Bab 37 ~ Menyusup Masuk

38 25 0
                                    

"Sekarang mari kita bagi tugas," kata Rufio. "Tiga orang berjaga di luar pagar sambil memegang kunci. Tero, Yara dan Kaia. Piri dan Kasen berjaga di halaman ini. Sedangkan aku akan memeriksa gudang. Jika Pofel tidak ada di sana, aku akan mencari cara masuk ke dalam rumah. Kau bilang kamar anak-anak ada di lantai tiga, Kasen?"

"Ya ..."

"Aku mungkin akan memanjat."

"Itu berbahaya." Kasen menggeleng.

"Hanya itu yang terpikir," Rufio memandang wajah setiap anak. "Nanti, jika terjadi apa-apa, kalian pergi saja. Mudah-mudahan anak-anak yang lain bisa ikut. Jika tidak, kalian berlima harus menyelamatkan diri. Kunci pintu gerbangnya dari luar, dan lari."

"Kami tak ingin terjadi apa-apa denganmu," kata Yara lirih.

"Aku juga tidak ..." jawab Rufio.

"Kami akan berjaga," Kasen berkata.

Semuanya setuju, rencana berikutnya pun dilaksanakan.

Tero, Yara dan Kaia pergi keluar pagar dan menunggu di tempat mereka sebelumnya. Kunci dipegang oleh Tero. Kasen dan Piri bersembunyi di halaman. Golik masih pulas telentang di belakang mereka dengan tangan dan kaki terikat.

Rufio berlari menyusuri jalan di samping rumah. Ia memeriksa gudang, yang ternyata terkunci. Di sana ia berbisik memanggil-manggil adiknya, kemudian menggeleng dengan wajah kecewa.

Tanpa membuang waktu ia memanjat pohon tinggi yang dekat dengan dinding Rumah Merah. Pohon itu memiliki sebuah dahan yang memanjang sampai mendekati jendela kamar. Dahan itu tidak terlalu besar, sehingga Piri sebenarnya ragu apakah dahan itu bisa dinaiki.

Piri berpikir, mungkin kalau dia yang naik malah tidak akan ada masalah, karena tubuhnya lebih ringan dan dahan tidak akan patah. Pikiran buruk pun menghampiri. Piri teringat saat ia membiarkan Tero memanjat pohon allumint di pinggir tebing, yang mengakibatkan dahan yang diinjak Tero patah. Semoga kejadian serupa tidak terjadi lagi sekarang!

"Mungkin dia bisa duduk di dahan itu," kata Kasen sambil memandangi Rufio yang sudah memanjat semakin tinggi. "Asal dahannya tidak diinjak terlalu lama. Jadi dia harus menjejak sebentar saja, lalu cepat-cepat melompat ke dinding rumah."

"Jaraknya ke dinding cukup jauh." Piri menggeleng khawatir. "Dia bisa jatuh ..."

"Mudah-mudahan bisa."

"Lalu bagaimana setelah dia sampai di dinding? Apa tidak apa-apa mengetuk jendela itu?" Piri memandangi jendela yang masih tertutup rapat. Di baliknya adalah kamar anak perempuan, yang kini gelap karena lilin-lilin sudah dimatikan.

"Semoga masih ada anak yang belum tidur, jadi bisa membukakan jendela."

"Mereka tidak kenal dia. Belum tentu mereka mau membuka jendela."

"Mereka akan membukanya," jawab Kasen yakin. "Kami dulu pernah membicarakan soal ini. Saat kami sedang sedih karena tidak bisa pergi, kami lalu berandai-andai, suatu hari nanti akan ada seseorang yang datang dari balik jendela, untuk menyelamatkan kami. Jika itu terjadi, kami harus membuka jendela dan membiarkan orang itu masuk."

Piri tersenyum, lalu mengangguk.

"Rufio akan jadi pahlawan, dan Pofel pasti bangga." Lalu raut wajah Kasen berubah tegang. "Tapi mudah-mudahan Pofel tidak dihukum berat gara-gara tadi pagi. Dia sudah dua kali mencoba kabur, aku takut—"

Ucapannya terhenti, karena tiba-tiba terdengar pintu depan terbuka.

Cepat-cepat Piri dan Kasen merunduk di balik pohon.

Dari dalam rumah keluar Tuan Dulum, masih dengan gayanya yang khas: tubuh tegak dan kepala terangkat. Laki-laki itu menatap ke arah pintu gerbang, yang kini sudah kembali ditutup, walaupun tidak terkunci.

Tentunya ia tak bisa tahu kalau gerbang tak lagi terkunci, jadi yang kemudian membuat wajahnya kesal adalah hal lain, yaitu tidak adanya sosok Golik yang seharusnya berjaga di sana.

"Golik!" Ia memanggil. "Golik!"

"Ada apa, Tuan Dulum?" Suara lain terdengar.

Nyonya Kulip menyusul keluar.

"Golik tidak ada di tempatnya, Nyonya," kata Tuan Dulum kesal. "Mungkin ke kamar kecil di sebelah gudang."

"Panggil dia. Bilang, jangan sering-sering meninggalkan gerbang."

"Sudah sering, Nyonya. Anda sudah kuperingatkan dulu, sebaiknya kita tidak lagi menggunakan Bolan dan Golik. Keduanya tidak becus. Sering mabuk dan ketiduran, sering meninggalkan pos. Seharian Bolan juga belum muncul. Padahal apa susahnya menangkap anak-anak itu? Jangan-jangan dia tidur di hutan, atau pergi ke Jampa."

Baru kali ini Piri mendengar Tuan Dulum bicara panjang lebar. Tampaknya dia benar-benar kesal.

"Tak perlu menceramahiku, Tuan Dulum," balas Nyonya Kulip dingin. "Kalau kau memang bisa mencarikan aku penjaga yang lebih baik, maka lakukanlah segera. Besok Tuan Rodik akan datang. Kau mau dia yang menjadi penjaga di sini?"

Tuan Dulum terdiam, setelah itu menjawab, "Maafkan aku, Nyonya."

"Cari Golik. Suruh dia bekerja lebih baik, atau aku akan memotong upahnya."

Nyonya Kulip masuk kembali ke rumah, sedangkan Tuan Dulum turun ke halaman.

Laki-laki itu kembali memanggil, "Golik!"

Karena tidak ada jawaban, ia pun berjalan ke samping rumah, mendekat ke tempat anak-anak bersembunyi.

Napas Piri tertahan, demikian pula Kasen. Keduanya melirik sejenak ke arah Golik, yang untungnya masih pingsan, lalu merapat, berharap semak belukar dan batang pohon besar di samping mereka bisa menyembunyikan tubuh ketiganya.

Tuan Dulum ternyata berjalan terus di depan Piri dan Kasen. Kekhawatiran kedua anak belum berakhir. Tuan Dulum berbelok lalu menyusuri jalan kecil di samping kiri Rumah Merah.

Tampaknya ia hendak menuju gudang di ujung halaman, yang berarti ia akan melewati pohon besar yang di atasnya ada Rufio.

Piri dan Kasen mendongak, berharap Rufio bisa bersembunyi di atas. Keduanya tertegun. Rufio tidak terlihat, tetapi bukan karena bersembunyi, dia memang benar-benar tidak ada di sana! Ke mana dia pergi?

Piri dan Kasen melihat ke segala arah. Dia menghilang ke mana?

Tuan Dulum terus berjalan. Tak lama ia sudah sampai di dekat gudang dan kembali memanggil, "Golik! Tuan Golik!"

Begitu menyadari Golik tidak ada di sana, Tuan Dulum berbalik. Matanya menatap ke sekelilingnya dengan curiga.

Piri dan Kasen bersembunyi semakin rapat. Dada Piri berdebar semakin kencang. Gawat. Sekarang Tuan Dulum akan mencari ke segala sudut, dan dia pasti akan bisa menemukan mereka berdua, dan juga Golik yang tertidur pulas!

"Apa sebaiknya kita lari?" Piri berbisik.

Kasen menggeleng, tidak yakin.

Tiba-tiba terdengar jeritan. Dari belakang rumah, mungkin dapur.

Suara Bibi Molen.

"Kebakaran! Kebakaran!"

Asap membubung tinggi dari balik rumah. Langit yang tadinya gelap berubah merah. Tuan Dulum terperangah, lalu lari ke arah suara.

Piri dan Kasen saling menatap.

"Kebakaran? Tampaknya kita beruntung!" cetus Kasen.

"Aku tahu siapa yang menyebabkannya," kata Piri.

Pasti Rufio! Di satu sisi dia kelihatan begitu baik, pandai dan berani, tetapi di sisi lain, dia berbahaya. Tadi dia memukul kepala orang dengan batu besar, sekarang dia membakar rumah! Tak terbayangkan. Pasti dia melakukan ini dengan batu hitam miliknya.

"Dia benar-benar gila!" Kasen menggeleng-geleng. "Rupanya dia sempat turun saat Tuan Dulum bicara dengan Nyonya Kulip, lalu lari ke belakang. Dia melihat tumpukan kayu bakar di belakang dapur, dan tiba-tiba saja terpikir untuk membakarnya? Gila! Apa yang dia pikirkan? Kalau api semakin besar rumah bisa terbakar, dan anak-anak bisa celaka!"

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldKde žijí příběhy. Začni objevovat