Bab 56 ~ Para Pencuri

34 22 2
                                    

"Baiklah." Piri akhirnya mengangguk. "Baju itu pas di tubuhmu?"

"Kelihatannya begitu," jawab Yara sambil memperhatikan lipatan baju di tangannya.

"Ya sudah, pakailah."

"Yang ini untukmu."

Kedua anak itu memakai pakaian yang mereka ambil dari samping rumah. Ada baju, dan juga celana pendek. Setelah itu mereka pergi dan berusaha tidak menimbulkan suara. Mereka berusaha pergi sejauh mungkin.

Sayangnya, mata mereka tidak seperti rubah. Mereka hanya bisa bergerak dengan lambat dalam gelap.

Begitu sampai di dekat sebuah pohon besar Piri berhenti. "Malam ini kita sembunyi dan tidur di atas. Kita lanjutkan perjalanan besok pagi. Aku lihat dari rumah itu ada jalan setapak ke arah sana."

"Kita mau mengikuti jalan itu?" tanya Yara sambil memanjat.

"Di sampingnya. Supaya tidak terlihat orang."

"Laki-laki itu pasti akan mencari ke mana-mana besok pagi, mungkin sampai ke jalan itu," kata Yara sesampainya di atas batang pohon yang terbesar.

Di situ ada cekungan yang cukup sebagai tempat istirahat untuk mereka berdua. Agak sempit, jadi keduanya harus duduk dengan saling merapatkan tubuh.

"Dia akan lebih banyak mencari ke hutan," jawab Piri yang tiba di sampingnya. "Tempat rubah merah itu berasal."

Yara bergelung, dan Piri memeluknya. Keduanya terdiam.

"Tentang baju yang kita pakai ini," ujar Yara ragu, "aku baru saja berpikir. Pasti baju ini ada yang punya."

Piri menghela napas. "Milik anak dari laki-laki besar itu?"

"Ya," jawab Yara pelan. "Menurutmu, dia tinggal di sana?"

"Kita tidak melihatnya."

"Bukan berarti dia tidak ada di dalam sana. Aku ... merasa tidak enak. Aku mengambil bajunya. Dia pasti sedih."

"Jangan dipikirkan."

"Aku mengambil baju yang bukan punyaku!" seru Yara. "Itu tindakan buruk."

"Laki-laki itu melakukan hal yang buruk juga dengan menangkap rubah-rubah itu!" balas Piri.

"Apa berarti aku jadi boleh melakukan hal yang buruk? Lagipula yang melakukannya adalah laki-laki itu, bukan anaknya."

"Lalu kamu mau apa sekarang?" tanya Piri bingung.

"Aku tak tahu." Yara menggeleng.

"Kita butuh baju ini, sementara anak itu pasti punya baju lain di sana. Salah sendiri bajunya diletakkan di luar rumah. Kita tidak salah. Maksudku, kita tidak terlalu salah." Piri mengatakan apa yang bisa dia katakan untuk membuat Yara tidak perlu merasa bersalah. "Tidur sajalah. Besok kita tak akan lagi memikirkan hal ini."

Yara tak menjawab, tak lagi mengatakan apa pun malam itu. Ia merapatkan tubuhnya, dan tidur lebih cepat daripada Piri.

Esoknya, ketika Piri terbangun, ternyata Yara sudah lebih dulu terbangun, walaupun tubuhnya masih bergelung. Piri jadi tak yakin apakah sebenarnya Yara benar-benar tidur. Mata anak perempuan itu tampak sembab, dan wajahnya kuyu.

"Kamu tidak tidur?" Piri setengah menuduh.

"Tidur. Tapi mungkin kurang ...."

Awalnya Piri ingin bertanya apakah gara-gara soal baju yang membuat pikiran Yara terganggu, tapi ia lalu membatalkannya. Ia tak ingin pikiran Yara terus terganggu dengan hal itu, maka sebaiknya mereka tak membicarakannya sama sekali.

"Sudah, kamu tidur saja lagi," tukas Piri. "Toh kita tidak perlu buru-buru. Biar aku saja yang turun, aku mau mencari buah-buahan."

Tanpa menunggu jawaban Piri turun dari atas pohon. Di bawah ia lalu mendongak. Setelah yakin Yara mau menuruti kata-katanya dan mencoba kembali tidur Piri memandang berkeliling, mencari pohon yang buah-buahannya ia kenal. Karena tidak menemukan satu pun, ia lalu berjalan menjauh dari tempat itu.

Piri mencari dan mencari, dan karena belum menemukan pohon yang cari, ia semakin menjauh. Ia tak sadar, bahwa sebenarnya ia kembali berjalan mendekat ke rumah si penangkap rubah.

Hutan kelihatan berbeda saat gelap dan terang. Ia pun tertegun ketika kemudian menyadari ia sampai di balik pepohonan tempat ia dan Yara kemarin bersembunyi, tak jauh dari rumah.

Si laki-laki bertubuh besar berdiri di halaman, dan di sebelahnya ada anak perempuan, masih kecil, seperti Piri dan Yara. Rambutnya panjang, berwarna cokelat. Anak itu menangis.

Ayahnya berkata, "Sudahlah, Ayah belikan baju lagi nanti."

"Ini salahku," kata anak itu. "Aku lupa memasukkannya."

"Tidak, itu bukan salahmu, Erin. Yang salah adalah para pencuri yang mengambil bajumu!"

"Mereka juga mengambil rubah-rubah itu. Jahat sekali!"

"Ya, mereka para pencuri yang jahat."

Piri tersentak mendengar kata-kata mereka. Kedua orang itu justru menganggap ia dan Yara yang jahat.

Piri ingin membantah ucapan laki-laki itu, tapi bagaimana mungkin? Mereka memang telah mengambil baju anak itu, dan karenanya mungkin memang pantas disebut sebagai pencuri.

Piri kembali ke tempat Yara dengan hati gundah. Ia sama sekali tak membawa buah-buahan seperti yang ia rencanakan semula. Ia benar-benar lupa, karena pikirannya dipenuhi kata-kata si laki-laki penangkap rubah pada putrinya.

Yara masih berada di atas pohon. Setelah memandangi Piri, mungkin dia heran kenapa wajah Piri kini tampak lesu.

Dia bertanya, "Kenapa? Kamu belum mendapat buah? Tidak apa-apa. Kita lanjutkan perjalanan saja. Kita akan temukan nanti di jalan."

Piri menggeleng lesu. "Aku tidak memikirkan itu. Aku tadi melihat si penangkap rubah dan anaknya. Apa yang kamu katakan semalam benar, anak itu sedih karena bajunya kita ambil."

Senyuman di wajah Yara seketika menghilang. Anak perempuan itu terdiam. Ia turun dari atas pohon tanpa berkata-kata.

Sesampainya di bawah ia berkata, "Akan kukembalikan bajunya."

"Apa? Kamu tidak takut?"

"Aku takut, Piri. Laki-laki itu pasti marah, dan mungkin akan melakukan sesuatu pada kita. Tetapi kita tetap harus mengembalikannya."

"Tadi ... aku lihat sepertinya ia tidak begitu jahat. Ia berbicara pada anaknya dengan baik dan sopan. Jadi mungkin tak masalah jika kita tidak mengembalikan baju-baju ini. Kita tetap bisa pergi."

Yara menggeleng. "Aku tidak bisa ..."

Piri termangu. "Ya ... aku tahu."

"Aku juga harus minta maaf karena mengambil bajunya."

"Nah, kalau ini aku tidak setuju," tukas Piri. "Kita tidak perlu mengatakan apa pun. Memangnya laki-laki itu mau meminta maaf pada semua rubah karena telah menangkap mereka? Kita cukup letakkan bajunya di depan rumah diam-diam, setelah itu pergi."

Yara hanya diam, tak membantah. Sebenarnya Piri setuju saja dengan keinginan Yara bahwa mereka sebaiknya meminta maaf. Tapi kalau gara-gara itu nanti mereka bisa celaka, buat apa?

Yara membuka bajunya, dan Piri mengikutinya. Setelah keduanya telanjang mereka berjalan ke arah rumah kayu. Keduanya tidak saling berbicara, tapi Piri menggandeng tangan anak perempuan itu, berharap bisa merasakan jika seandainya Yara berubah panik.

Begitu keluar dari semak belukar napas keduanya tertahan. Mereka melihat si laki-laki dan anaknya sedang berada di halaman.

Si laki-laki tengah memanggul kurungan-kurungan besinya yang telah kosong, dan berkata pada anaknya, "Tetaplah di dalam, dan kunci pintunya rapat-rapat. Ayah tidak akan pergi lama. Begitu perangkap ini Ayah pasang lagi di hutan, Ayah segera kembali."

Lalu laki-laki itu kemudian tertegun, sepertinya bisa merasakan kehadiran Piri dan Yara. Dengan cepat dia menoleh.

Tatapannya beradu dengan tatapan Piri.

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now