Bab 47 ~ Saatnya Pulang

38 26 0
                                    

"Apakah batu itu masih berbahaya saat itu?" Yara bertanya.

"Tidak lagi," jawab Ardin. "Haim dan Dewi Angin sudah tahu bahwa batu merah telah kehilangan kekuatannya, dan justru hal itulah yang ingin mereka tunjukkan kepada Obain. Bahwa selepas bencana di Frauli, batu itu sudah menjadi batu biasa. Walau demikian, dalam gelap batu itu masih bisa bercahaya, dan bentuknya pun khas, yang pasti bisa dikenali oleh Obain."

"Siapa lagi yang tahu kalau batu itu tidak lagi berbahaya?"

"Di bawah sana, di negeri Mallava, hanya Penyihir Merah yang tahu. Bahkan Kapten Morat pun tidak tahu soal ini."

"Lalu, kedua grayhayr itu, apa yang mereka lakukan?"

"Dalam wujud manusia mereka mencari ke berbagai penjuru negeri, hingga akhirnya sampai di Jampa. Secara tak sengaja mereka bertemu Obain. Tapi adikku mengenali mereka. Ia lari. Kedua grayhayr mengejar, hingga akhirnya tiba di kaki pegunungan ini.

"Obain masuk ke gua yang rupanya telah lama menjadi tempat persembunyiannya, dan kedua grayhayr mengejarnya ke dalam. Keduanya lalu menunjukkan batu merah, yang bisa bercahaya dalam gelap, tetapi itu justru membuat Obain semakin ketakutan.

"Adikku tidak memberi kesempatan pada kedua makhluk itu untuk berbicara. Di dalam rongga gua yang cukup luas ia membuat jebakan lalu nekat meruntuhkan batu-batu besar untuk mencelakai kedua makhluk itu. Sebagian dinding gua runtuh. Kedua grayhayr terkejut, dan cepat-cepat lari keluar, sedangkan batu merah terlepas dan kemudian terlempar entah ke mana di dalam gua. Keduanya menunggu di luar gua, menunggu adikku menjadi lebih tenang, kemudian setelah dua hari mereka masuk lagi.

"Sayangnya, akibat runtuh, lorong-lorong tertutup batu. Keduanya menggali, berhasil membuat lorong-lorong baru, tapi di satu titik akhirnya mereka berhenti, tak bisa masuk lebih jauh. Lalu mereka mendengar sesuatu. Suara seseorang, merintih, menangis, berteriak-teriak, lalu tertawa-tawa sendiri. Aku tak tahu apa yang terjadi pada adikku begitu gua runtuh, mungkin ia terjatuh dan mencelakai dirinya sendiri, merusak ingatannya. Begitulah, Obain adikku, kehilangan kewarasannya di dalam gua.

"Kedua grayhayr keluar dari gua dan kembali pada wujud asli mereka sebagai burung raksasa. Mereka menemui Dewi Angin dan Haim di puncak Menara Hitam, dan menceritakan seluruh kejadian itu. Semua sedih mendengarnya. Tetapi ... mungkin itulah takdir yang telah ditetapkan untuk kita semua. Suka atau tidak, kita harus bisa menerimanya."

Anak-anak melongo.

Piri nyengir. "Takdir? Apa maksudmu?"

Ardin tertawa. "Kalian mungkin belum akan mengerti soal itu."

"Sejak itu Obain tinggal di dalam gua?" tanya Piri.

"Betul. Dan kalian sudah dua kali bertemu dengannya."

Piri tersenyum lebar. "Si makhluk bermata hijau. Dia adikmu?"

"Ya, dia. Ternyata, kalianlah yang justru bisa bertemu dia."

"Karena lorong-lorong kecilnya hanya bisa dilewati oleh tubuh kami," kata Yara. "Dan oleh Obain, yang tubuhnya juga tidak seberapa besar dibanding orang dewasa lainnya."

"Sampai sekarang dia masih sangat takut pada batu merah itu," kata Tero. "Padahal sudah lama sekali kejadiannya, kan?"

"Tak adakah yang bisa kita lakukan untuk menolongnya?" tanya Piri. "Di gua aku sempat bicara padanya, dan menurutku dia orang baik. Dia menolong kita dari Tuan Rodik. Aku sudah berjanji akan mengantarkan buah-buahan untuknya. Kalau aku bisa masuk ke gua lagi, aku akan mengajaknya keluar, dan tinggal bersamaku."

"Kau anak yang baik, Piri," kata Ardin. "Terima kasih."

"Tapi bukannya tadi kaubilang Kakek berusaha melindungi kita dari Obain, dengan menggunakan sinar Mata Kuning?" kata Yara.

"Berjaga-jaga, kata itu mungkin lebih tepat," jawab Ardin. "Haim tahu Obain seorang yang baik, tetapi begitu adikku kehilangan ingatan, kita tak tahu apa yang mungkin bakal dilakukannya jika dia keluar, jadi Haim berusaha melindungi kalian. Masalahnya, Haim tak tahu apakah Obain bakal keluar dari dalam gua, dan jika keluar dia akan keluar dari sebelah mana. Ada begitu banyak mulut gua di pegunungan yang mengitari Dunia Mangkuk, dan tak ada yang tahu apakah gua-gua itu saling berhubungan atau tidak. Jadi jika suatu malam Haim merasakan sesuatu yang tidak enak di hatinya, ia akan menyalakan Mata Kuning, dan mencari-cari ke segala penjuru."

"Kemarin Kapten Morat menyuruh prajuritnya masuk ke dalam gua," kata Yara. "Bagaimana jika mereka berhasil menemukan dia?"

"Mudah-mudahan tidak," jawab Ardin. "Kalian pernah melewati gua itu, bukan? Apakah gua itu mudah dilewati orang dewasa?"

"Tidak, menurutku," jawab Yara.

"Aku ingat, kemarin Tuan Rodik bilang dia mengalahkan Obain di sungai," kata Piri khawatir. "Apakah dia baik-baik saja?"

"Aku tidak tahu," jawab Ardin.

"Tapi kamu tahu begitu banyak hal tadi," tukas Tero. "Kenapa yang ini justru tidak tahu? Apa kamu tidak bisa melihatnya?"

"Anak-anak, aku tinggal di Dunia Orang Mati, tidak banyak yang bisa kulihat di sana. Apa yang kuceritakan sekarang pada kalian pun adalah apa yang kudengar dari Haim, yang tahu cara berbicara padaku melalui nyala api. Juga dari roh-roh yang sering datang untuk menemaniku, dan dari sang Penguasa Dunia Orang Mati, yang kadang mau bercerita padaku. Aku tidak tahu semua hal. Jadi mari kita berharap saja adikku baik-baik saja."

"Berarti kita hanya bisa menunggu?" tanya Yara tidak puas.

"Aku akan menunggu. Tetapi kalian, Anak-anak, kalian tak perlu menunggu apa pun. Kalian harus pulang sekarang."

Anak-anak terdiam, memandangi nyala api di depan mereka. Jawaban Ardin singkat, tapi terdengar begitu tegas seperti perintah. Gemeretak api terdengar, lalu hening.

"Kalian telah melewati banyak kejadian berbahaya, kalian juga melakukan banyak hal luar biasa. Kalian berani, pandai, memiliki hati yang baik tanpa prasangka buruk, serta selalu ingin menolong orang lain yang berada dalam kesusahan. Tetapi, ada saat di mana sebaiknya kalian tidak perlu melakukan lebih banyak lagi. Saat di mana kemampuan kalian masih sangat terbatas. Segala sesuatu bisa menjadi terlalu berbahaya jika kalian memaksakan diri. Anak-anak, kami semua berterima kasih pada apa yang telah kalian lakukan. Tetapi sekarang, waktunya kalian kembali ke rumah. Pulang."

"Pulang ..." Piri berkata lirih. Ia menoleh, saling memandang dengan Yara dan Tero selama beberapa lama. "Pulang?"

"Tidurlah dengan nyenyak malam ini. Besok kedua grayhayr akan membawa kalian melewati puncak pegunungan, lalu turun, ke lembah tempat kalian selama ini tinggal. Kalian bisa menjalani lagi kehidupan kalian yang biasa dan menyenangkan. Nanti, begitu kalian dewasa, saat kalian sudah belajar lebih banyak hal, barulah kalian boleh melakukan hal yang berbahaya sekali lagi, kalau kalian mau." Ardin tertawa kecil. "Mengerti?"

Piri tersenyum lebar. "Kami mengerti."

Yara dan Tero mengangguk.

"Sampai jumpa, Anak-anak."

Begitu Ardin mengucap kalimat terakhirnya, nyala api meredup, kemudian lenyap, menyisakan asap putih tipis melayang di udara.

Anak-anak membaringkan tubuh di lantai kayu yang hangat. Piri memandangi langit-langit, benaknya terisi oleh segala hal menarik yang telah diceritakan Ardin.

Sungguh cerita yang menakjubkan, pikirnya, dan ia senang karena mereka menjadi bagian dari cerita itu. Ini bisa jadi bahan yang menarik untuk diceritakan pada anak-anak yang lain begitu mereka tiba di rumah nanti.

Besok, tak lama lagi.

Betapa menyenangkan, dan tak sabar rasanya!

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now