Bab 87 ~ Hujan Badai

26 23 0
                                    

Piri memperhatikan Tuan Karili yang berlari menuju pintu bangsal. Laki-laki itu mengintip dari sana. Cahaya mulai menerangi setiap sudut benteng, menyisakan bayangan-bayangan panjang dari timur ke barat. Laki-laki itu sepertinya bisa melihat semua yang terjadi di luar sana.

Dia menoleh seraya memberi perintah. "Semuanya, keluar! Morav dan yang lainnya sedang bertarung melawan musuh di depan barak, tapi mereka mungkin tak akan bisa bertahan lama!"

Namun tentu saja mereka tak bisa langsung lari begitu saja. Tiga pejuang Suidon yang dipapah itu tampak lemah dan tak mampu berjalan cepat. Duran, Parid dan Koram terpaksa setengah menyeret ketiganya untuk bisa menyeberangi lapangan hingga ke pintu gerbang.

Piri dan Yara masih bingung dan panik. Sementara itu di dalam bangsal Tuan Karili membakar gentong dan kotak-kotak yang ada dengan obornya.

Piri paham tujuan Tuan Karili melakukan itu. Untuk membuat kebakaran yang bisa mengacaukan dan mengalihkan perhatian musuh. Seperti yang dulu pernah dilakukan Rufio di Rumah Merah untuk mengalihkan perhatian Tuan Dulum. Namun hal itu justru membuat Piri dan Yara semakin panik.

Bersama dengan Tuan Karili keduanya masih berada di dalam bangsal. Kedua anak itu meringkuk ketakutan, gemetar. Apalagi ketika kemudian dari balik jendela-jendela barak di lantai dua terlontar anak-anak panah yang datang menghambur hingga ke tengah lapangan, menyerang siapa pun orang-orang Frauli yang berusaha menyeberang.

Tuan Karili tetap nekat. "Kita keluar sekarang!" serunya sambil meraih pinggang Piri dan Yara. Ia berlari membopong keduanya.

Seketika anak panah mendesing di samping mereka, kemudian mengenai punggung pejuang Suidon yang dipapah oleh Koram. Orang itu menjerit, membuat dirinya dan Koram terjatuh. Koram coba bangkit, tetapi anak panah lain datang menghantam dada laki-laki itu.

Mulut Piri ternganga.

Yara langsung menjerit. "Tuan Koraaam!"

Parid menggeram marah melihat adiknya terluka, tapi ia dan Duran belum bisa menolong. Mereka terpaksa terus berlari ke gerbang sambil membawa Tuan Boromai dan satu pejuang Suidon lainnya.

Beberapa pejuang Frauli yang berjaga di luar berlarian masuk ke dalam benteng dan balik membalas serangan musuh. Anak-anak panah melesat ke barak melalui jendela-jendela, menghambat serangan prajurit Mallava.

Setelah meletakkan kedua pejuang Suidon di dekat pintu gerbang, Duran dan Parid berlari lagi ke dalam banteng untuk menolong Koram.

Yara menjerit dalam gendongan Tuan Karili, "Turunkan aku! Akan kugunakan cincinku!"

"Tidak! Jangan dulu! Jangan di tempat terbuka seperti ini!" balas Tuan Karili. "Kau bisa terluka!"

Tuan Karili berlari hingga akhirnya mencapai pintu gerbang, dan berhasil lolos dari terjangan sejumlah anak panah. Ia meletakkan Piri dan Yara di samping Tuan Boromai yang sudah ada di sana bersama Rufio dan Kalai.

Yara mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah pertempuran yang terjadi di depan barak. Ia berteriak, "Aku mau semuanya berhenti! Aku mau orang-orang Mallava itu berhenti menyerang kita!"

Anehnya, cincinnya tak kunjung mengeluarkan sinar hijau.

Ia pun berseru panik, "Piri! Cincinku tidak menyala!"

"Perintah! Kamu harus membuat perintah!" seru Piri, yang lalu hilang kesabaran. "Ah, sudah, biar aku saja yang melakukannya!"

Ia memasang topeng besi ke wajahnya. Dari balik lubang matanya ia melihat ke arah barak. Di depan pintu barak para pejuang Frauli mulai terdesak. Beberapa orang tumbang dan terbaring tak berdaya diterjang tombak-tombak prajurit Mallava yang jumlahnya semakin banyak.

Dari balik jendela dan atap barak prajurit Mallava berjejer melepaskan lebih banyak anak panah. Dari sisi mana pun terlihat bahwa pejuang Frauli tak bisa bertahan lebih lama.

Cepat-cepat Piri berlari menuju lapangan, tempat terbuka di mana ia berharap topengnya bisa terlihat setiap prajurit musuh. Ia tak mempedulikan Tuan Karili, Yara dan Rufio yang berteriak-teriak khawatir. Di belakang barisan pejuang Frauli yang tengah memanah ia berdiri tegak dan berteriak.

"Orang-orang Mallava! Lihat aku!"

Batu warna hijau di dahi topengnya bersinar.

Namun topengnya bukannya memberi pengaruh pada seluruh prajurit musuh, karena tiba-tiba semua orang justru tertegun melihat langit yang semula terang kini berubah gelap.

Piri mendongak, memperhatikan awan hitam tebal yang bergumpal-gumpal di atas benteng. Suara petir menggelegar, dan bagai ember raksasa yang dibalikkan di angkasa, air hujan mendadak mengguyur deras.

Piri terpana, dan langsung ketakutan. Ia tahu ini bukan hujan biasa. Ada seseorang yang mendatangkan hujan. Kapten Morat. Dia ada di sini!

Ia memandang gugup pejuang Frauli di sekitarnya yang coba bertahan dengan memanah di bawah siraman air hujan. Namun semua tak bisa lagi melihat dengan jelas. Air hujan yang lebat pun membuat panah-panah itu bergerak tak karuan dan berjatuhan sebelum mencapai sasaran.

Di depan barak Morav dan pejuang lainnya mulai terkepung. Piri menangis putus asa, menyadari bahwa semua ini sudah terlalu berat baginya. Cahaya hijau di dahinya meredup. Mungkin karena kekuatan topeng besinya ternyata tidak berdaya melawan kekuatan alam yang datang.

Atau, lebih tepatnya, melawan kekuatan sihir yang lebih kuat.

Seseorang tiba-tiba menyambar tubuhnya dari samping. Duran. Keduanya berguling di tanah, dan topeng besi terlepas dari wajah Piri. Sebatang anak panah menancap tak jauh di belakang tempatnya tadi berdiri.

"Kau harus pergi, Piri!" seru Duran. "Lari! Sekarang!"

Duran bangkit dan berbalik. Ia menarik kembali busurnya dan melesatkan anak panah.

Piri paham, Duran sedang memberinya kesempatan untuk bisa lari lagi ke arah pintu gerbang. Piri hendak berterima kasih, dan ingin rasanya bertanya bagaimana nanti nasib Duran dan para pejuang lainnya. Tapi ia tahu tak akan mendapatkan jawaban sekarang. Ia cepat-cepat berlari menuju pintu gerbang. Hujan sudah sedikit mereda dan anak-anak panah kembali datang.

"Cepat, Piri!" Kalai berteriak-teriak.

Rufio lebih sigap dan berlari untuk menangkapnya.

Namun Tuan Karili dan Yara justru tertegun dan memandang ke arah sebaliknya, ke luar pintu gerbang yang separuh terbuka.

Sesosok laki-laki berjubah gelap muncul dari balik tirai hujan, duduk tenang di atas seekor kuda hitam. Darah Piri bagaikan membeku.

Wajah orang itu tak terlihat, tapi ia tahu, itu Kapten Morat.

Laki-laki itu membawa kudanya maju mendekati pintu gerbang. Tuan Karili berteriak dan berlari sambil mengayunkan pedangnya.

Namun dengan mudah Kapten Morat menangkis dengan pedang besarnya, lalu balik menghantam, satu dua kali, untuk membuat pedang di tangan Tuan Karili terlempar dan pemiliknya terjengkang.

"Hentikan, Frauli!" sang kapten berseru sambil menunjuk ke arah Tuan Karili. "Suruh orangmu menyerah! Atau kalian mati!"

Hanya sedikit yang peduli pada perintahnya, sebagian besar masih bertarung. Hingga akhirnya ia berteriak, "HENTIKAAAN!"

Suaranya menggelegar menyamai petir. Hujan mereda dan para prajurit Mallava langsung menghentikan serangan mereka.

Pejuang Frauli mundur dan berkumpul di dekat pintu gerbang.

Di tengah-tengah mereka Piri bergidik. Dari dua puluh pejuang yang tadi masuk ke dalam benteng, kini hanya enam yang masih berdiri tegak: Tuan Karili, Duran, Morav, Parid dan dua lainnya. Koram termasuk yang tak bisa lagi berdiri. Tetapi laki-laki itu sepertinya masih hidup, tidak seperti yang lainnya yang sudah pingsan atau mati.

Piri memandangi Kapten Morat yang ternyata tengah memperhatikan dirinya. Kapten itu tampak kaget.

"Piri? Yara? Kalian ada di sini?"

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα