001. The Past

15.9K 974 236
                                    

˙˚ʚ('◡')ɞ˚˙
Author : T97
English Translator : Lianyin
Indonesian Translator : shenyue_gongzu
.
.
.

"Apa yang kau lihat?"

"Gunung mayat. Lautan darah."

"Mengapa kau datang?"

"Untuk membunuh."

"Jing Lin." Buddha Sejati menurunkan pandangannya dengan belas kasih. "Berbalik, dan keselamatan sudah dekat."

*Dari 苦海 无边 , 回头 是 岸 secara harfiah, lautan kepahitan tidak memiliki batas, berbaliklah untuk melihat pantai. Tidak ada kata terlambat untuk bertobat; bertobat, dan keselamatan sudah dekat.

Jing Lin mengangkat kepalanya dan cahaya memancar dari tubuhnya. Matanya membeku, dan pakaiannya berlumuran darah. Bagian depan pedangnya menjuntai ke tanah, menggaruknya. Dia dikelilingi oleh lautan darah yang tak terbatas, dengan dewa dan Buddha yang tak terhitung jumlahnya di atas.

Jing Lin berkata dengan lembut, "Sudah terlambat."

Jing Lin menginjakkan kakinya di tangga, dan tiga ribu prajurit armor di antara awan mundur secara bersamaan. Setiap langkah yang diambilnya, tiga ribu prajurit mundur selangkah. Semua orang diam seperti jangkrik di musim dingin saat mereka berhadapan langsung dengannya. Dia jelas hanya satu orang, tetapi Dewa Langit dan Bumi berperilaku seolah-olah mereka dihadapkan dengan musuh yang tangguh. Dia berjalan perlahan seolah-olah dia hanya berjalan-jalan santai. Seolah-olah, dia masih Lord Lin Song (Gelar JingLin) yang sama yang dikenal semua orang.

*噤若寒蝉 secara harfiah diam seperti jangkrik di musim dingin; untuk diam karena takut.

Kolam Teratai Fan Tan beriak, berubah menjadi keruh karena tetesan darah yang menetes. Li Rong, komandan Tiga Ribu Prajurit Lapis Baja Surga, berlutut di kolam teratai dengan tombak panjang di tangannya dan berteriak dengan suara serak, "Jing Lin, kenapa kau melakukan ini? Setelah hari ini berakhir, kau tidak akan punya tempat tujuan. Berapa banyak kebencian dan dendam yang kau miliki? Bahkan jika dia salah, dia harus diserahkan ke Ninth Heaven (Surga Kesembilan) untuk dihukum. Mengapa kau tidak mengatakan sesuatu? Mengapa kau tidak pernah mengatakan sesuatu? Kau selalu sangat ingin menempuh Jalan-mu sendiri, bahkan sampai diasingkan dan ditinggalkan oleh teman dan sekutu. Jing Lin—–!"

Li Rong memuntahkan darah. Matanya merah, dan seluruh tubuhnya gemetar, tersedak oleh isak tangis.

"—–apa kau tidak ingin hidup?"

Jing Lin sudah mencapai anak tangga terakhir. Seolah-olah dia telah menyingkirkan semua perasaan hangat dan lembut itu, hanya meninggalkan rasa dingin yang menusuk tulang. Buddha Sejati Fan Tan mengambil sekuntum bunga di tangannya dan menghadap Jing Lin saat para biksu di belakangnya melantunkan sutra secara serempak. Langit dipenuhi dengan banyak orang, tetapi tidak satupun dari mereka berdiri bersama Jing Lin. Bilah pedangnya menepuk tanah dengan ringan. Dia akhirnya menghentikan langkahnya.

Peti mati emas besar tanpa penutup diletakkan secara horizontal di depan Buddha. Seorang pria terbaring di peti mati di bawah lapisan rantai Sanskerta yang tersegel tiga kali lipat. Matanya terpejam, dan ekspresinya tenang seperti sedang tidur nyenyak.

"Kau telah melakukan kejahatan keji, namun kau masih keras kepala." Dengan ekspresi penuh belas kasihan, Buddha Sejati memandang Jing Lin, "Ayah Tertinggimu tepat di depanmu, dan kau masih tidak mau meletakkan pedangmu. Apakah kau ingin menghancurkan pahala bajik dari seluruh hidupmu dan membunuh Ayah serta teman-temanmu sebelum kau berhenti?"

Seolah-olah Jing Lin tidak mendengar kata-katanya. Dia tiba-tiba menyapu pedangnya, Yan Quan (nama pedang Jing Lin), melintasi lengkungan horizontal yang bersinar hijau. Lantunan sutra para biksu tiba-tiba berakhir. Segera setelah itu, angin kencang bertiup dari lengkungan hijau. Untuk sesaat, massa menutupi wajah mereka saat tubuh mereka terhuyung-huyung tertiup angin; hanya Buddha Sejati yang berdiri teguh.

"Jing Lin." Sang Buddha Sejati berkata dengan kebajikan. "Tunduk dan menyerahlah pada Fan Tan. Bertobatlah, dan kau akan diampuni dari dosa-dosa mu."

*放下屠刀 , 立地 成佛 secara harfiah, tukang daging yang meletakkan parangnya menjadi Buddha sekaligus. Seorang pelaku kesalahan akan mencapai keselamatan segera setelah dia melepaskan kejahatan.

Bunga teratai bermekaran di sekelilingnya saat cahaya dari Buddha menerangi setiap sudut. Lantunan sutra berlanjut. Di antara awan, tiga ribu prajurit surgawi berteriak serempak dan menyerang ke depan. Denting lonceng di Teras Ninth Heaven dari kejauhan lamat-lamat terdengar, dan Dewi Sheng Le tampak seperti sedang menangis. Namun, Jing Lin tidak mundur. Dia menerjang ke depan, dan garis miring hijau menyatu dengan hamparan baju besi perak yang berdentang. Bunga darah merah tua meledak terbuka. Awan diwarnai dengan lapisan merah saat Yan Quan berkelebat seperti merkuri. Bau darah membuat semua orang kehilangan keseimbangan. Beberapa di antara dewa menutupi mulut dan hidung mereka saat mereka mundur, melirik Jing Lin dengan kaget dan ketakutan. Mereka tidak tahu bagaimana Lord Lin Song, yang jarang berhubungan dengan mereka di masa lalu, tiba-tiba berubah menjadi dewa pembantaian.

Darah menetes dari tangga tempat Jing Lin melewatinya. Dia tidak bisa mendengar kata-kata penolakan yang diucapkan oleh para pengamat; satu-satunya hal yang bisa dia lihat dan pikirkan adalah peti mati emas itu. Sang Buddha Sejati tampak menghela nafas, tetapi bagi Jing Lin, ia tampak begitu jauh. Ketika dia melewati Li Rong, Li Rong mengangkat tangannya untuk menghalangi jalannya, tetapi ujung jarinya hanya berhasil menyisir keliman jubah Jing Lin. Pada saat sinar keemasan cahaya dan awan merah berpotongan, mereka berhenti berdiri di sisi yang sama atau berbagi jalan yang sama.

"Jing Lin—!" Duka tiba-tiba membanjiri hati Li Rong. Dia terhuyung-huyung dan mengulurkan tangan; ingin mengejarnya. Tapi dia terluka parah, dan baju besinya meremukkan tubuhnya. Dia menyaksikan punggung Jing Lin menghilang ke dalam cahaya keemasan. Sang Buddha Sejati menurunkan satu jari saat Yan Quan menerobos ke dalam cahaya hijau. Angin kencang berkecamuk di antara Langit dan Bumi. Yan Quan telah menembus rantai yang terdiri dari aksara Sansekerta untuk memenggal kepala pria di peti mati. Saat berikutnya, lautan darah yang tak terbatas melonjak dalam gelombang. The Four Lords of the Ninth Heaven (Empat Penguasa Langit Kesembilan) memasang segel secara bersamaan, dan Ninth Heaven bergetar hebat seolah-olah awan telah terkena pukulan keras.

Bintang-bintang berkumpul, dan aksara Sansekerta berputar saat cahaya keemasan berubah menjadi badai. Lantunan biksu dipercepat, dan Jing Lin dikepung. Dia telah memenuhi keinginannya. Dia melemparkan kepala di tangannya ke bawah tangga dan perlahan melihat ke belakang. Wajah Li Rong dibasahi air mata. Saat itu juga, dia melihat balasan Jing Lin padanya.

Apa kau tidak ingin hidup?

Jalan-ku sekarang..., lupakan saja.

Dalam sekejap, Li Rong melihat Jing Lin dikepung dan dimusnahkan; bahkan cahaya yang berpijar hijau itu pun lenyap. Sejak saat itu, Lord Lin Song tidak lagi ada di Langit dan Bumi. Masa lalunya hilang dan terkubur dalam angin, akhirnya memudar menjadi ketiadaan.
.
.
.
.
.
shenyue_gongzu :

Jalan yang dibicarakan adalah Jalan Kultivasi.
Tenang, walaupun MC dimusnahkan di bab pertama, kisahnya Happy Ending.

Jing Lin adalah shou.

[END] Nan Chan (南禅) | Bahasa IndonesiaWhere stories live. Discover now