kalau kita pernah kemari! Aku coba mengambil awan tadi, tapi ternyata tidak bisa. Jadi pasir ini saja." Ia berjongkok lalu menyentuh pasir putih di samping kakinya. Piri dan Tero ikut berjongkok dan meraup pasir tersebut, yang rasanya ternyata jauh lebih dingin daripada air sungai. Cepat-cepat mereka memasukkan sejumput pasir itu ke dalam kantong baju.

"Sudah!" seru Yara.

"Waktunya kita pergi!" kata Tero. "Aku sudah tidak tahan!"

Piri melambai ke arah dua burung raksasa yang masih terbang melingkar di udara. Burung pertama turun menjawab panggilannya, mengambil Yara dan Piri, dan burung kedua mengambil Tero. Diiringi bunyi koakan nyaring, kedua burung mengepakkan kuat-kuat sepasang sayap mereka, kembali terbang.

Mereka meluncur, sekali lagi menembus gumpalan awan, lalu turun menyisiri dinding pegunungan. Dasar lembah yang menghijau akhirnya mulai terlihat.

Tepat di tengah-tengah lembah Dunia Mangkuk yang dikelilingi pegunungan, menjulang tinggi Menara Hitam. Puncaknya yang kerucut dan hitam kecoklatan kini terlihat jelas.

Piri dan Yara saling memandang. Piri yakin, pikiran Yara sama dengannya: suatu hari nanti mereka harus memohon pada Kakek dan Dewi Angin supaya diperbolehkan naik sampai ke puncak menara.

Pikirannya segera teralih begitu kedua grayhayr membawa mereka semakin dekat ke dasar lembah. Piri merasakan dadanya berdebar kencang, karena sebentar lagi ia akan pulang dan bertemu lagi dengan tiga puluh anak yang mereka tinggalkan sebelum ini.

Ia berpikir, apa saja yang terjadi di Dunia Mangkuk selama ia, Yara dan Tero pergi. Apakah semuanya baik-baik saja? Bagaimana dengan Jiro, Buro, Sera dan Nere? Apakah mereka dulu langsung pulang setelah ia, Yara dan Tero jatuh ke jurang? Ataukah semua anak-anak itu mencari mereka bertiga terlebih dulu? Dan apakah mereka sedih karena tidak berhasil menemukan mereka?

Lalu bagaimana dengan Kakek? Apakah dia marah karena mereka pergi untuk mendaki pegunungan dan kemudian menghilang?

Seluruh pertanyaan itu bertumpuk-tumpuk dalam benaknya. Dadanya berdebar makin kencang.

Namun pada akhirnya ia tak peduli. Kini hanya satu hal sederhana yang menjadi harapannya: semoga keseluruh anak itu baik-baik saja.

Ah, ia melihat mereka sekarang!

Mereka tengah berkumpul di tepi sungai, tampaknya baru saja selesai mendengar pelajaran dari Kakek. Anak-anak itu mendongak, terkejut melihat kedatangan dua ekor burung raksasa yang turun mendekati mereka. Mereka ketakutan. Anak-anak itu menjerit dan berlari panik ke sana kemari.

Untunglah, Tero dengan suara lantangnya berseru, menjangkau mereka semua. "Hai! Ini kami! Kami pulang!"

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now