Bab 23 ~ Negeri Orang Terbelakang

46 31 2
                                    

Tuan Dulum membawa Piri, Yara dan Tero ke ruangan lainnya di lantai dua. Mereka dikenalkan pada seorang perempuan bertubuh gemuk yang dipanggil dengan nama Bibi Molen.

Tampang perempuan itu hampir selalu cemberut, dan perintah pertamanya pada anak-anak adalah mereka harus segera mandi, karena ia tak tahan dengan bau mereka.

Jika yang dimaksud dengan mandi adalah bermain air, ketiga anak tidak keberatan, karena bermain di sungai selalu menjadi kegiatan favorit mereka selama ini. Masalahnya, perempuan gemuk itu kemudian menyikat tubuh mereka dan melumurinya dengan cairan aneh berwarna hijau yang mengeluarkan busa-busa berwarna putih seperti awan.

Memang indah dilihat, tetapi karena baru pertama kali anak-anak belum bisa menyukainya. Apalagi busa itu terasa perih di mata.

Penyebab lainnya adalah mereka tidak suka dengan cara kasar Bibi Molen menggosok tubuh mereka.

Mereka kemudian diguyur lagi beberapa kali, lalu dikeringkan dengan handuk tebal. Semacam selimut tetapi berukuran kecil. Setelah itu mereka dibawa ke ruangan sebelah yang lebih kering.

Bibi Molen tidak lagi bertampang cemberut sekarang. Sudah pasti karena tubuh ketiga anak baunya telah berubah menjadi harum. Ia memasangkan baju atas dan bawah, lalu menyisir dan mengikat rambut mereka hingga rapi.

Karena suasana hatinya sudah tampak berubah, ketiga anak pun tak ragu untuk melepas tawa.

"Kenapa kalian tertawa?" tanya Bibi Molen.

"Mmm ... baju-baju ini," kata Tero. "Lucu!"

"Ini bagus," sahut Yara sambil mengembangkan baju bawahnya, yang lebar dari bagian pinggul sampai ke lutut.

Ia memutar tubuh, melambaikan baju bawah yang bentuknya berbeda dibanding milik Piri dan Tero yang lebih lurus dan sempit di kaki.

"Aku suka baju ini," kata Yara.

"Kalau di bawah namanya rok! Untuk laki-laki namanya celana," kata Bibi Molen ketus.

Ia memandangi ketiganya beberapa lama dengan tatapan aneh, lalu menggeleng-geleng kecil. "Sepertinya benar kata Tuan Dulum, kalian memang anak-anak aneh."

"Kami tidak aneh," tukas Piri.

"Ya. Kami hanya berasal dari tempat lain," jawab Tero sok tahu. "Dunia Mangkuk."

"Dunia di balik pegunungan," sahut Yara.

"Dari balik pegunungan," Bibi Molen mengulanginya dengan datar. "Dan bagaimana kalian bisa kemari?"

"Lewat sungai di bawah pegunungan," jawab Tero.

"Berenang?"

"Sungai itu tidak dalam, kita tidak perlu sampai berenang." Yara menjelaskan. "Dia mengalir di dalam gua. Awalnya kami juga tidak tahu kami pergi ke mana, tetapi—"

Bibi Molen menggeleng, kali ini lebih tegas. "Tuan Dulum bilang kalian berasal dari negeri Maderut, dan walaupun dia orang yang menyebalkan, aku tetap lebih percaya pada kata-katanya dibanding ucapan kalian. Kalau kalian mau cerita macam-macam, lakukan saja pada anak-anak yang lain. Mereka selalu suka cerita-cerita aneh semacam itu. Tuan Dulum dan Nyonya Kulip mungkin mau mendengar juga nanti, tetapi mungkin juga tidak."

"Tetapi kami tidak berbohong!" seru Yara.

"Semua anak selalu berkata begitu!"

Piri menarik lengan Yara, berusaha menenangkannya, lalu bertanya, "Negeri Maderut ini, Bibi Molen, letaknya di mana?"

"Jauh, aku tidak tahu." Bibi Molen mengangkat bahu. "Itu negeri orang-orang terbelakang, yang tidak suka memakai baju."

"Terbelakang? Apa itu?" tanya Tero.

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now