Bab 29 ~ Kawanan Bandit

47 25 2
                                    

Laki-laki bernama Bartok itu menyeringai begitu melihat keterkejutan Tuan dan Nyonya Bumer. "Kalian tidak menyangka bocah ini ada di dalam sana?"

Ia menggeleng-geleng, kemudian mengangkat bahu. "Bukan urusanku. Tapi jelas, dengan tambahan satu penumpang gelap ini berarti kami mendapat tiga." Ia menatap Piri. "Lihat dia, Krog, tubuhnya kecil, tapi lihat matanya. Kelihatannya dia anak yang cerdas dan berani. Aku suka."

Krog, si laki-laki bertubuh besar yang tadi menarik Piri, menatap Piri dengan masam, tampak tak percaya dengan penilaian Bartok. "Kau benar-benar ingin membawa mereka? Mereka hanya akan merepotkan!"

"Bukan urusanmu memikirkan itu," balas Bartok. "Naikkan saja mereka ke kuda. Kita pergi sekarang."

Bartok punya lima anak buah. Semuanya laki-laki, berwajah kasar dengan baju dan topi lusuh. Mereka semua mengendarai kuda, dan Piri harus ikut bersama mereka ... untuk pertama kalinya seumur hidup ... naik hewan bernama kuda itu!

Piri duduk di depan Krog, sementara Yara dan Kaia dibawa penunggang kuda yang lain. Mereka menembus hutan berkabut melalui jalan setapak yang becek. Tak banyak kata-kata. Sepanjang perjalanan hanya terdengar suara derap dan dengus kuda.

Piri sebenarnya ingin bertanya ke mana mereka pergi, tetapi jelas Krog bukan orang yang enak untuk diajak berbicara.

Menjelang petang, setibanya di halaman sebuah rumah kecil di tepi hutan, Krog berkata, "Sudah sampai."

Itu pun lebih seperti gumaman yang ditujukan buat diri sendiri.

Piri diturunkan dari atas kuda, dan bersama Yara dan Kaia untuk beberapa lama anak itu hanya berdiri saja di salah satu sudut halaman.

Piri memperhatikan sekelompok orang yang tampaknya baru datang tak lama sebelum kedatangan rombongan Bartok. Orang-orang itu menurunkan beberapa kantong kain dari atas punggung kuda, kemudian membawanya masuk ke dalam rumah. Jika dihitung, termasuk Bartok dan lima anak buahnya, ada lebih dari dua puluh orang yang berseliweran di rumah itu.

Yang paling menarik perhatian Piri adalah mereka tidak semuanya orang dewasa. Ada satu dua orang yang kelihatannya belum dewasa, bahkan mungkin masih bisa disebut sebagai anak-anak, karena wajah mereka bersih tidak berambut.

Bartok memanggil salah seorang anak itu. "Rufio!"

Anak yang tingginya kira-kira setelinga Bartok itu menoleh. Ia memakai kain panjang berwarna cokelat yang diikat melilit bagian atas kepalanya. Rambutnya hitam, acak-acakan.

Ia mendekat, menatap Piri sejenak, lalu menoleh ke arah Bartok.

"Kau ikut dengan siapa tadi?" tanya Bartok.

"Safin," jawab anak itu.

"Hasilnya bagus?"

"Lihat sendiri saja. Enam kantong. Penuh."

Bartok mengangguk-angguk. "Setelah ini kau bisa ikut aku ke Terata. Tahap distribusi. Mungkin besok atau lusa. Tapi sebelum itu, kuminta kau temani anak-anak ini. Piri, Yara dan Kaia."

Bartok mendorong Piri ke depan, sementara Yara dan Kaia menghindar dan memilih tetap bersembunyi di belakang Piri.

Rufio mengangguk dengan gaya tak peduli.

Setelah Bartok masuk ke dalam rumah dan diikuti beberapa orang, barulah Rufio memandangi ketiga anak dengan sorot mata tajam.

"Bartok mendapatkan kalian di mana?" ia bertanya.

Anak itu tidak merasa perlu untuk memanggil nama Bartok dengan awalan Tuan, pastinya karena dia adalah teman Bartok yang cukup dekat.

"Dari kereta ..." Yara yang menjawab, ragu, tetapi kemudian suaranya menegas. "Dari kereta Tuan dan Nyonya Bumer."

"Siapa itu Tuan dan Nyonya Bumer?"

"Mereka yang mengambil kami dari rumah Nyonya Kulip."

Dahi Rufio mengerut. "Kalian diambil?"

"Katanya kami berdua mau dijadikan anak. Aku dan Kaia. Tuan dan Nyonya Bumer melihat semua anak yang ada di rumah, dan mereka lalu memilih kami."

"Ada banyak anak di sana?"

"Ya," kali ini Kaia yang menjawab. "Dari berbagai kota atau negeri. Kami diambil, lalu tinggal di sana, sampai ada tamu yang datang untuk mengambil kami."

Rufio termangu. "Aku pernah dengar tempat semacam itu, tapi ..." Ia memandangi Yara dan Kaia lekat-lekat, sebelum kemudian menoleh ke arah Piri. "Tadi katanya hanya mereka berdua yang diambil. Lalu kamu siapa?"

"Aku bersembunyi di kereta itu."

"Kenapa kamu sembunyi di sana?"

"Ceritanya panjang," sahut Yara.

"Ceritakanlah," kata Rufio.

Yara sudah siap membuka mulut, tetapi Rufio menahan.

Anak itu menoleh ke kiri dan ke kanan. "Jangan bicara di sini. Di tempatku saja. Aku punya beberapa makanan, sedikit kusisihkan tadi dari kantong-kantong itu. Ayo, kalian pasti lapar."

Piri, Yara dan Kaia mengikuti Rufio menyusuri jalan setapak di antara belukar dan pohon-pohon besar. Hari sudah menjelang petang, dan langit mulai gelap. Terdengar suara air mengalir. Mereka sampai di tepi sungai kecil yang berbatu, sebuah tempat terbuka di tengah hutan.

Rufio menunjuk ke atas sebuah pohon besar. Ada sederet papan kayu yang disusun menjadi dinding dan atap, membentuk semacam rumah kecil.

"Di sana aku biasa tidur. Aku lebih suka tinggal di sana daripada di rumah tadi."

"Kau yang membuat rumah ini? Sendirian?" Yara mendongak sambil menganga kagum. "Hebat! Di tempatku kami juga tidur di atas pohon. Tetapi kami hanya membuat rongga supaya nyaman, dan memberi daun besar di atas, tidak sampai membuat dinding."

"Kalian juga tinggal di atas pohon?" Mata Rufio membesar heran. "Wah, ayo, kalian bisa cerita sambil makan."

Ia menarik seutas tali, menurunkan segulung tangga yang terbuat dari bahan serupa. Dengan lincah ia memanjat dan dalam sekejap sudah sampai di rumah kayunya.

Yara hendak menyusul, namun Piri menahannya.

"Yara," bisiknya hati-hati. "Kamu mau cerita semua ha tentang kita pada dia?"

"Memangnya kenapa?"

"Kita belum kenal dia. Sejauh ini, kita sudah banyak cerita ke banyak orang, tetapi tak ada yang berguna. Pak Jenasin, Tuan Rodik, mereka semua malah membohongi kita."

"Tetapi ada yang percaya juga, kan? Mereka yang membantu kita."

"Siapa?" tanya Piri.

"Anak-anak Rumah Merah." Yara tersenyum.

"Ya, aku percaya kalian," sahut Kaia.

"Jadi karena Rufio termasuk anak-anak, kita bisa mempercayai dia?" tanya Piri tidak yakin. "Belum tentu begitu ..."

"Piri, tidak ada salahnya mencoba."

Akhirnya Piri setuju. Mungkin Yara benar, jika sebelum ini mereka sudah bercerita tentang diri mereka pada orang lain, maka tak ada salahnya mencoba lagi. Siapa tahu Rufio memang bisa membantu, dengan cara mempengaruhi Bartok supaya bisa mengantarkan mereka pulang.

Yara naik ke atas pohon, disusul oleh Kaia, dan terakhir Piri.

Piri dan Yara memandang berkeliling, lalu saling tersenyum.

Keduanya tahu, akan sangat menyenangkan jika nanti mereka bisa tinggal di rumah kayu yang hangat seperti ini, di atas persilangan batang dan dahan yang kokoh, di antara rerimbunan daun.

Rufio mengeluarkan beberapa benda berwarna coklat seukuran telapak tangan. Namanya roti, kalau Piri tidak salah ingat. Ia pernah melihat itu di Rumah Merah. Mereka semua duduk menikmatinya. Walaupun awalnya terasa sedikit aneh dan tidak berair seperti buah-buahan, Piri mengakui bahwa roti ini lumayan enak. Manis dan lembut.

"Sekarang kalian berceritalah," Rufio berkata.

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now