Bab 64 ~ Di Dalam Hutan

32 22 0
                                    

Sesaat setelah fajar rombongan kecil yang dipimpin oleh Tuan Boromai berangkat. Selain Piri, Yara, Rufio dan Kalai, dua laki-laki lain ikut serta. Keduanya adalah pejuang Suidon anak buah Tuan Boromai.

Mereka keluar dari kota Buirine menggunakan lorong rahasia. Mereka masuk lewat lantai bawah rumah Kalai, kemudin dari sana terus menyusuri lorong sempit hingga keluar di tengah hutan. Di sana telah menunggu lima laki-laki lain yang bersenjatakan pedang dan belati. Semuanya lalu melanjutkan perjalanan menembus hutan lebat yang berbukit-bukit. Sepanjang hari mereka berjalan dan hanya beristirahat sejenak saat tengah hari.

Hari berikutnya hutan yang mereka lewati terlihat sedikit terbuka. Jarak antar pepohonan lebih jarang, dan sinar matahari masuk lebih leluasa. Namun datarannya tetap naik turun, sehingga terasa melelahkan.

Di lereng bukit mereka berhenti untuk makan siang.

"Sejauh ini aman," sambil menikmati bekalnya Tuan Boromai berkata pada Piri dan Yara. "Saat petang kita bisa sampai di Frauli."

Ya, kelihatannya semua baik-baik saja, kata Piri dalam hati. Mereka bisa makan dengan tenang, dan sejauh ini anak buah Tuan Boromai yang berjaga di sudut-sudut hutan tidak melihat hal yang mencurigakan.

Piri duduk bersama Yara, keduanya makan sambil bercanda. Namun mendadak kegelisahannya muncul. Ia memandang berkeliling. Pohon-pohon di sekitar mereka tidak terlalu rapat, semak belukarnya pun jarang, jadi ia bisa melihat sampai jauh ke sela-sela batang pepohonan.

Tidak ada orang lain di dalam sana, tapi bukan berarti tidak ada makhluk lain. Piri melihat seekor burung berwarna hitam melintas di antara pucuk pepohonan. Burung itu bertengger di salah satu dahan.

"Gagak," Rufio yang duduk di sebelahnya berkata dengan napas tertahan.

Gugup, ia menoleh dan berkata pada Tuan Boromai. "Kita harus cepat pergi dari sini. Ada yang mengejar kita."

Tuan Boromai bangkit sambil memperhatikan ke sekelilingnya. "Anak buahku tidak melapor ada yang aneh."

"Apa gagak itu tidak kelihatan aneh?" Rufio melirik ke atas, tidak berani menunjuk. "Itu mirip burung yang dulu kulihat bersama Kapten Morat, kalau kau mau tahu."

Tuan Boromai memaki. "Kita pergi sekarang!"

Panik, Piri menggandeng tangan Yara dan lari mengikuti Tuan Boromai. Rufio, Kalai dan yang lainnya. Mereka lari menuruni lereng bukit secepat yang mereka bisa. Semua berharap ketakutan Rufio tadi tidak benar. Tetapi jika benar Kapten Morat ada di belakang mengejar mereka, mereka harus bisa keluar dari hutan dan sampai di wilayah Frauli secepatnya. Di sana para pejuang Frauli mungkin bisa membantu mereka bersembunyi.

Sayangnya, sekeras apa pun mereka berusaha, sepertinya tidak cukup. Derap langkah orang dalam jumlah banyak mulai terdengar dari balik punggung bukit, disusul oleh teriakan-teriakan dari berbagai arah.

Piri berusaha lari secepat mungkin sambil menggandeng Yara, tapi jelas mereka tak mampu mengimbangi kecepatan lari orang dewasa.

Akhirnya Tuan Boromai berhenti dan berkata pada keempat anak, "Kalian, pergi!" Dengan wajah cemas ia memandangi putranya. "Kalai, kau tahu jalan ke Harzay. Pergilah!"

"Tapi, Ayah bagaimana?" tanya Kalai kebingungan dan juga takut.

"Kami baik-baik saja." Tuan Boromai mengeluarkan pedangnya. Gerakan itu diikuti oleh setiap anak buah di sekelilingnya. "Yang penting Piri dan Yara selamat. Jaga mereka, kalian berdua!"" serunya pada Kalai dan Rufio.

Piri merinding. Cengkeraman Yara di lengannya mengencang.

Rufio dan Kalai mengangguk gugup. Kalai masih tampak ingin membantah, tapi Rufio mendorongnya maju dan berseru, "Ayo!"

Keempat anak lari menjauh, sementara Tuan Boromai dan anak buahnya bersembunyi di balik pohon. Rufio mengajak Piri dan dua temannya naik ke dataran yang lebih tinggi. Di sana ada sekumpulan batu berukuran besar.

Tapi Kalai menahan lengan Rufio.

"Hei, kita harus cepat!" bisik Rufio.

"Tunggu ..." Dengan napas memburu Kalai menatap ke tempat ayah dan para anak buahnya bersembunyi.

Di kejauhan sepasukan prajurit Mallava muncul, lari mendekat dengan tombak panjang terhunus. Napas Piri tertahan. Ia dan Yara memandang ngeri. Mereka tahu, sebentar lagi akan ada kejadian paling mengerikan yang belum pernah mereka lihat seumur hidup.

Saling menyerang antar sesama manusia!

Dulu Tuan Ardin pernah bercerita tentang perang yang terjadi antara Mallava dan Frauli. Sekarang, tanpa mereka duga sedikit pun, hal itu akan terjadi di depan mereka.

Begitu prajurit Mallava mendekat, Tuan Boromai dan anak buahnya menyergap. Pedang terayun menebas tubuh para prajurit. Jerit kesakitan terdengar, erang kemarahan menyahut.

Barisan pertama Mallava roboh tanpa sempat bereaksi, tapi barisan berikutnya datang dengan kekuatan penuh. Tombak-tombak panjang teracung dengan jumlah yang lebih banyak dibanding milik Tuan Boromai dan anak buahnya. Tiga banding satu.

Piri dan Yara menggigil, menutup telinga dan memalingkan wajah, tak berani mendengar ataupun melihat.

"Kita pergi!" seruan Rufio terdengar saat anak itu menarik tangan Piri lepas dari telinganya.

"Tapi ... ayahku ...." Kalai menggeleng-geleng, hamper menangis.

"Kita harus pergi, Kalai!" kata Rufio lebih keras. "Percayalah, kau tak akan mau melihat apa yang terjadi! Ayahmu meminta kita pergi membawa Piri dan Yara sampai selamat. Turuti kata-katanya!"

Akhirnya Kalai setuju. Rufio menarik Piri dan Yara, memaksa keduanya ikut membalikkan badan, kemudian kembali menjauh dan terus berlari. Mereka melewati pepohonan dan tanah berbukit-bukit, secepat yang mereka bisa.

Piri merasa begitu lelah, dan napasnya mulai putus-putus, tapi ia tak boleh berhenti. Ia menarik Yara yang mulai kepayahan juga.

"Ayo, Yara. Jangan berhenti. Ayo!"

"Sebentar lagi ... ada sungai," sahut Kalai yang lari paling depan sambil terengah-engah. "Setelah itu ... kita masuk negeri Frauli."

"Apa ada yang menunggu kita?" tanya Rufio dari belakang.

Kalai tidak menjawab.

Mereka sampai di tepi sungai. Sungai itu lebar dan airnya tidak begitu deras. Rufio dan Kalai mencari bagian sungai yang dasarnya dangkal dan bisa mereka lewati.

Tak lama Kalai berseru, "Di sini!"

Anak-anak mengikutinya dan menyeberangi sungai dengan hati-hati. Di seberang mereka lalu beristirahat, mengatur napas.

"Sepertinya orang-orang Mallava itu tidak mengejar kita," kata Kalai dengan napas tersengal.

"Mungkin ayahmu berhasil menahan mereka," kata Rufio.

Kalai mengangguk, walau masih tampak gelisah.

"Kamu bilang tadi ada yang menunggu kita di sini." Piri memandang berkeliling. Sejauh ini yang ia lihat hanya pohon, tidak rapat tapi di mana pun sepertinya tak ada yang lain. "Di mana?"

"Aku tidak bilang para pejuang Frauli akan menunggu di sini," tukas Kalai kesal. "Aku hanya bilang ini sudah masuk negeri Frauli, dan mudah-mudahan kita bisa bertemu mereka di dekat sini. Kita harus berjalan lagi."

"Mungkin kita justru akan bertemu prajurit Mallava," Rufio mengingatkan. "Sebaiknya kita tetap berhati-hati."

Anak-anak melanjutkan perjalanan. Dengan lebih tenang dan tak lagi berlari, walau beberapa kali Kalai menoleh ke belakang, khawatir.

Melihatnya Piri pun berharap Tuan Boromai bisa selamat dari kepungan prajurit Mallava, entah bagaimana caranya.

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now