Bab 19 ~ Menggali Lubang

56 35 1
                                    

Piri mengambil mangkuk ketiga, yang tadi penuh berisi dedaunan untuk mengobati kaki Tero dan kini kosong.

Ia berjalan ke sudut ruangan, lalu duduk di depan dinding yang di atasnya terdapat celah panjang. Satu-satunya penghubung mereka dengan dunia luar. Langit di luar masih tampak terang, jadi masih ada waktu untuk menggali sampai malam tiba.

Piri mulai menggali. Awalnya tanah keras di depannya sulit digali, tetapi ia berusaha mengoreknya sedikit demi sedikit. Peluh membanjiri sekujur tubuhnya.

Setelah beberapa lama usahanya menunjukkan hasil. Lubang yang dibuatnya sudah cukup besar, dan di dalam sana walaupun padat namun tanahnya terasa lebih lunak dan mudah untuk digali.

Piri meletakkan mangkuk untuk mengistirahatkan lengannya, dan tiba-tiba Yara berkata, "Sini, biar kulanjutkan."

Tetapi sebelum anak perempuan itu meraih mangkuknya, Tero lebih dulu datang dan bergerak lebih cepat. "Biar aku saja."

Piri tersenyum dan mundur untuk memberi tempat.

Tero pun menunjukkan kekuatan lengannya. Ia menggali jauh lebih cepat dan bertenaga. Buangan tanah menggunung, dan Tero kini sudah bisa turun ke dalam lubang sampai hampir sepinggangnya.

"Lihat, ujung bawah dinding kayu ini kelihatan!" seru Tero yang kini benar-benar gembira. "Kamu benar, Piri, kita bisa keluar dengan cara ini."

"Coba gali lebih dalam," kata Piri. "Mau gantian?"

"Tidak. Aku sedang bersemangat dan aku masih kuat!"

"Sebentar lagi malam," Yara berkata ragu seraya menatap langit lewat celah panjang. "Kalian tak bisa menggali jika sudah malam."

"Siapa bilang?" sahut Tero. "Mataku akan terbiasa."

"Maksudku, Pak Jenasin mungkin akan datang."

Piri berlari ke tengah ruangan lalu menumpahkan bubur merah dari mangkuk kedua.

Setelah itu ia berbalik lagi dan melompat masuk ke sebelah Tero. "Kalau begitu kita harus cepat. Yara, tolong singkirkan tanah-tanah di atas supaya tidak jatuh."

Ketiga anak bekerja keras. Mereka menggali semakin cepat, semakin dalam. Ketika langit gelap Piri dan Tero sudah mulai menggali di bawah dinding kayu.

Tetapi keduanya tahu selanjutnya akan lebih sulit dan melelahkan, karena mereka harus membuang tanah lebih jauh ke arah Yara yang menunggu di belakang.

Tero akhirnya menggeleng. "Piri, kita tidak mungkin selesai malam ini."

"Aku tahu," jawab Piri lirih. "Butuh waktu satu atau dua hari, dan kita butuh cahaya. Tak mungkin menggali dalam gelap. Salah-salah tanahnya bisa jatuh menimpa kita."

"Lalu bagaimana?" tanya Yara dari atas.

"Cahaya ... Kalau saja ..." Piri bergumam.

"Kamu tahu yang kupikirkan?" sahut Yara.

Piri mendongak, dan mengangguk. "Ya."

"Batu merah," keduanya berkata bersamaan.

Tero termangu. "Ya, kenapa bisa hilang?"

"Pak Jenasin," tukas Yara. "Tidak mungkin dia tidak melihat batu merah yang dipegang Piri di tepi sungai. Dia menyembunyikannya."

Ketiga anak terdiam.

Piri akhirnya berkata, "Tak ada lagi yang bisa kita lakukan."

"Lalu lebih baik berharap Pak Jenasin adalah orang baik?" sahut Yara.

"Ya, menurutku juga begitu dari tadi! Ayo, kita naik," ujar Tero.

"Sebentar," Yara memotong.

Piri dan Tero menatapnya tegang.

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang