Bab 46 ~ Jawaban-Jawaban

37 25 1
                                    

Sang api tertawa pendek mendengar ucapan Yara.

"Ya, itu mengerikan, tapi bagi mereka tidak," balas sang api.

Dia lalu melanjutkan, "Di puncak menara Kastel Frauli aku membuat gerbang menuju negeri Dewi Angin. Aku membuat lingkaran api di lantai. Dengan bantuan sihir dan angin aku mengirim anak-anak itu satu per satu, ke tempat yang jauh. Aku mengirim anak-anak yang masih bayi terlebih dulu, karena lebih mudah dan cepat.

"Sayangnya, aku tak punya cukup waktu. Pada saat aku mengirim anak yang ketiga puluh tiga, pasukan Mallava sampai di puncak menara. Aku tak menyangka. Kukira kami aman di sana, paling tidak sampai tugasku selesai. Ternyata tidak.

"Aku tak mampu bertempur. Tenagaku sudah habis untuk mengirim anak-anak itu ke dunia lain. Satu-satunya harapan adalah batu biru pemberian Obain. Aku mengambil batu itu dari dalam bajuku, mengarahkannya ke deretan prajurit Mallava yang masuk ke dalam ruangan.

"Tak kusangka, bukannya mengeluarkan cahaya biru yang bisa membantuku, batu itu justru mengeluarkan cahaya merah, kemudian meledak di tanganku.

"Tubuhku tercabik, dan sesaat sebelum mati aku menangis, melihat puluhan anak yang mati di dekatku karena terkena ledakan dahsyat. Aku akhirnya mengerti, batu itu sebenarnya buatan Penyihir Merah, yang mampu memberitahu dia ke mana pun orang yang membawa batu itu pergi.

"Aku bodoh, tak menyadarinya sejak awal. Adikku Obain seorang yang baik dan berhati lembut, tapi ia terlalu mudah ditipu, dan tampaknya aku sama saja bodohnya. Tak ada yang selamat di tempat itu, kecuali pelayanku Haim. Namun ia mengalami luka bakar di sekujur tubuhnya, dan dalam penderitaan luar biasa ia menutupi pecahan batu merah dengan pakaiannya, dan membawanya masuk ke dalam gerbang.

"Haim jadi orang terakhir yang berhasil pergi, karena setelah itu gerbang yang kubuat di menara Frauli hancur. Ia menyusul ketiga puluh tiga anak ke gerbang seberang. Gerbang itu ada di puncak menara tinggi menembus awan yang dinding-dindingnya berwarna hitam. Bangunan kuno berumur ribuan tahun, tempat biasanya Dewi Angin turun dari awan untuk menemuiku.

"Itulah Menara Hitam yang selama ini kalian kenal. Dan tempat itu, negeri Dewi Angin, tak lain adalah dunia tempat kalian tinggal selama ini."

Ardin berhenti bercerita. Anak-anak terdiam.

Mereka baru saja mengetahui siapa diri mereka sebenarnya, lalu kemalangan yang terjadi pada orangtua-orangtua mereka. Mereka tak bisa berkata apa-apa lagi. Piri merasakan dadanya sesak, dan matanya basah.

Ia menoleh. Tero tampaknya merasakan hal yang sama. Sedangkan Yara, air mata mengalir di pipinya.

"Anak-anak," suara Ardin terdengar, lembut. "Bisa kulanjutkan ceritaku?"

"Ya ..." Piri menjawab.

"Di puncak menara, Haim memohon pada Dewi Angin agar ia bisa disembuhkan dari lukanya. Namun Dewi Angin tak bersedia turun dari langit, mungkin terlalu sedih, karena setelah aku tinggal di Dunia Orang Mati aku tak bisa lagi bertemu dengannya. Haim lalu menunjukkan batu yang ia bawa, mengatakan bahwa batu itu selain telah membunuhku juga membunuh banyak anak-anak, dan seharusnya Dewi Angin bisa mencegah hal itu.

"Dewi Angin akhirnya mau membantu. Pelayannya turun dari langit dan memberi Haim ramuan buah potaroant. Ramuan itu bisa menyembuhkan luka di tubuh Haim, tapi dengan syarat selamanya Haim harus tinggal di atas Menara Hitam, karena hanya di sanalah obat itu mampu melawan pengaruh sihir di lukanya.

"Para pelayan membawa semua anak turun dari menara, dan sampai beberapa lama tinggal di lembah untuk merawat anak-anak itu. Kalian bertiga dan tiga puluh anak lainnya. Setelah kalian cukup besar para pelayan kembali ke langit dan melepaskan kalian. Namun sebelum pergi mereka memasang batu sihir di tepi sungai, tempat kalian bisa berkomunikasi dengan Haim.

"Oh ya, Haim itu, tentu saja, adalah yang kalian kenal sebagai Kakek."

Anak-anak melongo.

Namun tiba-tiba Tero mengangguk. "Aku sudah menduganya!"

"Ha? Maksudmu, dari awal?" tanya Piri tak percaya.

"Bukan, aku menduganya barusan!" Tero meringis.

Piri tertawa.

"Jadi selama ini Kakek tinggal di Menara Hitam?" tanya Yara heran. "Kenapa dia tidak pernah bilang? Dia malah menakut-nakuti kita supaya tidak mendekat ke menara itu."

"Kakek tidak pernah menakut-nakuti kita," kata Piri. "Kita sendiri yang menakut-nakuti diri kita sendiri."

"Kakek diam saja ketika kita merasa takut pada menara itu. Juga saat kita takut ketika melihat Mata Kuning."

"Haim hanya sedang menunggu waktu yang tepat untuk menceritakan semuanya, nanti saat kalian sudah lebih dewasa," kata Ardin. "Kalian juga butuh izin dan bantuan dari Dewi Angin jika hendak pergi ke puncak menara itu. Tidak ada tangga di sana. Kalian tak mungkin bisa naik dengan cara biasa."

"Lalu Mata Kuning yang sering muncul saat malam, apakah itu mata Kakek yang sedang mengawasi kita?" tanya Tero.

"Itu sepasang sinar yang memancar dari bola api di puncak menara, yang biasa ia pakai untuk mengawasi kalian dan dunia di sekitar kalian. Untuk menjaga kalian."

"Itu sihir dari Dewi Angin juga?" tanya Yara.

"Bola api itu buatanku. Hadiahku untuk Dewi Angin. Kami dulu senang bermain-main, melukis dan mewarnai langit dengan sinar tersebut, kalau kalian ingin tahu."

"Tapi kenapa Kakek mengawasi kita? Apa dia takut kita melakukan sesuatu yang aneh dan berbahaya?" Yara terus bertanya.

"Akhirnya memang terbukti, kan?" tukas Piri. "Kita melakukan sesuatu yang aneh dan berbahaya, dengan mendaki pegunungan!"

"Tidak hanya itu," kata Ardin dari dalam api yang meliuk-liuk. "Haim melakukannya untuk melindungi kalian, dari seseorang yang mungkin ada di dekat kalian."

"Seseorang?"

"Obain, adikku. Dulu, begitu mendengar bencana yang terjadi di Frauli, ia cepat-cepat kabur dari rumah ini dan menghilang. Ia sedih dan menyesal, sekaligus takut akan mendapat pembalasan dari Dewi Angin yang mungkin akan menyalahkannya karena telah membuatku mati.

"Ketakutan Obain tidak salah, karena tak lama setelah Haim sembuh, pelayanku itu memang kembali meminta tolong kepada Dewi Angin, kali ini untuk membantunya mencari Obain. Yang tak dimengerti oleh Obain adalah sebenarnya Haim mncarinya bukan bermaksud untuk menangkapnya, melainkan hanya untuk menunjukkan bahwa aku sudah memaafkannya, dan karenanya Obain tak perlu lagi lari atau bersembunyi.

"Dewi Angin mengirim sepasang grayhayr-nya untuk membantu mencari. Kedua makhluk itu menjelajahi pegunungan, namun mereka tak berhasil menemukan Obain. Dewi Angin lalu memohon pada Dewa Kehidupan untuk mengubah wujud kedua makhluk itu jadi sepasang manusia biasa. Sebagai manusia mereka lebih mudah berbaur ke Mallava atau negeri-negeri lainnya, untuk berbincang dengan banyak orang dan mendapat informasi. Batu merah mereka pegang, supaya nanti bisa ditunjukkan pada Obain, bahwa Penyihir Merahlah yang menjadi dalang kejahatan semua ini."

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now