Bab 58 ~ Kota Perbatasan

31 23 0
                                    

Piri nyengir mendengar tawaran Tuan Rolin. "Bolehkah?"

"Tentu saja. Kota yang akan kutuju adalah Oberta, dan ada di perbatasan negeri ini dengan negeri lain. Di sana ada jalan menuju Suidon, Kalani, Frauli atau Mallava. Kalian tinggal pilih mau pergi ke mana."

Piri menoleh. Setelah melihat Yara mengangguk, ia menjawab, "Baiklah, kami ikut."

"Kita pergi sebentar lagi. Tapi sebelum itu ada baiknya kuberi sedikit nasehat, karena aku pasti tak bisa terus menemani kalian. Di Oberta ada orang baik, ada pula orang jahat. Setelah kita berpisah, kalian harus berhati-hati memilih orang yang bisa kalian percayai. Kota itu bukan tempat yang ramah untuk anak-anak."

Piri paham, karena dulu mereka pernah mengalami sendiri, bertemu orang-orang jahat dan terlibat dalam petualangan berbahaya. Ia berharap pengalaman itu bisa membuatnya lebih waspada, tapi ia tetap tidak yakin. Tidak semua orang jahat berpenampilan seperti orang jahat, begitu pula mungkin sebaliknya.

Mereka berangkat saat tengah hari, melewati jalan setapak menembus hutan yang tidak terlalu lebat. Piri dan Yara sudah terbiasa berjalan jauh dan kaki-kaki mereka kuat, tetapi perjalanan cukup lambat karena Erin tidak bisa berjalan cepat. Ketika anak perempuan itu lelah, ayahnya menggendongnya.

Tuan Rolin berkata mereka akan mampir di desa terlebih dulu. Ia tak menjelaskan alasannya, dan Piri serta Yara pun tak bertanya.

Desa itu mereka capai tak lama kemudian. Letaknya di tepi hutan. Di sana ada jalan berbatu yang jika disusuri terus sepertinya akan menuju Oberta.

Tuan Rolin mengajak anak-anak menunggu di tepi jalan. "Kita akan menumpang gerobak Tuan Arabi."

Tak lama gerobak yang dimaksud itu datang. Piri teringat gerobak Tuan Rodik yang dulu ia naiki bersama Yara dan Tero saat mereka dibawa ke Rumah Merah. Gerobak ini serupa, mempunyai empat buah roda besar yang terbuat dari kayu dan besi, dan ditarik seekor kuda. Kusirnya, Tuan Arabi, seorang bertubuh gemuk dengan kumis tebal di atas bibir.

Di dalam gerobak sudah ada empat orang lainnya. Dua orang laki-laki dan dua orang perempuan yang sudah dewasa. Erin, Yara dan Piri diangkat naik ke gerobak oleh Tuan Rolin.

Sebelum Tuan Rolin ikut naik, terdengar panggilan, "Rolin!"

Tuan Rolin menoleh pada laki-laki kurus yang mendatanginya.

"Mana? Kau tidak membawa rubah-rubahmu?" tanya si laki-laki kurus dengan pandangan menyelidik ke dalam gerobak.

"Belum," jawab Tuan Rolin singkat. Ia tampaknya enggan bicara dan segera naik ke gerobak. Ia melambai pada Tuan Arabi yang duduk di depan, memberi tanda bahwa mereka siap pergi.

"Ingat, Rolin, bagianku!" kata laki-laki kurus itu lagi.

"Akan kukembalikan kurunganmu nanti, jangan khawatir."

"Kubilang, bagianku, Rolin!"

Tuan Rolin tidak menjawab.

Gerobak mulai berjalan melewati jalanan berbatu.

Ketika laki-laki bertubuh besar itu menatap Piri yang duduk di seberangnya ia tersenyum pahit.

"Dia pemilik kurungan besi itu, Tuan?"

"Orang yang menyebalkan, ya?"

"Kalau dia menyebalkan, kenapa kamu meminjam barang darinya?"

Tuan Rolin tertawa. "Pertanyaan yang bagus."

Rombongan gerobak Tuan Arabi melewati jalanan berbatu yang membelah hutan lebat yang membentang di sisi kiri, dan padang rumput serta sungai kecil yang memanjang di sisi kanan. Mereka melintasi daratan yang terik dan berdebu di mana hanya ada beberapa pohon kecil yang tumbuh di sudut jalan.

Menjelang sore mereka sampai di kota Oberta yang terletak di kaki bukit.

Setiap tempat yang mereka lewati sebelum mencapai kota itu terasa sunyi, dan seingat Piri ia hanya melihat dua gerobak lain yang berpapasan dengan mereka. Namun sesampainya di kota ia terpana. Oberta kota yang besar, penuh bangunan terbuat dari kayu ataupun batu, kecil maupun besar, di sisi kiri dan kanan jalan. Ada begitu banyak benda, sebagian besar terlihat asing. Berbagai peralatan dari kayu, besi dan kain bertumpuk-tumpuk atau tergantung di dalam rumah-rumah yang dindingnya terbuka. Roti dan buah-buahan beraneka warna tergelar di meja para pedagang.

Namun bukan itu yang membuat Piri dan Yara takjub. Mereka lebih kagum melihat banyaknya orang dengan wajah dan warna kulit berbeda-beda serta beragam baju beraneka warna. Orang-orang itu saling berteriak, entah apa yang sedang mereka lakukan, tapi sepertinya itu hal yang biasa di kota.

Piri dan Yara saling menatap, gembira. Ini adalah keramaian yang belum pernah mereka lihat seumur hidup.

"Beda sekali dengan Jampa atau desa yang tadi kita datangi," bisik Piri pada Yara di sampingnya.

"Kita harus mencari tahu ke mana arah negeri Suidon, atau orang yang bisa mengantar kita ke sana," kata Yara, yang lalu menoleh. "Kamu bisa menanyakan itu ke mereka?"

"Tanya pada siapa?"

"Aku tak tahu. Tapi kalau nanti kota-kota di Suidon seramai ini, bagaimana caranya menemukan Kaia ya?"

"Kita akan menemukan caranya. Kamu ingin terus pergi, kan? Atau cukup sampai di sini, dan sudah waktunya kita pulang?" Piri meringis.

"Sudah kubilang, aku suka melihat hal-hal baru," tukas Yara.

Tuan Rolin yang duduk di depan mereka menoleh. "Kalian sudah punya rencana? Kalau belum, lebih baik ikut kami."

Mereka turun dari gerobak. Setelah berbicara beberapa patah kata dengan si pemilik gerobak Tuan Rolin mengajak anak-anak menyusuri jalanan kecil di tengah kota. Piri dan Yara harus sering-sering merapat dan menghindar agar tidak tertabrak orang-orang bertubuh besar yang lewat di sekitar mereka.

Mereka sampai di rumah berdinding kayu yang di depannya duduk beberapa orang yang sepertinya tengah menunggu sesuatu. Di antara orang-orang itu ada yang tangan kanannya dibebat kain putih, ada yang duduk dengan tubuh menggigil, ada pula yang sedang memegangi perut sambil meringis.

Piri dan Yara bergidik. Orang-orang itu sakit dan sedang menunggu diobati oleh si tabib yang tampaknya adalah pemilik rumah ini. Tuan Rolin dan Erin ikut mengantri dan duduk di bangku yang tersedia di depan rumah. Namun Piri dan Yara pergi ke seberang jalan, ke tempat yang lebih sepi. Saat giliran Erin datang Tuan Rolin membawa putrinya masuk ke rumah.

Piri dan Yara menunggu. Keduanya memperhatikan, saat petang kota tak lagi ramai. Hanya tinggal sedikit orang yang lalu lalang, dan sebagian adalah para prajurit bersenjatakan tombak. Prajurit Mallava, jika dilihat dari bajunya yang berwarna biru dan hitam serta bercelana putih.

Piri dan Yara menahan napas, tegang, dan segera menarik diri bersembunyi di balik kotak bekas yang bertumpuk di sisi jalan. Piri teringat pengalaman mereka saat ditangkap Kapten Morat. Ia tak yakin prajurit di Oberta ini mengenali mereka. Tetapi lebih baik mereka berhati-hati dan tak menampakkan sosok mereka di dekat para prajurit itu.

"Kita membahayakan diri kita sendiri," bisik Yara gelisah.

"Yang penting kita tidak terlihat selama berada di sini."

"Kita harus cepat pergi. Besok. Ke Suidon. Bagaimana?"

Piri menggeleng ragu. "Kita tidak kenal siapa-siapa. Kita bilang dulu pada Tuan Rolin. Mungkin dia bisa membantu—"

Ucapannya terhenti. Pandangannya tertuju pada sosok laki-laki yang melintas di depan mereka. Yara mengikuti pandangannya, dan keduanya menahan napas.

Laki-laki itu jangkung. Langkahnya lebar, tetapi tidak tergesa-gesa. Ia mengenakan baju luar yang panjang mencapai lutut, dan kedua tangannya dimasukkan ke saku di samping bajunya. Topi lebarnya menutupi rambutnya yang panjang sampai ke leher.

Wajahnya tak terlihat, tapi anak-anak tahu, mereka YAKIN, itulah sosok yang paling mereka takuti dulu, dan juga sekarang. TuanRodik.

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang