Bab 18 ~ Dinding Kayu

60 32 1
                                    

Pak Jenasin membawa satu mangkuk lagi. Lebih kecil dan berisi tumbukan daun-daun hijau berbau menyengat, dan sebuah benda lain yang berbentuk aneh.

Benda itu seperti mangkuk, namun ada tutup bundar di bagian atasnya. Di sisinya terdapat semacam tangan yang berkelok ke atas seperti leher panjang burung kamio. Lubang kecil tampak di ujung leher tersebut.

Pak Jenasin menggoyangnya perlahan, dan dari suara kecipak di dalamnya tahulah anak-anak bahwa itu adalah tempat untuk menyimpan air.

"Minuman buat kalian," katanya.

Anak-anak minum, kemudian tersenyum geli dan tertawa-tawa sendiri, menyadari bahwa sejak hari pertama kepergian mereka, di luar segala bahaya yang mereka alami, mereka pun menemukan banyak hal baru yang menarik untuk diceritakan.

Berarti benar, pikir Piri, seringkali untuk mendapatkan sesuatu yang tak hebat, mereka harus melakukan sesuatu yang luar biasa juga sebelumnya. Dan jika mereka berani melakukannya, akan terasa bahwa yang luar biasa itu pun sebenarnya tidaklah sulit untuk dilakukan.

Pak Jenasin melumuri pergelangan kaki Tero yang bengkak dengan tumbukan daun-daun lengket dari mangkuk ketiga.

Tero meringis.

"Sekarang kakimu akan terasa panas," kata Pak Jenasin, "tetapi setelah kau beristirahat semalam, rasanya akan lebih enak."

"Berarti harus menunggu lagi," gumam Tero.

"Tidak apa," kata Yara. "Asal kakimu sembuh. Setelah itu kita bisa berjalan lebih cepat."

Piri menoleh. "Ini rumahmu, Pak Jenasin? Apakah dekat dengan sungai yang kemarin?"

"Tidak jauh. Kebetulan kemarin aku berjalan dekat sungai dan melihat kalian, jadi aku bisa langsung membawa kalian kemari."

"Boleh kami keluar dan melihat-lihat?"

Pak Jenasin menggeleng. "Lebih baik kalian tetap di dalam rumah sore dan malam ini. Di luar ... ada binatang buas."

"Binatang buas?" tanya Tero. "Seperti ikan, kupu-kupu bintang dan burung kamio?"

Pak Jenasin tampak bingung. "Bukan. Yang kumaksud itu ular, anjing hutan, dan kerbau liar."

Anak-anak terdiam. Mereka tidak kenal binatang-binatang itu, dan karenanya belum tahu bagaimana harus bereaksi.

"Kalian tidak tahu? Ular bisa menggigit kalian hingga bengkak melebihi bengkak di kaki Tero. Anjing hutan bisa menggigit tangan dan kaki kalian sampai mengeluarkan banyak darah. Kerbau liar bisa menanduk tubuh kalian dengan tanduknya yang panjang dan runcing. Semua binatang itu besar dan berbahaya. Belum yang lainnya, yang bisa berbahaya juga."

Kali ini barulah anak-anak merinding.

"Itu mengerikan!" seru Yara.

"Kalau mau keluar biar kutemani. Sayang aku harus pergi dulu."

"Berarti besok kami boleh keluar?"

"Mmm ... lihat saja besok." Pak Jenasin berdiri terburu-buru. "Maaf, aku pergi dulu. Kalau kalian masih lapar, makanlah buah-buahan itu, dan saat malam tiba, tidurlah."

Dia keluar sambil menutup dinding kayu. Suara langkahnya menjauh, kemudian menghilang.

Piri dan kedua anak lainnya saling memandang, lalu Piri berdiri.

Ia mendekati dinding yang tadi terbuka-tutup. Ada ceruk kecil seukuran telapak tangan di sana, yang tadi selalu dipegang oleh Pak Jenasin saat dia membuka atau menutup dinding.

Piri menyelipkan jemarinya, berusaha menarik dinding kayu tersebut. Tidak bisa. Dinding itu tidak bisa terbuka.

Piri menoleh, kembali menatap Yara dan Tero. Bingung. Takut.

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang