Bab 78 ~ Kalian Masih Percaya?

28 23 0
                                    

Yara langsung protes. "Hei, kamu tertidur?"

"Lanjutkan ceritanya!" seru Piri.

"Kalian masih percaya kata-kataku?" tanya Grayhayr Emas.

"Kami percaya!"

"Apa kalian percaya SEMUA kata-kataku?"

Piri mengangguk. "Aku percaya."

Yara ikut mengangguk. "Ya, aku percaya."

"Bagus. Setelah itu Fraidan cepat-cepat mencari topeng. Ia menemukan sebuah topeng di tempat pandai besi. Ia menutupi wajahnya dengan topeng ketika bertemu dengan Hanarin. Ketika Hanarin bertanya kenapa kesatria itu mengenakan topeng, Fraidan menjelaskan bahwa wajahnya telah dirusak orang-orang Hurnun dan ia tak ingin menakuti Hanarin.

"Hanarin menerima alasan itu, demikian pula Gorhai. Namun alasan Fraidan sebenarnya tentu saja lebih dari itu. Ia tak ingin membuat Hanarin teringat lagi kepadanya. Bagi Fraidan, Hanarin telah memiliki hidup baru yang indah bersama Gorhai. Fraidan tak ingin merusaknya, apalagi Gorhai kini adalah tuannya, sosok yang telah menyelamatkan hidupnya.

"Sejak itu Fraidan selalu mengenakan topengnya jika muncul di tempat umum. Setelah sekian lama orang-orang akhirnya lupa pada wajahnya. Setiap orang hanya melihatnya sebagai Fraidan Yang Perkasa, kesatria hebat bertopeng yang terampil menggunakan pedang dan tombak. Tapi itu belum seberapa. Setahun berlalu, seperti yang kuceritakan sebelumnya, Frauli mendapat serangan terakhir dari orang-orang Hurnun. Ketika Si Penyihir datang untuk membuatkan benda-benda pusaka bagi para ksatria, Fraidan menyerahkan topengnya untuk diberikan batu berwarna hijau.

"Dalam pertempuran kemudian terlihat keistimewaannya. Topeng itu tak hanya menimbulkan rasa sakit dan takut bagi musuh-musuh yang melihatnya, di mana setiap orang yang memiliki niat jahat akan merasa takut dan memalingkan wajah. Tak hanya itu kemampuannya, karena topeng itu juga menghadirkan kekuatan sepuluh kali manusia biasa. Kekuatan inilah yang menjadi sifat perusak topeng itu. Sebelumnya Fraidan sudah menjadi ksatria paling terampil, kini kekuatan itu menjadikannya tak terkalahkan.

"Untungnya, seperti halnya ksatria yang lain ia mau menepati janji. Setelah pertempuran selesai ia melepas topeng besi itu dan meninggalkannya di sini. Ia lalu pergi dan hidup dengan memakai topeng yang lain."

"Selamanya ia hidup mengenakan topeng?" tanya Yara heran.

"Ia lalu menikahi seorang gadis biasa, dan tinggal jauh dari kota, dan kudengar hanya di depan gadis itulah Fraidan bersedia melepaskan topengnya. Mereka hidup bahagia, dan dia tidak ikut kala para kesatria bertempur dengan kaumku, yang bagi kami, tentu saja cukup menenangkan hati, karena Fraidan adalah kesatria yang paling kami takuti.

"Tapi perkiraanku, Fraidan tidak ikut memburu kami, mungkin karena dia memang tidak suka bertempur melawan kami. Dia manusia yang baik." Grayhayr Emas menatap Piri lekat-lekat. "Seperti kau, yang kurasa adalah anak yang baik juga. Begitu juga kau," katanya pada Yara. "Kalian berdua anak baik, yang bisa memenuhi janji kalian. Benar?"

"Mmm ... ya, tentu saja." Yara mengangguk.

"Kalian bilang kalian percaya semua kata-kataku. Karenanya ... sekarang tak ada alasan bagi kalian untuk tidak membebaskan aku, dan membiarkan aku kembali ke rumahku. Benar?"

"Tapi, Tuan Karili sudah meminta kami ..." kata Yara. "Begitu pula orang-orang Frauli, juga orang-orang di negeri lain. Mereka butuh bantuanmu untuk melawan Mallava. Di sana ada Penyihir Merah yang jahat, hanya kamu yang bisa melawan dia!"

"Perang? Kau sedang bicara tentang perang?"

"Aku ..." Yara tergagap bingung.

"Terlepas dari semua yang telah kulakukan di masa lampau, aku tidak suka perang. Memangnya kalian suka?'

"Tidak ..." jawab Piri pelan.

"Lalu kenapa kalian memaksa aku masuk ke dalam peperangan manusia? Manusia mempunyai sifat tamak, dan tak pernah segan menghancurkan dan membunuh kaum mereka sendiri. Katakan, kenapa aku harus peduli pada mereka? Kenapa aku harus membantu manusia untuk melawan manusia yang lain? Apa kalian yakin orang-orang yang akan kalian bantu lebih baik daripada orang yang lain? Dan kalaupun iya, apa urusanku di sana?"

Piri dan Yara tak mampu menjawab. Pertanyaan-pertanyaan itu terlalu sulit untuk mereka jawab. Apalagi karena semakin banyak hewan itu berkata-kata, semakin tampak pula bahwa kata-katanya itu memang benar dan sulit untuk dibantah.

"Aku tahu ini masalah yang sulit untuk kalian putuskan, walau menurutku sebenarnya sangat mudah. Kalian telah diminta oleh Tuan Karili, dan kalian berhutang budi padanya. Tetapi kalian adalah keturunan para kesatria. Kalian bisa memutuskan apa pun yang menurut kalian paling baik, dan semua orang harus mendengar. Kau memiliki cincin itu, kau tahu kekuatan yang ada di dalamnya. Jika kau berani menggunakan itu padaku, kenapa kau tak berani menggunakannya pada manusia? Apa karena aku seekor hewan, yang hanya patut menerima perintah dari manusia?"

"Hei, biarkan Yara berpikir!" Piri tiba-tiba kesal, yang disebabkan oleh kata-kata Grayhayr yang kelihatannya benar, dan karenanya justru telah membuat Yara menjadi bingung dan tertekan. "Apa pun keputusan Yara, kamu tetap harus patuh!"

"Aku sangat mengerti itu." Grayhayr Emas mengangguk. "Silakan kalian berpikir dan memutuskan. Aku akan patuh."

Setelah itu dia menunduk dan memejamkan matanya, seolah hendak tidur kembali untuk waktu yang sangat lama.

Hening, Piri dan Yara saling menatap. Dalam gelisah keduanya membiarkan si burung raksasa meringkuk di dasar gua.

Yara menggigiti bibirnya. "Aku yang harus memutuskan ini?"

"Iya. Kamu," jawab Piri.

"Bukan kamu?"

Piri menggeleng, dan ia tak perlu memberitahu kenapa. Anak perempuan itu pasti sudah tahu. Yaralah sang pemegang cincin. Dia keturunan Gorhai sang penguasa Frauli di masa lampau, jadi dialah yang berhak memutuskan.

"Aku akan coba memanggil roh ayahku," Yara berbisik.

"Ha? Bagaimana caranya?" tanya Piri bingung.

"Kamu ingat? Ayahku, Tuan Guiras dulu muncul sebagai roh dan berkata pada Tuan Karili?"

"Tapi dia muncul di rumahnya."

"Mungkin dia mau juga muncul di sini," kata Yara. Mata berbinarnya muncul sesaat. "Biar aku mencobanya."

Piri belum tahu bagaimana Yara hendak melakukannya. Apakah dengan cara seperti mereka biasanya memanggil orang biasa?

Yara mengangkat tangannya, melihat jauh, lalu memanggil, "Ayah! Tuan Guiras! Bisakah kamu muncul untuk membantuku?"

Piri bengong. Ia mengikuti arah pandangan Yara ke mana pun anak perempuan itu melihat. Di bawah, Grayhayr Emas membuka matanya dan mengangkat kepala, lalu menatap dengan serius.

Piri pun mulai terpikir, jangan-jangan roh itu memang bisa dipanggil, dan sekarang akan benar-benar datang!

"Ayah! Aku butuh bantuanmu!"

Sepi. Tak ada apa pun. Wujud ataupun suara.

"Ayaaahhh! Tuan Guiraaas!"

Tetap tak ada yang muncul.

Sunyi. Sampai lama sekali.

Yara termenung. "Kelihatannya tidak bisa. Aku memang tidak akan bisa melihat ayahku, atau mendengar suaranya."

"Mungkin bisa nanti." Piri coba tersenyum, lalu memberi perumpamaan. "Anggap itu sebagai impian, seperti kamu dulu memimpikan bisa memeluk awan. Ternyata kemudian bisa, kan?"

Yara menggeleng. "Dulu ada grayhayr yang membantu kita pergi ke awan. Kita tetap tidak bisa melakukannya sendiri."

"Hei, tidak penting ada yang membantu atau tidak. Yang penting kamu bisa meraih apa yang kamu mau," kata Piri. "Siapa tahu nanti akhirnya kamu bisa juga melihat roh ayahmu."

Yara menghela napas panjang. "Tapi kita butuh sekarang. Aku butuh sarannya sekarang."

"Mungkin tidak."

"Maksudmu?"

"Kamu bisa memutuskannya sendiri."

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now